Sandri, Perlawanan, dan Independensi Mahasiswa

LITERASI - Senin, 5 September 2022

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Agustam Rachman*

Rabu, 31/09/2022 pukul 15.45 WIB, beberapa perwakilan mahasiswa dari HMI Cabang Bengkulu berjalan cepat di pelataran DPRD Provinsi Bengkulu.

Terlihat ada Maulana Taslam Tokoh Mahasiswa Universitas Bengkulu yang juga Formatur HMI Cabang Bengkulu disebelahnya ada pemuda kecil dengan kaos hitam dilapisi kemeja kotak-kotak dengan kancing depan terbuka.

Mereka berjalan menemui Usin Abdisyah dan Dempo Xler, tokoh demonstran semasa mahasiswa dan sekarang duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Provinsi Bengkulu.

Ketika tulisan ini saya susun, saya baru tahu kalau pemuda kecil itu adalah Sandri, sulit saya membayangkan suasana ketika mereka berhadapan ketika negosiasi, dari rekaman video demo yang beredar terjadi dialog panas dan sempat ada ucapan keras dari Sandri “omong kosong bapak” sambil menunjuk ke muka Usin dan Dempo.

Yang saya tahu, Maulana Taslam secara personal dekat dengan Usin dan Dempo mengingat mereka sama-sama keluarga besar HMI Cabang Bengkulu.

Usin dan Dempo berada di garis depan membela Maulana ketika kepengurusan BEM FH Universitas Bengkulu (UNIB) sempat dibubarkan oleh pihak kampus tanggal 10 Agustus 2021 yang lalu.

Sementara Sandri adalah aktivis HMI yang kuliah di UIN Fatmawati Bengkulu merupakan anak tertua dari Sehmi Alnur tokoh demonstran tahun 1980-an yang pernah kuliah di IAIN Raden Fatah Cabang Bengkulu (Sekarang berubah jadi UIN Fatmawati).

Seingat saya, Sandri lahir 1 Juli 1999 (sekitar sebulan setelah pemilu pertama pasca reformasi), pemuda ini di lingkungan keluarga akrab dipanggil Akang (berasal dari kata kakang yang berarti kakak), saya ingat persis saat dia lahir ketika orang tuanya masih mengontrak di daerah Pagar Dewa Kota Bengkulu.

Saya juga ingat ketika Usin menjadi sopir andalan (waktu itu tidak banyak aktivis yang bisa nyetir) ketika mengantar Sehmi Alnur (sering dipanggil Kak Seh) berangkat sore hari tanggal 8 Oktober 1998 dari Kota Bengkulu menuju Mubai (sekarang masuk Kabupaten Lebong) untuk menikahi istrinya (kami memanggil Yuk Dian). Keduanya menikah pada tanggal 10 Oktober 1998.

Mobil yang dipakai waktu itu jenis Datsun tua milik mantan Ketua HMI Cabang Bengkulu. Beberapa orang dengan sangat terpaksa tidak berangkat karena kapasitas mobil sangat terbatas. Termasuk saya, sementara kalau mau naik angkutan mobil umum tidak ada ongkos.

Kisah di atas menunjukkan ‘kedekatan’ aktor-aktor demo dengan mereka menerima pendemo.

Saya sempat termenung dan tidak percaya, mengapa demo itu bisa berakhir ricuh bahkan dilaporkan beberapa mahasiswa terluka diantaranya Asrinaldi Juli Alparazi, Riski, dan M Fadhullah Prasetyo dari ZA ketiganya berasal dari Komisariat HMI Fakultas Pertanian UNIB, serta Fauzan Azima dan Handy dari UIN Fatmawati.

Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya, Sandri dan kawan-kawannya sedang diuji oleh sejarah. Mereka sejatinya sedang memerankan diri sebagai agen perubahan tanpa pandang bulu. Apalagi yang mereka perjuangkan adalah penolakan kenaikan BBM walaupun akhirnya rezim ini kemarin (Sabtu, 3/9/2022) secara sepihak tetap menaikkan harga BBM.

Usin dan Dempo pasti memaklumi kejadian saat demo itu. Sebab demo itu dalam konteks idealisme dan gerakan politik mahasiswa. Toh, demo kita dulu juga lebih garang dan sering berujung ‘maut’.

*Penulis adalah Pengamat Sosial

BACA LAINNYA


Leave a comment