Semak Belukar di Sungai Suci

LITERASI - Selasa, 18 Juli 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Karya: Benny Hakim Benardie*

“Rugi  tak dapat di elak, untungpun  tak dapat ditahan. Punah modal kemana hendak di ganti”. Entah mengapa kalimat itu selalu melintas di setiap tetes air mata Marina. Tak ada sesal ataupun dendam saat  Robi merenggut , menjambak kegadisannya.

Di malam Senin ini, Marina bermandikan air mata.  Dirinya sesal , tapi ia tidak berang pada Robi. Bukan pula pasrah tak menentu arah.

“Apakah ini merupakan karma? Tapi karma siapa? Abah, Amik, Aki  Nini , Aak? Ah gelloo siak ………”, Marina ngedumel diiringi deraian air mata kian membasahi  bantal diatas kasur kapuknya. Sesekali terdengar suara keprokan tangan Marina memukul dinding kamar.

Rupanya tragedi di semak belukar di Sungai Suci Bengkulu  pagi tadi, benar-benar membuat Marina  ‘galau’.  Kepengin rasanya ia mengadu, tetapi pada siapa dirinya harus menceritakan semua ini.  Untunglah sedikit suara gaduh dikamar, tak diketahui paman, bibi dan sepupunya yang  lagi berweekend ria  ke Kota Curup.

beranjak keamar mandi lagi Marina. Entah mengapa dan kembali  ke kasurnya.  Tak ia sangka, sepekan di Kota Bengkulu akan berakhir begini.  Bolak-balik dan terlentang menatap plafon. Disudut dinding kamar terpampang poster bertuliskan “ Arti dari Keperawanan”.

Tulisan itulah yang pertama kali saat dirinya menginap dan tidur dikamar sepupunya dan terbekas diingatannya. Hingga malam ini, Marina belum mengerti arti dan maksud dari tulisan itu. Memang ia enggan berfikir untuk tahu makna dari tulisan itu. Tapi malam ini, tanpa sadar dirinya mengerti dengan sendirinya.

“Oh Tuhaaan…..Inikah  kehendakmu? Bagaimana aku ini nantinya”, doa Marina.

Melompat ia dari tempat tidur raihnya handphone diatas buffet kamar. “Telepon….Ya aku harus telepon Robi sekarang  juga”, pikir Marina dan  tampak tangannya bergetar saat memegang handphone.

Beberapa kali Marina tampak berdecap  “Ah” saat mendengar telepon Robi off. Sms-pun sudah beberapa kali ditayangkan, juga tidak masuk.  Marina mulai kalut. Padahal sejak dirinya kenal Robi seminggu yang lalu,  handphone Robi tidak pernah off. Tapi kenapa sekarang off?

“Kumahak iyek……Kumahak iyek”,  beberapa kali kalimat itu keluar dari mulut Marina, yang tinggal dua hari lagi dirinya harus pulang ke  Bandung  Jawa Barat , karena waktu libur akan usai.  

——

Marina  yang lagi nyeyak tidur  tak mendengar suara  ketukan pintu rumah yang berpuluh kali  di ketuk. Hingga akhirnya ia tersentak kaget, saat  mendengar kaca jendela nako kamar di ketuk. Saat di intip, ternyata  Lili sepupunya  sudah pulang weekend bersama paman dan bibi.

“Ya…ya…Sebentar lagi jalan”, teriak Marina buru-buru menuju pintu ruang tamu.

“Aduh gimana anak perawan tidurnya kayak orang pingsan aja he he he”, goda paman disambut  ketawa bibi dan Lili.

“Maafkan Marina  paman, bibi……Capek-an. Nggak tau kenapa ghitu”,  jawab Marina.

Mereka  langsung menuju kamar, sementara Lili  mengiringi aku menuju kamar.  “Lah kok matamu  Teteh Ena sembab  kenapa? Emang teteh tadi nangis ya?  tanya Lili sembari melonggok dari dekat  ke muka Marina.

“Ah enggak kenapa-napa  cantik. Teteh Ena tadi habis kena debu waktu jalan-jalan naik motor tadi. Udah ah, tidak  usah ngebahas itu dek”, tegur Marina langsung memalingkan mukanya.

“Lah jadi Teteh Ena pergi jalan-jalan sama Bang Robi? Hati-hati aja teh…..Bang Robi itu orangnya nakal. Teman-teman SMP Lili aja sering di godain Bang Robi. Padahal Bang Robikan itu udah gede seumur Teteh Ena, kelas tiga SMA”, cerita Lili.

“Oo….. Ghitu ya dek?”

“Bang Robi kan sering  digotong warga karena tidur di jalanan karena mabuk”,  cetus Lili sembari rerebahan di tempat tidur.

“Hmm…..Ya dek makasih di kasih infonya.  Eh lili tidak  mau mandi dulu? Li….Lili…”, tanya  Marina yang dijawab suara dengkuran sepupunya yang mungkin  kecapek-an.

Marina melongok ke jam dinding kamar sudah menunjukan pukul 3.07 WIB.  Rasa cemas kembali menghantui Marina.  Bisikan frustasi mulai menghantui pikirannya.  Suasana  rumah lengang kembali dan Marina berharap pagi cepat menjelang.

Bertemu  Robi, itulah yang ada di pikirannya.  Matapun enggan lagi terkatup.  Ingin rasanya ia berlari  dan mencari Robi dirumahnya yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat  dirinya menginap.  

——

Saat  dengkuran masih  terdengar di kamar, Marina  bergegas pergi mandi.  Bila tidak, waktu pulang ke Bandung  menghampirinya, dan nama Robi bakal jadi kenangan hidupnya.

Sedikit mengendap-endap Marina menuju pintu belakang rumah. Masalahnya, ia tidak bisa lewat  pintu depan, karena kuncinya terbawa paman kedalam kamarnya.  Dengan berlari-lari kecil, Marina melangkah kerumah Robi, bujang Bengkulu yang dipikiranya merupakan sosok teman yang baik, ramah dan ganteng tentunya.

Belum masuk ke halaman rumah,  tampak  ibu sedang menyapu.

“Punten ibu, Robinya ada?” tegur Marina dengan logat Sundanya.

“Waalaikumsalam……Eh kaget Ibu. Robinya kan sudah pergi tadi malam. Emangnya kamu siapa nak? Kalau boleh tahu ada apa ya?” tanya ibu tampak seperti bingung melihat ada gadis pagi buta kerumahnya.

“Ee…Saya temannya Robi bu, keponakannya Pak Dudung  yang tinggal di ujung jalan”, jelas Marina sembil mencium tanggan ibu Robi.

“Ayo masuk kedalam dulu”, ajak ibu nada ramah.

Di dalam rumah  Marina mengamati photo keluarga di dinding ruang tamu.  Tampak  beberapa sosok gagah berpangkat terpampang.

“Nah nak Marina , ayo kita minum teh dulu”, ajak ibu.

Obrolanpun berlanjut  dan membuat dda marina terhenyak saat dirinya tahu kalau Robi ditangkap polisi karena Narkoba. Katanya Robi merupakan bandar Narkoba dan sudah lama menjadi inceran polisi.  Air matapun menetes membasahi pipi Marina.  Ibu Robi melihat itu tampak heran dan mendekati Marina.

“Memangnya kamu pacarnya Robi nak?” tanya ibu.

Tanpa sadar, Marina menjawab ia dan menceritakan kejadian di semak belukar Sungai Suci, yang kenyataannya bukan sungai. Tapi  merupakan pantai yang asri.

Diam dan tak sepatahpun reaksi dari ibu mendengarkan tuturan yang keluar dari mulut  Marina, selain ucapan, “Oh Tuhaan” berkali-kali.

“Aku pulang ibu”, sembari menarik dan mencium tanggan ibu Robi.

Marina berlari dan terus berlari. Setengah jalan ia berheti dan sadar kalau bekas tanggisnya akan tampak  di wajahnya oleh paman dan bibi setibanya dirumah nanti.  Sebuah angkutan kota di stopnya, dan tanpa tanya Marina mengikuti laju kendaraan yang akhirnya berhenti di sebuah pantai.

Saat  turun, Marina  bingung. Dibenaknya bertanya, kenapa seperti Sungai Suci yang kemarin dirinya  pergi bersama Robi!  “Maaf om, ini daerah pantai apa ya?” tanya Marina pada pedagang buah-buahan yang melintas.

“Ini Pantai Panjang dek. Memangnya adek mau kemana?”.

“Tidak kemana-mana, cuma tanya aja”, kata Marina terus pergi mendekati pantai.

Dari bawah pohon cemara jenis Erru tampak  orang tua  dan muda  duduk bermesraan. Rasa tak sanggup ia melihat kenyataan itu. Teringat kenyataan yang dialaminya kemarin. “Sakitnya masih hari ini .

Diatas bongkahan kayu di tepi pantai  dan teriknya matahari menjelang siang, marina duduk memandang ke arah lautan luas.  Berapa pertanyaan  datang kembali dalam benaknya.  Apakah hilangnya keperawananya merupakan kehendak Tuhan? Ah tidak mungkin Tuhan berkehendak seperti ini.

Apakah ini cobaan hidup yang harus aku lalui? Ah…..Tidak. Mungkin ini cobaan hidup.  Inikan salah aku, kenapa aku mau saja diajak Robi yang sebelum perbuatan itu terjadi, katanya  mau bertanggungjawab. Tanggungjawab apa?   Mungkin ini temuan hidup?  Itu tidak juga.

Berkecamuk pertanyaan yang melintas dibenaknya.  Bingung  membuat gayang duduknya dari atas  kayu itu. Marina  berdiri mencoba menenangkan hati bermain ombak Pantai Panjang, hingga  gulungan ombak menyeretnya. Akhirnya Marina di temukan di tepi  Pulau Baai,  yang jaraknya tak berapa jauh dari Pantai Panjang.

“Sudah ditemukan yang hanyut itu, di pantai  ‘Yang Tahu’ itu nah ”, teriak tim SAR pada rekannya.

*Pemerhati sejarah dan budaya Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment