Tabah Dengan Rindu Sampai Pendobrak Peradaban

LITERASI - Kamis, 4 Juni 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

(Elfahmi Lubis, Kresek Rakyat)*

Tulisan terinspirasi dari quotes Najwa Shihab yang beredar di YouTube, yang mengatakan lulusan SMA/SMK/MA dan mahasiswa (tambahan penulis) 2020 adalah generasi emas Indonesia. Mungkin anda bertanya apa basis argumentasinya? Selama ini banyak cibiran yang diarahkan kepada anak-anak generasi 2020, mulai sistem belajar yang disederhanakan sebagai akibat dampak pandemi Covid-19, sampai sistem kelulusan yang dilonggarkan.

Karena alasan di atas muncul sebutan bahwa mereka ini dikatakan generasi “Corona” dan ada juga yang mengatakan “generasi virus”. Tapi tanpa kita sadari justru sebenarnya generasi ini merupakan generasi emas bangsa yang tangguh.

Bagaimana tidak mereka ini sejatinya merupakan generasi pertama bangsa ini yang paling adaptif terhadap perubahan peradaban dan revolusi belajar. Kalau generasi sebelum mereka belajar masih menggunakan cara konvensional dengan datang ke sekolah setiap hari kecuali libur, memakai seragam rapi, pelajaran yang sudah terjadwal, difasilitasi oleh guru di depan kelas, lalu ujian dibuat terjadwal yang dilakukan secara manual.

Namun tidak bagi siswa SMA sederajat yang lulus tahun 2020 mereka dipaksa oleh “keadaan” untuk menjadi pribadi tangguh dan tidak cengeng. Di akhir proses studi mereka, tiba-tiba begitu mengejutkan, dunia diserang wabah pandemi Covid-19 yang hampir melumpuhkan seluruh aktivitas kehidupan umat manusia.

Bahkan, dampak serangan Covid-19 disebut-sebut jauh lebih dahsyat dari perang dunia II. Melawan musuh yang tersembunyi, benar-benar kita dibuatnya tidak berkutik dan tinggal menunggu kepasrahan saja pada takdir. Negara-negara yang selama ini disebut imperium teknologi dan peradaban sains seperti AS dan negara-negara Eropa hari ini luluh lantak tak berkutik oleh serangan virus ini.

Kondisi ini memaksa generasi 2020, harus adaptasi dengan sebuah perubahan peradaban besar, yang seharusnya jika tidak ada pandemi, memerlukan waktu sekitar 30 tahun lagi menuju ke peradaban tersebut. Siswa SMA sederajat dan mahasiswa lulusan 2020, bak generasi yang matang belum waktunya.

Mereka dipaksa mengikuti pola belajar berbasis virtual/daring, mulai belajar sehari-hari sampai pada sistem evaluasinya. Setiap hari mereka harus standby di hadapan perangkat seperti laptop dan android, untuk setiap menerima materi pelajaran dari guru/tutor/dosen secara virtual. Selesai pelajaran yang satu, langsung dilanjutkan pelajaran berikutnya.

Apakah dalam praktiknya proses pembelajaran virtual ini berjalan mulus? Jawabnya tidak, di awal-awal sempat terjadi kelimpungan. Alasannya, tidak semua siswa/mahasiswa memiliki perangkat/sarana untuk belajar virtual dan memiliki akses yang sama. Banyak sekali keluhan dari siswa/mahasiswa maupun guru/dosen, atas perubahan pola pembelajaran virtual ini.

Hal ini bisa dipahami, karena dilakukan secara mendadak dan dalam kondisi darurat. Selain itu tidak semua proses pembelajaran di sekolah bisa dilakukan secara virtual, misalnya untuk kelas perbengkelan, menjahit, dan mengemudi, tentu tidak bisa mengandalkan sepenuhnya dengan pembelajaran virtual, harus tetap dilakukan secara manual/konvensional.

Keluhan lain masih banyak sekali, mulai dianggap pembelajaran tidak efektif sampai boros biaya. Namun apapun itu siswa genarasi ini adalah “PENDOBRAK PERADABAN DAN MANUSIA PALING ADAPTIF DENGAN PERUBAHAN”.

Siswa SMA sederajat dan mahasiswa yang lulus tahun 2020 adalah generasi yang paling rasional, karena pandemi Covid-19 telah mengajarkan mereka bagaimana sains dan teknologi merupakan sandaran peradaban. Pandemi Covid-19 ini telah membuka mata umat manusia bahwa wabah ini hanya bisa dilawan dan diajak “bersahabat” dengan sains dan teknologi, bukan dengan jualan atau teori pepasan kosong.

Semua hal ikwal terkait virus ini sampai bagaimana kita menghindarinya, semuanya berbasis sains. Mulai dari bagaimana kita mengetahui tertular atau tidak, sistem pengobatannya, cara menghindari agar tidak tertular, sampai cara menemukan vaksin untuk mengalahkan virus ini semuanya harus dengan sains dan teknologi. Virus ini tidak takut dengan mantera-mantera dukun, ajimat, dan ramuan-ramuan tak berbasis riset.

Siswa SMA sederajat dan mahasiswa yang lulus tahun 2020, adalah generasi yang bisa membaca tanda-tanda zaman dan memiliki kemampuan mitigasi bencana berbasis sains dan teknologi. Diprediksi pada abad ke depan bencana sebagai akibat perubahan iklim global akan menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia di muka bumi ini. Mulai bencana kelaparan, bencana alam, dan perubahan iklim ekstrim, yang dampaknya mungkin jauh lebih dahsyat dari wabah pandemi Covid-19.

Dengan telah ditempa oleh wabah ini, memberikan pelajaran berharga pada generasi emas Indonesia, untuk menghadapi segala kemungkinan disaster ke depan. Dengan demikian mereka ini nanti akan menjadi generasi “penjinak” bencana.

Siswa SMA sederajat dan mahasiswa yang lulus tahun 2020, secara psikologis akan memiliki mental dan emosi yang lebih tangguh karena sudah digembleng oleh keadaaan yang menuntut tidak lebay dan cengeng.

Terakhir, generasi emas Indonesia ini akan menjadi generasi “tabah terhadap rindu” meminjam istilah mbak Nana. Kenapa begitu, karena terpaksa menjalin hubungan kasih secara LDR dan dipaksa harus stay at home dan social and physical distancing… Hihihi, kok jadi lebay dan romantis yang haru biru kayak ini.

Selamat menikmati, jadilah generasi petarung dan generasi sains/teknologi. Sembari berharap dalam ikhtiar dan doa kepada Allah SWT semoga intervensi sang khalik datang lebih cepat sebelum “kiamat” itu datang.

*Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Politik Unib/Ketua Prodi PKn UMB

BACA LAINNYA


Leave a comment