Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

LITERASI - Minggu, 26 Agustus 2018

Konten ini di Produksi Oleh :

Benny Hakim Benardie*

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi diam itu, itulah kezaliman”

Di era tahun 70 hingga 80-an, usai Salat Subuh, tampak bujang gadis dan anak-anak di Kota Bengkulu, berduyun-duyun menghirup sejuknya fajar menuju Bukit Tapak Paderi. Di tengah jalan, tampak garisan kapur tulis berbentuk kotak, untuk remaja bermain “Calabur”. Suatu permainan rakyat yang kini punah dihantam ego generasi taklid.

Berjalan melingkar di bawah Bukit Tapak Paderi, titik nol negeri Bengkulu. Bujang gadis dan anak anak bercengkrama sembari memandang deburan ombak dan lautan lepas yang tak ternilai indahnya.

Anak-anak tampak bermain perosotan dari atas bukit hingga berguling-guling di atas rumput hijau hingga mentari terbit sepenggalan. Seolah-olah indahnya Bengkulu dengan generasi yang kala itu seperti statis di dalam, dan dinamis saat di perantauan.

Tampaknya kala itu generasi mudanya tak banyak tahu dengan jelimet peninggalan sejarah yang ada di sekelilingnya. Biarpun demikian, mereka tak merusak apa yang ada.

Di atas puncak Bukit Tapak Paderi terdapat suatu monumen yang berdiri kokoh. Acap kali berebutan duduk di sana, karena tempat yang paling santai melihat laut lepas. Sedikit saja ada yang mau coret-moret monumen, banyak teguran untuk pelaku yang iseng ataupun jahil.

Tragis

Kini sejak tahun 2000-an, Bukit Tapak Paderi tak seperti aslinya. Bukit itu telah dibelah dan diratakan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Tak ada lagi jalan melingkar dan raun remaja di fajar menyinsing. Tugu monumen peninggalan Belanda itupun kena imbasnya.

Sebuah tugu atau monumen itu bernama The Orange Bank. Bangunan mirip mahkota ini dibangun 1905, untuk memperingati HUT ke-25 yang mulia Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda kala itu.

Kini kondisinya ada beberapa sisi yang diubah dan dirusak keasliannya. Dirusak bukannya tak sengaja, tapi dilakukan sengaja dengan pembiaran. Dijadikan lokasi taman permainan yang tak edukatif dari sisi budaya dan tradisi negeri beradat.

Ini peninggalan sejarah masa lampau. Pertanyaanya, dimanakah para pemimpin negeri ini, melihat beberapa situs sejarah dirusak? Bukankah itu semua dapat dijadikan objek wisata sejarah? Tinggal lagi yang punya jabatan dan kekuasaan berpikir. Bak kata pepatah tua, “Dimana Langit Dipijak, Disitu Langit Dijunjung”.

*Pemerhati Sejarah dan Budaya tinggal di Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment