Wartawan Tak Hartawan

LITERASI - Jumat, 13 November 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Benarkah wartawan yang belum punya mobil, rumah masih ngontrak, belum menulis buku, tak pantas disebut wartawan senior atau bangkotan? Atau akan lebih ideal bila sosok itu disebut wartawan ‘buyanisme’ di tengah komunitas pragmatis.

Ah, kalimat di atas sulit dipahami. Itupun juga salah. Pakailah bahasa yang mudah dipahami masyarakat umum. Bila tidak, ketersingungan, fitnah riskan datang mendera.

Gunjingan seperti itu acap kali terdengar di kalangan wartawan ataupun masyarakat umum. Tentunya itu bukan ‘Buruk upek’. Itu motivasi dalam penyampaian ala budaya lokal. Tidak ada yang salah. Mungkin sekedar lontaran ungkapan, menyindir diri yang kerap menulis berbagai bentuk berita, artikel, opini bahkan karya sastra lainnya.

Berbagai kumpulan guntingan tulisan di koran hingga era media online bertumpuk dalam klipingan. Bahkan berserakan di sudut ruang almari reot berbubuk. Hanya ada rasa kebanggaan saat kita melihat tumpukan yang menunjukan kaya akan hasilkarya, meskipun masih minim akan harta.

Suatu waktu di beranda sebuah café pinggiran pantai Bengkulu kota, sekelompok reporter televisi dan tim kreatif dari Jakarta berencana ingin interview.

“Apakah anda wartawan senior yang punya karya? Bila benar, mana buku yang sudah anda terbitkan? Tadi anda ke sini naik kendaraan apa?”

Tadinya kita menduga itu ungkapan dari budaya lokal terbantahkan. Meskipun pertanyaan yang pernah tercetus itu merupakan ungkapan tulus, intermezo ataukah sindiran yang tentunya amat sangat mudah untuk dijawab, dipatahkan.

Dilalanya, bila pertanyaan itu dibiarkan liar, maka dapat dipastikan, yang ditanya itu bukan wartawan senior, tapi hanya wartawan ‘tua’ saja. Wartawan yang hanya tahu akan fakta saja, tanpa tahu mengurai peristiwa. Tentu itu dapat dimaklumi. Mungkin saja Si Penanya lupa, bahwasanya wartawan itu merupakan profesi, yang di dalamnya bernaung jiwa.

Jiwa yang bertanggungjawab sebagai pengembala profesionalitas dan proporsionalitas, yang menjalankan tugas suci sebagai wartawan daerah di bagian barat Pulau Sumatera. Lupa kalau wartawan itu hanya bisa dihargai karena kompetensinya, bukan yang lainnya.

“Kasta atau tingkatan status serta derajat sosial seorang wartawan itu bisa dilihat sesuai kompetensinya”. Begitu kata tokoh pers Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar.

Ada tingkatan kemajuan seorang wartawan dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya. Mulai dari reporter atau wartawan pemula, dengan bentuk tulisan biasa, hingga mampu membuat opini, artikel yang akhirnya menjadi wartawan senior. Wartawan yang dapat menulis buku karya ilmiah populer. Inilah yang kita maksud kompetensi dan merupakan mahkota dari wartawan.

“Berhalusinasi sesekali mungkin diperlukan. Tapi jangan kelamaan. Berhalusinasi sering berakhir dengan kondisi lemah lunglai, akibat klimaks tak berujung”, ungkap penyair tak bernama.

Selama dua dasawarsa lebih mengarungi dunia kewartawanan, kenapa belum menjadi hartawan? Inilah menjadi pemikiran dan berkecamuknya antara kebutuhan, ideal, dan harapan terhadap buku, sebagai mahkotanya seorang wartawan.

Sementara aktivitas jurnalistik yang kita geluti, berada di perusahaan pers pada akhir Tahun 2020 da nberada di Provinsi Bengkulu. Kita acap lupa perbedaan antara wartawan dan pengusaha media, apalagi di era media online kini, pengusaha media juga berpredikat wartawan.

*Penulis adalah Dewan Pakar JMSI Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment