Bengkulu Termiskin se-Sumatra, Percaya 100 Persen Benar?

LITERASI - Kamis, 23 Juli 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Fatmasari Damayanti*

Angka kemiskinan Bengkulu baru dirilis oleh BPS pada 15 Juli kemarin. Hasilnya mampu membuat geger insan Bumi Rafflesia. Betapa tidak, di periode Maret 2020 Bengkulu kembali menyandang predikat provinsi termiskin se-Sumatra, setelah 5 tahun berturut-turut predikat tersebut melekat pada Provinsi Aceh. Bagaimana sebenarnya angka kemiskinan ini, apa benar bahwa Bengkulu memang termiskin se-Sumatra?

Pertama, kita perlu mengetahui dari mana angka kemiskinan berasal. Angka Kemiskinan diperoleh berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas dilaksanakan 2 kali setahun yaitu bulan Maret dan September. Itulah mengapa muncul angka kemiskinan 2 kali dalam setahun. Apa bedanya? Susenas Maret digunakan untuk menghitung angka kemiskinan provinsi dan kabupaten/kota dengan jumlah sampel yang lebih besar daripada periode September sedangkan Susenas September digunakan untuk menghitung angka kemiskinan provinsi saja, sehingga sampel yang diperlukan lebih sedikit. Masing-masing sampel akan diambil data pengeluarannya untuk mengetahui besaran garis kemiskinan. Selanjutnya dihitung berapa persen penduduk yang mempunyai pengeluaran/pendapatan di bawah garis kemiskinan. Inilah yang disebut angka kemiskinan.

Dalam ilmu statistik, jika kita menemui suatu angka yang dihasilkan dari sebuah survey, maka angka tersebut tidak dapat dipastikan 100 persen mutlak benar. Selalu ada error/tingkat kesalahan yang menyertai walaupun kecil. Mengapa? Karena angka hasil survei diperoleh dari sampel. Sampel dipilih dari populasi. Berbeda dengan sensus yang datanya diperoleh dari populasi. Populasi ini mencakup seluruh individu/objek yang diamati tanpa terkecuali. Seluruhnya masuk dalam perhitungan tanpa ada pemilihan sampel. Oleh sebab itu dapat dipastikan angka yang dihasilkan dari sensus dipercaya 100 persen benar tanpa error.

Sampai di sini jelas bahwa angka kemiskinan didapatkan dari sebuah survey. Dalam survey tersebut tidak semua penduduk di Provinsi Bengkulu dijadikan sampel. Tidak semua penduduk ditanya berapa pendapatan/pengeluarannya. Hanya rumah tangga yang dianggap dapat mewakili pengeluaran penduduk, terpilih menjadi sampel. Artinya ada rumah tangga yang tidak terpilih sampel dan mungkin saja tergolong rumah tangga miskin. Inilah salah satu kejadian yang dapat menimbulkan error.

Dalam suatu survey, error dapat ditimbulkan saat perencanaan survey dan ketika pelaksanaan survey. Error yang terjadi ketika kita mendesain metode pengambilan sampel (perencanaan survey) disebut sampling error, sedangkan error yang terjadi ketika kita melakukan pengambilan data dari sampel terpilih (saat pelaksanaan survey) disebut non-sampling error. Sampling error akan menghasilkan apa yang disebut margin of error, sedangkan gabungan dari sampling error dan non-sampling error akan menghasilkan apa yang dinamakan standard error. Nilai error akan menentukan besaran selang kepercayaan angka hasil survey.

DIlihat dari kacamata statistika, bisa jadi Bengkulu bukan yang termiskin. Lho kok bisa? Iya, semua tergantung besaran intervalnya. Setiap provinsi mempunyai selang/interval angka kemiskinan berbeda ditentukan oleh nilai error-nya. Batas bawah interval adalah angka kemiskinan hasil survey dikurangi error dan batas atasnya adalah angka kemiskinan ditambah error. Besaran error setiap provinsi tergantung pada banyak faktor, seperti pola distribusi pengeluaran penduduknya, jumlah penduduknya, rentang harga di wilayah tersebut dan faktor penyebablainnya. Oleh sebab itu, lebih tepat jika dalam menginterpretasikan angka hasil survey tidak dibaca sebagai suatu titik melainkan sebagai sebuah interval yang menyertakan error-nya. Error dan angka hasil survey itu ibarat bayangan hitam suatu benda, yang selalu menyertai berapapun angka hasil survey.

Kesimpulannya, sebagai user data sebaiknya tidak langsung mengartikan angka survey sebagai sebuah ukuran mutlak benar 100 persen. Terlebih lagi menjadi gusar dengan pemberitaan media yang mengatakan Bengkulu ranking 1 termiskin se-Sumatra,lalu menyimpulkan pemerintah gagal dalam mengentaskan kemiskinan. Hal tersebut dapat menimbulkan pikiran negatif yang dapat menjadi pemecah persatuan bangsa.

Ada sisi positif yang dapat dilihat. Walaupun termiskin se-Sumatra, angka kemiskinan Bengkulu sudah turun sebanyak 0,2 persen poin bila dibandingkan dengan periode yang sama setahun lalu. Penurunan angka ini merupakan suatu pencapaian yang luar biasa karena sangat sulit menurunkan angka kemiskinan. Ibarat mencuci baju, kemiskinan ini seperti noda yang membandel, sulit dihilangkan tetapi perlahan bisa dipudarkan. Sebenarnya yang membuat Bengkulu tampak kalah dibandingkan Aceh adalah, penurunan kemiskinan Bengkulu tidak setajam penurunan Provinsi Aceh di mana kemiskinan Provinsi Aceh turun sebesar 0,33 persen poin.

Menyikapi angka kemiskinan yang telah dirilis BPS, saat ini yang dibutuhkan Bengkulu adalah bagaimana mengadopsi cara provinsi lain dalam menurunkan angka kemiskinan, mengapa kecepatan penurunan kemiskinan Bengkulu tidak setajam Aceh. Mungkin sebelum merumuskan kebijakan, ada baiknya mempelajari bagaiamana karakter penduduk kita, budaya, pola distribusi pengeluarannya kemudian kita bandingkan dengan provinsi lain yang berhasil dalam program pengentasan kemiskinan. Baru kemudian menentukan strategi pengentasan kemiskinan apa yang tepat dan sesuai karakter penduduk Bumi Rafflesia ini, sehingga peluang keberhasilan penurunan angka kemiskinan lebih besar.

*Penulis adalah Statistisi Ahli Muda BPS Provinsi Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment