Mengungkap Nalar di Antara Khayal

LITERASI - Rabu, 26 Juli 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Opini: Benny Hakim Benardie

Menyentil cara befikir dan mematahkan pendapat orang lain, dalam negara demokrasi diperkenankan. Tentunya alangkah baiknya itu dilakukan  sesuai kepatutan, tidak dimaksud mendiskriditkan seseorang atau kelompok, serta tidak egosentris.   Inil merupakan  hak azazi seseorang untuk bernalar.

Sebagai manusia beradap di era modernisasi, bernalar dalam melihat dan menanggapi sesuatu merupakan keharusan. Bernalar berarti seseorang melihat atau memperhatikan dengan berfikir sunguh-sunguh. Bukan asal ‘njeplak’.

Pada  kenyataannya,  bernalar sulit dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, menginggat akan kepentingan, desakan kebutuhan popularitas dan egosenris pragmatis. Kenapa hal ini ada di masyarakat intelektual, politisi dan praktisi kita? Karena ada kesadaran tiga komponen yang terabaikan yaitu  nalar, akal sehat dan hati.

Sering kali misalnya seorang politisi atau praktisi  dalam berbagai komentar  menanggapi sebuah pendapat, dengan  persepsi-persepsi tanpa merunut latar belakang  atas pendapat yang ditanggapinya. Sebaliknya, pemberi pernyataan hanya memaparkan  secara kontekstual, tanpa memikirkan atas persepsi.

Penulis sebenarnya ingin menegaskan, jika benar persepsi  benar-benar merupakan persepsi yang benar, cocok dengan nalar dan akal sehat, adakah kita harus mematuhi dan bertindak atas dasar itu? Katakanlah mengiakan pertanyaan diatas, lantas bagaimanakah bila  ternyata persepsi yang kita anggap benar tadi ternyata salah?

Otoritas nalar dalam berpendapat merupakan keharusan. Sebutan manusia berkualitas  salah satu ‘bayarannya’. Bila tidak, analogi sebagai manusia tuli dan bisu akan disandang, apa dan siapapun dia. Kesalahan akan persepsi merupakan kekurangan akan informasi yang mustilah ada klarifikasi susulan.

Bisu dan tuli yang penulis maksud tentunya bukan secara fisik.  Melainkan ketidakmampuan mendengarkan hakekat, atau mendengarkan tapi tidak mengikuti dengan lidahnya. Bisu karema lidahnya hanya dipakai untuk omong kosong belaka. Tuli karena tidak dapat  mendengarkan hakekat  yang ada.  Maka mereka merupakan sosok yang tidak bernalar. Sosok yang tidak bisa memperoleh keuntungan dari pemikirannya.

Pemikiran

Apa yang penulis paparkan diatas merupakan sebuah pemikiran. Yang terpenting dari pemikiran ini  adalah hasil guna dan buahnya. Lantas bagaimanakah  kalau hasil guna dan buahnya merupakan bentuk pemahaman yang berbeda?

Hal itu hanya soal warna dan rasanya saja. Bila itu merupakan pemahaman atas gagasan, maka lebih ditekankan pada akal dan  kemampuan pengunaan akal seseorang.

Pernalaran atau pemikiran dalam arti proses berfikir, memang proses yang rumit dan mempunyai empat unsur. Fakta yang terindera, panca indera manusia, otak mansia, dan informasi sebelumnya yang berkaitan dengan fakta dan dimiliki oleh manusia.

Bila keempat unsur itu tidak terkumpul dalam satu proses berfikir, maka  pemikiran  dan kesadaran dalam memahami sesuatu tidak akan terwjud.

Bila kita mengatakan sedang berfikir tentang sesuatu tanpa fakta yang terindera, maka itu adalah imajinasi atau khayal belaka. Tentunya ini bukan satu pemikiran namanya, tapi ‘tong kosong yang bunyinya nyaring’ dan memusingkan kepala kita.

[Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya di Bengkulu]

BACA LAINNYA


Leave a comment