Menanti Srikandi di Negeri Fatmawati

LITERASI - Rabu, 4 Maret 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd*

Dinamika ke-Perempuanan dalam 20 tahun terakhir mengalami trend kenaikan yang sangat signifikan, mulai dari profesi bisnis, advokat, akuntan, dosen, guru dan berbagai profesi lainnya. Namun hal ini tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan dalam bidang kepemimpinan publik dan politik yang sering kali dianggap dominantly masculine occuption. Akibatnya, sampai saat ini menurut catatan penulis, sangat sedikit perempuan yang mampu mencapai jenjang tertinggi dalam birokrasi pemerintah maupun kepemimpinan politik khususnya Kepala Daerah (Bupati/Walikota/Gubernur).

Analisis dalam berbagai penelitian menyebutkan bahwa banyak kepemimpinan perempuan dalam posisi eksekutif baik level nasional, provinsi dan kabupaten merupakan kabar gembira, karena menceritakan keberhasilan-keberhasilan yang diraih perempuan pemimpin. Indonesia mencatat Walikota Surabaya Risma, Bupati Kebumen Rustri, meskipun juga mencatat kegagalan terbesar Gubernur Banten Ratu Atut yang terjerat kasus mega korupsi demikian juga Bupati Karanganyar Rina Iriani. Partisipasi politik dan kenegaraan perempuan sebagaimana laki-laki juga mengalami naik-turunnya.

Hasil riset yang dilakukan oleh Yayasan SATUNAMA pada pemilukada tahun 2015 menunjukkan bahwa Jumlah perempuan yang menjadi kandidat masih sangat kecil, hanya 7,3% atau 121 perempuan saja dari total keseluruhan kandidat sejumlah 1656 orang, dan hanya 47 orang yang terpilih, baik sebagai Bupati/Walikota maupun sebagai Wakil Bupati/Wakil Walikota.

Demikian juga hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh kompas.com pada Pemilukada di tahun 2018. Media ini mencatat, hanya 14 orang pemimpin dari kalangan perempuan yang terpilih pada perhelatan tersebut. Para pemimpin perempuan tersebut adalah; Dewi Handjani Bupati Tanggamus, Ade Munawaroh Yasin di Kabupaten Bogor, Anne Ratna Mustika Bupati Purwakarta, Ade Uu Sukaesih Wali Kota Banjar, Umi Azizah Umi Bupati Tegal, Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur, Puput Tantriana Sari bupati Kabupaten Probolinggo, Mundjidah Wahab Bupati Jombang, Anna Mu’awanah Bupati Bojonegoro, Ika Puspitasari Wali Kota Mojokerto, Iti Octavia Jayabaya bupati Kabupaten Lebak, Banten, Paulina Haning Bupati Rote Ndao, Erlina bupati Kabupaten Mempawah dan Tatong Bara Wali Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara.

Sementara untuk di Kota/Kabupaten di Provinsi Bengkulu pada Pemilukada tahun 2015, dari 8 (Delapan) orang yang menjadi calon Bupati/Wakil Bupati dan Calon Wakil Walikota, hanya tiga (Tiga) Orang yang terpilih, yaitu Ir. Patriana Sosialinda (wakil Walikota Bengkulu) dan Hj. Yulis Suti Sutri (wakil Bupati Kaur), dan Netti Herawati, S.Sos (Wakil Bupati Kepahiang). Menariknya, sejak pemilukada 2010 dan 2015, di Provinsi Bengkulu belum ada satupun calon Gubernur yang berasal dari kalangan perempuan.

Melihat dinamika politik lokal khususnya dalam dinamika kontestasi Pemilihan Gubernur Provinsi Bengkulu, diskursus dan wacana kepemimpinan perempuan sangat minim diskusinya, para calon gubernur (bakal calon) yang tampil dan ditampilkan hampir keseluruhannya adalah laki-laki. Jikapun ada perempuan, kerapkali dianggap tidak menjadi saingan yang patut diperhitungkan.

