Merenung Calon Walikota di Sepertiga Malam

LITERASI - Rabu, 14 Juni 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Cerpen: Benny Hakim Benardie *)

Dua kali suara dentingan besi tiang listrik sayup-sayup terdengar dikeheningan, saat dipukul oleh penjaga malam. Kokok ayam dan pekikan jangkrikpun sepi dilanda curahan hujan menghamtam atap seng rumah penduduk Jalan Gedang Kota Bengkulu.

Sesekali dari kejauhan terdengar juga teriakan orang melalui toa masjid entah itu musholah, mengajak umat muslim bangun sahur. Mungkin segelitir orang merasa terganggu mendengar suara di sepertiga malam, saat hujan mendera.

Tidak begitu menganggu yang dirasakan Cikben. Ia tampak sibuk membolakan beberapa literatur buku filsafatnya. Entah apa yang dicari dan dikajinya. Hanya saja disisi kanan meja tampak secarik kertas kusam bertuliskan: “Sang Walikota dengan Seonggok Harga”.

Dalam keasyikan jiwa, tersentak suara bininya memanggil dari dalam bilik dengan suara serak lantang.

“Pak, kenapa belum tidur juga? Kan sudah hampir sahur ini!”

Sedikit malas menjawab, Cikben berdiri mendekati kain gordeng pembatas bilik. “Ibu tidur aja dulu, bapak masih ada yang mau dipikirkan”, katanya dengan suara sedikit berbisik dan segera kembali ketumpukkan buku diatas meja.

Malam ini tak tampak kepulan asap rokok, harumnya aroma kopi selain setengah gelas air putih rebusan petang kemarin. Sedikit tarikan nafas, terdengar keluar dari dalam perut, pertanda badan menuntut haknya yang sejak sore belum terpenuhi selain regukan air putih.

Cikben sempat menegadah sembari menyender di kursi rotan reot peninggalan warisan orang tuanya dahulu. Dari atas bubungan rumah, tampak dua ekor cicak berlari kian kemari mengejar seekor laron yang enggan menghinggap disambungan kayu bubungan rumah. Usaha cicak pupus, saat laron berhasil terbang keluar rumah.

Kegagalan memburu mangsa tadi rupanya tidak membuat dua cicak tadi bubar atau tidak tinggal diam. Satu cicak malah mengejar satu cicak lainnya dan mengajaknya kawin. Tentu saja pergulatan terjadi dengan sedikit keberpurak-purakan, seperti biasanya dalam bercengkrama.

“Apakah ini ilham? Lantas apakah hubungan peristiwa cicak dengan tema, “Sang Walikota dengan Seonggok Harga?” Fikir Cikben kembali membolak balik literatur bukunya. “Ah…Kenapa jadi dihubungkan dengan kisah cicak? Keluhnya dalam hati.

****

“Assalamu’alaikum”.

Suara salam dengan ketukan pitu itu sempat membuat kaget bercampur cemas.

“Wa’alaikumsalam, siapa ya?”.

Saat di intip lewat jendela, ternyata itu salam dari seorang penjaga malam yang singgah, melihat lampu pelita di ruang tengah rumah Cikben masih benderang. Akhirnya Mang Aris nama penjaga malam itu dipersilahkan masuk. percakapan menjelang sahurpun berlanjut dengan diskusi.

Meskipun hanya seorang penjaga malam, Mang Aris mantan kader partai senior yang hingga berhenti aktifitas berpartainya, belum pernah mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Biasalah, biaya untuk itu tidak ada. Sempat dicetuskanya kalau menjadi penjaga malam untuk keamanan masyarakat, lebih riil dan enak makan hasil upahnya tanpa tedeng aling-aling.

Cikben menjelaskan apa yang dipikirkannya malam ini, sebenarnya sudah lama membuat gusar pikirannya. “Ada tiga yang saya belum bisa menjelaskannya Mang. Pertama, Kenapa setiap mau jadi calon walikota, kita mustilah banyak uang. Kedua Walikota seperti apa yang harus kita pilih? Terus bobot bebet bibit seperti kata orang tua dahlu masih dapat diberlakukan mang?”

Mendengar itu, Mang Aris bukannya mikir, malah dia tertawa terkekeh-kekeh hingga memecah malam dan membangun bini Cikben, yang setelah tahu tamunya itu adalah Mang Aris, ia kembali masuk bilik kembali berguling dikatilnya menanti sahur menjelang.

“Kalau saya kasih pendapat Cik…….Tapi sebelumnya mohon maaf, sebenarnya itu pertanyaan untuk anak sekolah dasar, tapi harus dijawab oleh para sarjanawan. Mudah pertanyaannya, tapi sulit menjabarkannya”.

“Maksudnya?” tanya Cikben tampak bingung.

Dengan gaya mantan politisi senior, tampak Mang Aris menghisap rokok daun nipah dalam-dalam. Tentu saja saat asap di hembuskan, tampak Cikben sedikit mundur dari kursinya, takut aroma rokot daun itu membuat dirinya teler.

Dengan gaya diplomasi politisi ala orang susah, Mang Aris mencoba menjelaskan sesuai apa yang diketahuinya dalam politik dan berdemokrasi.

