Wartawan Bangkotan

LITERASI - Sabtu, 20 Oktober 2018

Konten ini di Produksi Oleh :

Posted on 20/10/2018

Catatan Pinggir Benny Hakim Benardie*

Siang itu 29 Oktober 2002. Bus antar provinsi, Jakarta–Bengkulu yang aku tumpangi memasuki wilayah Kaur. Aku baru tersentak, tatkala seorang penumpang menyuruh kernet bus berhenti di pinggir jalan, persis di depan sebuah rumah panggung papan. Tampak senyuman kakek dan nenek, saat melihat cucunya tiba dari perjalanan jauh.

“Ayo yang Kaur siapa lagi……Masih ada nggak yang turun di Kaur”, teriak kernet di antara beberapa penumpang yang mendengkur terlelap tidur. “Truuus…..Lanjur”, pekiknya dan supir berangsur tancap gas.
Mau tersenyum tapi sedih, mau menangis tapi malu. Begitulah suasana yang ada di hatiku. “Bengkulu aku kembali. Aku kembali Bengkulu……”, pekikku dalam hati. Terasa berkaca mataku saat mengenang 13 Tahun lalu, aku tinggalkan negeri ini. Negeri kelahiran aku dan keluarga besar nenek moyangku.

Kini aku kembali ke negeri asal ku, Bengkulu Kota Semarak, bukannya hijrah karena sakitnya perjuangan hidup sebagai wartawan di Kota Jakarta. Jujur, tak ada sakitnya saat menjadi wartawan di perantauan. Bahkan dinamika dan romantika hidup selalu memicu dan memacu andrenalin, hingga merangsek ke urat geli.

Ekstrimnya, ‘urat kanji atau ganjenpun’ terkadang lupa diberdayakan, mengingat kesibukan dan keletihan menjadi wartawan dengan tumpangan naik turun bus kota. Meskipun adakalanya, aku memohon numpang gratisan pada kernet bus. Karena hari itu tak sepeserpun sisa uang di saku. Semuanya ludes di halte bus dan di kantin, karena lapar dan dahaga melanda.

“Ah…..Itu sejarah hidupku. Saat lapar minum, hauspun minum, mungkin ceritera itu tidak bermanfaat bagi orang lain”, lamun ku yang kini acap kali disebut Wartawan Bangkotan. Padahal nggak begitu tua-tua amat. Baru akan menuju usia setengah abad.

Bangkotan

Saat ini hujan jarang sekali turun. Sesekali memang ada juga mendera. Tapi hanya ‘hujan panas’ yang hanya membuat aroma tanah kering kian menyengat, menusuk hidung. Batukpun kerap melanda masyarakat. Beberapa pepohonan tampak menguning, mengering dan mati.

Tak lama berselang, irama atau tetabuhan Doll dari kebudayaan Tabut 2018, dari kejahuan mulai terdengar. Aku tetap duduk di bawah Pohon Mahoni besar, yang oleh penduduk Bengkulu disebut Pohon Kenina.
Bukan tak mengubris perayaan kebudayaan tahunan anak negeri ini akan berarak melintas di depanku. Tapi, ini karena beberapa bacaan catatan kecil yang kutemukan berserak di pinggir jalan, belum usai kubaca. Kilas lamunan ceritera masa laluku tadi sejenak menghentikan asupan akal.

Catatan kecil yang ditemukan sedikit kotor itu kembali kubaca. Ternyata itu rangkuman tulisan wartawan senior dan idialis, almarhum Mochtar Lubis. Sosok wartawan terpenjara dan korannya dibredel Sang Penguasa Orde Lama dan Orde Baru.

Terasa bergelegak darahku saat membaca nama sosok itu. Sisi lain, terasa ciut ego ku. Jangankan nantinya hendak bercerita kisah kewartawanan ku yang tak ada seujung kukunya, dibanding kisah heroik seperti beliau dan teman-teman semassanya.

Ingin melamunkan kembali perjalanan hidupku di dunia wartawan, kini mulai kecut melihat mengingat kisah dan nama para wartawan senior yang telah membumikan kebiasaan dalam kaedah dan norma jurnalistik. “Oh Tuhan……Tanpa pendahulu, akhir tak akan ada. Tiada akhirpun, pendahulu usai menorehkan tinta emasnya”, teriakku dalam hati.

Kini sudah lebih tiga windu aku berkiprah sebagai seorang wartawan. Apakah aku sudah bangkotan? Kata teman iya, kata teman lainnya hampir tiba waktunya menjadi wartawan bangkotan. Bangkotan dalam lamanya berkiprah, tapi tak begitu tua dalam umur.

Pikiranku bertambah gusar, saat ada pertanyaan dalam catatan kecil itu, “Benarkah wartawan yang belum menulis buku, cuma pantas disebut wartawan bangkotan?”

Sekilas aku hampir percaya. Tapi terpikir oleh ku yang selama ini masih sibuk dengan menulis berita reportase saja. Kumpulan tulisan hanya berserakan berupa guntingan koran usang dalam bentuk kliping, atau yang kini menyebar dan terpampang di berbagai media online, termasuk masih sebatas konsep berupa file-file dalam folder khusus di server laptop tua.

Semua itu ada di atas almari dan tak tertata rapi. Tak pernah sampai ke perusahaan percetakan dan penerbitan buku bukan karena enggan. Tapi harus aku akui getirnya kehidupan wartawan yang hanya berfikir untuk berkarya, namun pasrah akan pendapatan. “Ah itu persepsi dan pendirian yang tak benar”.

Teringat saat Tuan Guru kursus kewartawanan saat itu mengutip para pendahulu yang mengajarkan kalau strata sosial wartawan itu bisa dilihat dari kompetensinya. Tentunya bukan kompetensi yang hanya bisa saat diuji di dalam kelas….Bukan itu yang dimaksud.

Yang dimaksud Tuan Guru kala itu, dari wartawan yang hanya bisa beberapa bentuk tulisan berita, hingga mampu menulis tajuk, opini dan artikel. Akhirnya terkumpulah karya itu, meskipun belum terkumpul menjadi sebuah buku. Mungkin itu soal lain, dengan banyak alasan pembanding dalam kehidupan pribadi.

“Tekad ku ada untuk pembukuan dan menelorkan karya baru. Tapi waktu dan keuangan belum memungkinkan”, fikirku yang entah kapan dapat membukukan tulisanku, agar terhindar dari julukan Wartawan Bangkotan, kalau tudingan itu suatu saat ternyata benar.

Era Berubah

Tiap massa ada tokohnya. Tiap Tokoh ada ciptanya dan itupun berlainan rasanya. Itulah kenyataan yang terjadi di kehidupan pers yang ada. Pers atau dunia wartawan berupa karena ikut perkembangan dan kemajuan teknologi, politik dan hukum.

Era digital, era media online. Semuanya serba cepat, berbasis tehnologi yang mungkin rumit bagi wartawan bangkotan. Ini bukan lagi eranya koran, majalah atau tabloid, dimana tulisan yang penting sesuai dengan kaedah jurnalistik dan informasi bisa sampai ke masyarakat.

Tabut dan tetabuhan Dhol Bencoolen sudah mulai senyap. Aku masih duduk di tempat awal aku berfikir. Namun aku tak mau jadi gunjingan lalu lalang orang melintas, karena sendirian duduk melamun di bawah Pohon Kenina besar peninggalan koloni Belanda itu.

Beranjak pergi. Aku menitir jalan di tengah sengatan matahari siang Kota Bengkulu. Sembari melangkah gontai, aku berfikir perubahan era kini tanpa arahan dan panduan. Wartawan kini berinovasi dengan apa yang dianggapnya benar. Pembenaran yang ada, mereka harus korelasikan dengan teknologi atau media online yang kini digandrungi. Dari teknik pembuatan judul, kerangka tulisan hingga teknik menyampaikan informasi ke masyarakat.

Pertanyaan yang timbul dibenakku adalah, apakah stigma wartawan bangkotan itu masih ada saat ini? Bukankah karya sudah tertera di dalam website media online tinggal tetap dalam waktu lama efektif dan efisien?

Sebelum tiba di parkiran sepeda motor ku, aku mengambil kesimpulan, aku adalah wartawan. “Aku hanya akan tahu aku harus terus berkarya. Aku ikuti perkembangan zaman tanpa taklid. Tak akan aku gubris lagi pameo yang selama ini telah membumi. Ikut bagaimana iramanya gendang, bermain sampan di derasnya arus.

“Penghasilan itu urusan takdir Tuhan, tapi kepandaian dan kecakapan menulis menjadi urusan kita. Tak akan aku gubris lagi pendapat yang mengatakan, akhir seorang wartawan harus mempunyai buku dari karyanya. Pola fikir harus dirubah. Akhir seorang wartawan harus dapat menulis buku saat ada kesempatan”.

*Wartawan tinggal di Bengkulu Kota

BACA LAINNYA


Leave a comment