Diskursus mengenai kepemimpinan politik perempuan dalam aspek kepala daerah ini sesungguhnya merupakan persoalan yang kompleks, ia tidak hanya dipengaruhi oleh sistem pemilihan umum, namun berkaitan antar satu dan lainnya, seperti budaya patriarkhi, pertalian keluarga, martyrdom, kelas sosial, gaya hidup, dan konteks sejarah.

Padahal sesungguhnya, perlu dilakukan upaya edukatif dalam memunculkan kandidat perempuan yang teruji dan matang secara politik. Jika dilihat dari keterwakilan perempuan dilembaga legislatif pada tingkat pusat terdapat politisi perempuan seperti, Eni Khairani (DPD-RI), Riri Damayanti (DPD-RI), Dewi Coryati (PAN), Susi Marleni Bachsin (Gerindra) dan Elva Hartati (PDI-P).

Menurut hemat penulis, tokoh perempuan di Provinsi Bengkulu tersebut perlu muncul dan dimunculkan dalam rangka pendidikan politik bagi masyarakat, hal ini juga dilakukan dalam rangka memperkuat peran partisipasi perempuan dalam dunia politik yang merupakan manifestasi proses demokratisasi, dan ini menjadi tugas partai politik dalam meletakkan dasar-dasar fundamentalnya. Di Indonesia, keterlibatan perempuan dalam level manajemen partai masih sangat rendah dan system ini masih belum dilaksanakan. Secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus dengan affirmative action. Artinya harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan dalam aktifitas politik (Soetjipto A.W. 2011: 20). Untuk hal ini perlu dikhususkan bagi kepempimpinan perempuan di tingkat Kepala Daerah.

Kajian ini akan menjadi lebih menarik ketika melihat fenomena akhir-akhir ini, dimana gesekan yang berpotensi perang urat syaraf dan proxywar semakin memprihatinkan, salah satu sebabnya menurut hemat penulis adalah ketiadaan perempuan yang mengambil peran sebagai kandidat. Meskipun saat ini telah dimunculkan dua perempuan yakni Honiarty Junaidi Hamzah dan Anarulita Muchtar, namun kedua bakal calon ini tidak dilirik oleh partai politik sehingga tenggelam diantara gema dan riuhnya persaingan kandidat laki-laki.

Persaingan kandidat laki-laki ini, semakin hari semakin meningkat tensi dan eskalasinya, hingga masing-masing kelompok cenderung saling mengawasi dan mencari celah untuk ‘dijegal’, fakta tuntutan mengenai mengungkap kembali dana Bansos Kota Bengkulu di Kejagung dan tuntutan atas laporan terhadap petahana di Polda Bengkulu beberapa waktu yang lalu bisa dijadikan bukti bahwa ternyata kandidat laki-laki saat ini berpotensi menjadi konflik yang sama-sama sulit di atasi.

Oleh karena itu pada khasanah tradisional Sulawesi Selatan, terdapat pameo yang menyatakan, bila konflik public yang didominasi dan dikuasai laki-laki tidak dapat diatasi, maka tampilkan perempuan menjadi solusi. Demikian pula Corazon Aquino di Philipina yang jadi penanda penting, bahwa kaum perempuan ternyata sangat efektif menjadi solusi bagi krisis. Mudah-mudahan bermanfaat.

*Penulis adalah Alumni Program Doktor Universitas Negeri Jakarta

Catatan: Tulisan ini merupakan sebagian fokus bahasan dari buku yang hendak penulis terbitkan dengan judul “Perempuan dalam Dinamika Sosial Modern; Menelusuri Dinamika Perempuan Dari Berbagai Perspektif”, di antara bahasan dan kajiannya adalah Perempuan dalam Dinamika Politik dan Kepemimpinan Birokrasi.

BACA LAINNYA


Leave a comment