“Uang dalam politik itu kenyataan yang sulit untuk ditapik. Uang penting untuk penggugah rasa. Kalau uang dalam berdemokrasi itu tidak nyata. Uang hanya dijadikan untuk cipta. Pertanyaannya, dimanakah karsa? Jawabnya bila demokrasi dalam politik itu sepakat dan sejalan, maka disitulah karsa ada”.

Teranguk-anguk dan hanya sekali mengelengkan kepala Cikben mendengar Mang Aris berbicara.

“Yang kedua tadi apa?” tanyanya

“Soal sosok walikota seperti apa yang baiknya kita pilih Mang?”

“Oo itu…..”. Mang Aris tampak diam sejenak sembari menatap rokok daun nipahnya yang mulai memendek. Sedikit menghela nafas Mang Aris berasal dari kota Tangerang Banten itu menuangkan segelas air yang ada dalam ceret diatas meja.

Walikota itu jelas Mang Aris, merupakan pemimpin di pemerintahan kota, sekaligus pengurus negeri. Mau jadi pemimpin itu ada syarat dan katagorinya kalau zaman dahulu.

“Pertanyaannya, bagaimana mau menjadi pemimpin masyarakat banyak, sementara dikantor kecil saja kita tidak bisa. Di keluarga saja kita tidak bisa memimpin anak bini? Ha ha ha ha…..”.

“Aih……Mamang bisa saja. Kalau begitu, cari pemimpinnya perempuan saja hik hik hik…”, canda Cikben yang tak dihiraukan mantan kader Parpol itu.

“Kalau saya punya pendapat Cik, mungkin Cik sependapat, carilah walikota atau pemimpin itu sosok yang punya kharismatik. Kata seorang penyair, carilah seperti tukang mandikan kuda. Tukangnya lebih dahulu masuk air baru kudanya”.

“Maksudnya?”

“Udah dulu Cik, besok kita sambung lagi. Aku mau ke pos ronda dulu, dah kelamaan ninggalin pos”, kata Mang Aris berdiri pamit pergi.

****

Usai pamitnya mantan kader partai yang kini memilih menjadi penjaga malam itu, Cikben kembali berkutat dengan bukunya, mencari sosok idial Sang Walikota.

Pada halaman tengah lembar buku, Cik tampak berhenti sesaat, saat membaca tulisan: “ Kita sadar tidak mungkin kita dapat pemimpin yang idial, sempurna, karena kesempurnaan terletak pada kekurangannya”.

Sementara dibawah tulisan disebutkan, kalau pribadi laku pemimpin ibarat photokopi ibu bapaknya. “Rebung tidak jauh tumbuh dari bambu. Kalau induk kurik, besar kemungkinan anak rintik. Tidak mungkin kayu bengkok memunculkan banyangan lurus”.

Suara teriakan saatnya sahur kian bertambah ramai. Sementara gundah hati dan pikiran belum juga usai. Hingga akhirnya teringat kajian Ulama besar Buya Hamka dahulu.

Teringat kisah seseorang miskin bernama Thalut. Dia dipilih menjadi pemimpin bukan karena banyak hartanya, tapi karena berfikir luas, sehat badannya, luas pula ilmunya.

“Pak…..Sudah pukul berapa sekarang?” panggil bininya dari bilik.

“Dah hampir setengah empat”.

Terdengar suara katil berdenyit. Rupanya bini Cik kaget, karena dia belum menyiapkan santapan sayur.

“Waduh……aku lupa menanak nasi”, teriaknya sambil bergegas menuju dapur. Cikben tidak begit menghirakan kelhan bininya. Ia tampak terus saja membaca kisah tiga raja, zaman Raja Bani Umayah.

Di sebutkan pertama Raja Sulaiman bin Abdul Malik. Raja kaya suka sekali makan. Segala macam makanan dibawa ke istana. Akibatnya masyarakat juga terpengaruh akan tabiat raja. Raja Sulaiman akhirnya mati karena kekenyangan.

Kedua, Raja Hisam bin Abdul Malik. Sosok Raja yang suka gonta- ganti model pakaian. Dalam satu hari, Raja bisa 4hingga 5 kali sehari berganti model pakaian. Selanjutnya raja Umar bin Abdul Aziis. Ini sosok Raja yang sederhana, tidak memikirkan harta.

Di akhir kisah, hidup ketiga pemimpin ini membahkan hasil bagi ketrnannya. Setelah tidak berkuasa lagi, mati, keturunan dua raja diatas tampak jadi orang miskin. Menjadi peminta-minta dan memberikan aib bagi keluarganya. Sedangkan keturunan Umar sibuk membagi bagikan zakat, menymbangkan hartanya ke masyarakat fakir miskin. Karena umar meninggalkan ilmu ke anaknya dan pembelajaran bagi masyarakatnya.

“Inikah barangkali disebut kalau induk kurik, besar kemungkinan anak rintik” renung Cikben yang akhirnya tersentak menutup bukunya, saat santapan sahur usai tersedia di paparan tikar pandan diatas lantai tanah.

“Berhentilah pak, kita sahur dulu”, ajak bininya.

*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment