Radikalisme Dalam Realitas Kelaliman

LITERASI - Jumat, 28 Juli 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Opini: Benny Hakim Benardie

Sebagai manusia  beradap  dan hidup di Negara Hukum Indonesia yang berazaskan Pancasila, sebaiknya radikalisme disimpan baik-baik di dalam hati. Pada fase tertentu, isme  ini akan dibutuhkan bila suatu  ada keadaan  usai pertimbangan obyektif dan matang memang harus di gerakkan.

Dalam KBI disebutkan, radikalisme  merupakan paham atau aliran yang menginginkan  perubahan  atau pembaharuan sosial dan politik  dengan cara kekerasan atau drastis. Ini  suatu pengertian yang  manusiawi sebagai makhluk  berakal.

Radikal yang penulis maksud adalah radikalisme  non ekstrim. Gerakan radikal dilakukan usai pertimbangan akal yang obyektif untuk kebaikan, kemajuan   dan kebenaran. Bukan taklid tanpa pertimbangan, apalagi fanatis demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Bila ada orang atau kelompok yang memaksakan kehendak  dan setiap ide-nya musti dilakukan radikalisasi, tentunya orang atau kelompok ini dapatlah dinamakan  penghianat bangsa.  Julukan pantas, karena  ulah radikali yang dilakukannya dengan maksud jahat dan merusak tatanan yang ada.  Apalagi yang menjadi konsep hanyalah kepentingan sekelompok kecil dan tuntutan yang tidak prinsip, Radikalisme di berbagai  daerah di Indonesia  bukan hal yang baru. Fenomena eksistensinya  sudah ada sejak  zaman perjuangan frontal dilakukan  para pahlawan pejuang Indonesia .

Di era kemerdekaan misalnya,  bagaimana  PKI mengunakan radikalisme dan bagaimana  ‘masyarakat’  saat membraguskan  PKI.   Saat  Presiden Soekarno di tuntutan mundur  dari jabatannya  ere 65-66-an . Gerakan radikalisme reformasi  98-99-an  menuntut mundur Presiden Soeharto.  Era Presiden  Gusdur.  Tentunya ini contoh besar kesalahan sosial,  termasuk ulah remaja, masyrakat   tawuran dengan motif yang tidak penting.

Pelaku radikalisme apakah mereka intelektual  ataukah  orang bodoh? Bisa ia bisa juga tidak. Soal ini penulis menganggap sedikit tidak penting, tatkala radikalisme itu terjadi dan digunakan saat tidak prinsip.

Radikalisme  bukan fenomena yang dihasilkan oleh sistem internasional. Tapi lokal dan nasional. Teringat Pepatah Melayu, “Raja Alim Raja Disembah. Raja Lalim Raja Disangah”.

Raja dianalogikan seorang penguasa negeri. Dari tangannya banyak hak prerogatif dapat diterbitkan. Bila kekuasaannya berlangsung lama, ia berlakuk lalim, maka akan sulit kita menyanggahnya secara sopan satun sesuai aturan.

Menguntip adagium dalam politik yang mengatakan, “Segenggam kekuasaan lebih berharga dari pada sekeranjang kekuatan”.

Siapapun sadar,  paham Radikali merupakan salah satu ancaman nyata terhadap kesatuan dan kesatuan serta kehidupan dunia global. Implikasi disadari betul. Dinamika ekonomi, keamanan  dan politik  akan terguncang.  Tapi bila radikalisme  tidak dilakukan atas sesuatu pembiaran kesalahan, maka implikasinya kurang lebih juga akan sama. Tentunya  dengan kata kunci, dalam bertindak atas sikp jiwa, butuh penalaran dan mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya setiap tindakan .

Penulis menegaskan radikalisme non ekstrim ini, agak berbeda dengan karakter yang dijelaskan  Syaikh Yusuf Qordawi,  bahwa kelompok fundamentalis radikal  fanatik yang  dicirikan beberapa karakter:

  1. Acapkali mengklaim kebenaran tunggal. Sehingga mereka dengan mudahnya menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat dengannya. Mereka memposisikan diri seolah-olah “nabi” yang diutus oleh Tuhan untuk meluruskan kembali manusia yang tak sepaham dengannya.
  2. Cenderung mempersulit agama dengan menganggap ibadah mubah atau sunnah seakan-akan wajib dan hal yang makruh seakan-akan haram. Sebagai contoh ialah fenomena memanjangkan jenggot dan meninggikan celana di atas mata kaki. Bagi mereka ini adalah hal yang wajib.. Jadi mereka lebih cenderung fokus terhadap kulit daripada isi.
  3. Mereka kebanyakkan mengalami overdosis agama yang tidak pada tempatnya.
  4. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Mereka mudah berburuk sangka kepada orang lain yang tak sepaham dengan pemikiran serta tindakkannya. Mereka cenderung memandang dunia ini hanya dengan dua warna saja, yaitu hitam dan putih.
  5. Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan, pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.

[Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya di Bengkulu]

BACA LAINNYA


Leave a comment