Pers Bertedensi Menciptakan Harapan Palsu

LITERASI - Jumat, 17 Agustus 2018

Konten ini di Produksi Oleh :

Ilustrasi Pers/Foto Okezone

Opini Benny Hakim Benardie*

Dalam kegiatan Pemilihan Umum partai politik, presiden, kepala daerah dan anggota legislatif, pers sebagai lembaga ekonomi mengambil peran untuk melakukan tebar pesona, popularitas demi meningkatkan elektabilitas sang calon berbayar atau berkepentingan.

Ironisnya, calon yang tidak elektabel didongkrak untuk menjadi sosok yang mempunyai dan memiliki elektabilitas tinggi. Artinya, sosok yang ada diberitakan menjadi seolah-olah sosok yang dikenal baik secara luas dalam masyarakat. Dia dipaparkan dengan kepalsuan sudah atau nantinya memiliki kinerja mempuni dalam bidangnya.

Pers juga dapat melakukan sebaliknya. Calon yang berprestasi tinggi dalam bidang yang tidak ada hubungannya, diplintir mempunyai elektabilitas tinggi. Tentunya langkah yang dilakukan wartawan atau lembaga pers seperti ini telah melakukan pengkhianatan terhadap profesinya.

Elektabilitas atau tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan inilah yang sering dilakukan pers dengan memberikan harapan palsunya. Tentunya segelintir lembaga pers membatah hal itu, dengan berbagai alasan pembenaran seperti data serta informasi yang mereka peroleh didapat dari lapangan dan narasumber sendiri. Jadi akurat dalam pemberitaan.

Pertanyaanya, bukankah karya jurnalis itu merupakan karya intelektual? Merupakan karya ilmiah populer. Lantas, apakah pers akan tetap menulis, enam, bila narasumber mengatakan bahwa 2+2 = 6? Tentunya kan tidak.

Berita Palsu

Bila ternyata pers dengan sengaja ataapun karena kealpaannya melakukan pemberitaan palsu, dapatkah itu dinamakan berita palsu (Hoax)? Penulis beranggapan, pemberitaan dengan harapan palsu di masyarakat tersebut, bagian dari hoax.

Pers Indonesia merupakan produk intelektual, yang dilakoni oleh wartawan, jurnalis yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mempuni dan rasa pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara. Pers Indonesia tetap tunduk pada hukum positif yang berlaku, dengan tujuan cita-cita hukum NKRI.

Dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan pengertian pers adalah, lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memiliki, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, gambar dan suara, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media elektronik, media cetak dan segala jenis saluran yang tersedia.

Untuk Fungsi Pers yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial. (pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers) dalam pelaksanaannya, pers melaksanakan perannya ,guna memenuhi hak masyarakat, untuk mengetahui menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM. Pers juga harus menghormati kebinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar melakukan pengawasan, selain sebagai pelaku Media Informasi (Sedangkan Pasal 6 UU Pers Nasional)

Terkadang, dalam pemberitaan, pers acapkali menyebut misalkan, “Sosok tokoh masyarakat ini”. “Tokoh yang perduli pada rakyat kecil ini”. Padahal apa yaang disebutkan itu jauh panggang dari pada api. Bukankah ini masuk dalam katagori hoax?

Ada lagi pemalsuan dalam gambar, “Si A akrab dengan tokoh Si Anu”. Padahal gambar yang dipampang itu tidak benar. Melainkan, kedekatan yang ada di gambar, merupakan pertemuan tidak sengaja, atau saat meminta photo bersama dengan tokoh Si Anu. Hal seperti ini juga katagori hoax.

Pemberitaan palsu (atau hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Tapi dalam kesehariannya, sering kita dan baca pers mengungkapkan hal-hal yang tampaknya sederhana, namun menciptakan, membuat harapan palsu pada para pembacanya.

*Penulis tinggal di Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment