Literasi; Membaca Realitas Lewat Diksi, Melawan Lewat Tulisan

LITERASI - Sabtu, 22 April 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Reza Karolina*) & Oky Alex S**)

“Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari” ~ Pramoedya Ananta Toer ~

Banyak hal yang kita ditemukan dalam membaca sejarah dan membaca realita sosial yang timbul dewasa ini. Kita harus dengan sadar mengakui bahwasanya kondisi peradaban sekarang dipengaruhi oleh tingkat budaya membaca masyarakat dan anak-anak khususnya. Kita juga melihat, menyadari bagaimana tulisan tetap menjadi senjata yang abadi dan menjadi gelombang perubahan besar dari suatu perubahan Bangsa.

Semangat berliterasi seharusnya tidak hanya dipandang hanya sekedar membaca buku, majalah atau artikel. Akan tetapi, dengan membaca sejarah masa lalu dan membaca realitas sekarang kita dapat merekonstruksikan masa depan yang lebih dari kegitan literasi.

Tantangan memang cukup besar, kita dihadapkan dengan bagaimana kegitan membaca dan menjadi kegiatan yang kolot dan membosankan. Malas membaca dan menulis menjadi bom waktu yang nantinya mungkin dapat membuat bangsa kita tetap dalam negara dunia ketiga atau tetap menjadi negara yang berkembang tanpa ada kemajuan sedikitpun. Hal ini harus ada upaya merefleksikan dan menggugat peran pemuda tentunya, untuk ikut andil dan mencari resulusi kongkrit yang nyata bukan dengan hanya mengutuk keadaan.

Belajar dari Sosok Eduard Douwes Dekker dan Kartini

Saya sedikit bercerita tentang Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama pena Multatuli. Seorang Douwes Dekker adalah mantan residen Lebak, Banten. Ia dikirim oleh kolonial Belanda dalam upaya membangun perdagangan kopi. Di Lebak, kesadaran Douwes Dekker seakan dipertaruhkan, ia melihat ketidakadilan dan ingin membantu rakyat Lebak bangkit dari kemiskinan. Dari pergaulan yang dia lihat dengan rakyat, Douwes Dekker menyaksikan para Demang kerap melakukan kecurangan dan pemerasan. Para Demang itu berada dalam pengaruh Bupati Lebak. Douwes Dekker mengendus gelagat korupsi, bukan main geramnya. Ia berjanji melindungi rakyat Lebak, asalkan jujur mengemukakan persoalan yang menimpa.

Douwes Dekker coba menyelesaikan persoalan itu, berharap bantuan dari atasannya di Batavia. Justru Douwes Dekker dipindah tugaskan ke wilayah Ngawi, Jawa Timur. Ia menyesalkan keputusan sepihak itu, dan memilih mundur sebagai protes pada pemerintah Hindia Belanda.

Douwes Dekker juga berusaha menemui Gubernur Jenderal di Bogor, karena dianggap lebih bijak dalam membantu rakyat Lebak. Alhasil nihil, Douwes Dekker tidak mendapat bantuan apapun. Maka lewat dengan tulisan ia melawan, dengan Max Havellar dia mengubahnya lewat tulisannya Max Havellar yang dimulai dengan kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan contoh yang tepat tentang seorang borjuis kecil yang membosankan dan kikir, yang menjadi simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia Belanda.

Akhirnya dengan perjuangan di balik layarnya itu membuahkan hasil. Buku Max Havellar dibaca oleh Ratu Wilhemina I yang merupakan ratu Negeri Belanda pada tahun 1898. Dari sanalah bermula pernyataannya sang Ratu mengungkapkan bahwa pemerintahan Belanda berhutang moril kepada Hindia-Belanda dan akan segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di Hindia-Belanda. Alhasil dari pernyataan tersebut merupakan awal politik etis di mulai. Politik Etis atau politik balas budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan kaum bumiputera. Salah satu kewajiban dari politik etis adalah bahwa bumi putera mempunyai hak yang sama salah satunya adalah soal memperoleh pendidikan, dan dari kebijakan pendidikan itu kita bisa menarik nya sampai pada sikap kritis anak bangsa dalam perjuangan sampai memperoleh Kemerdekaan.

Selanjutnya kita dapat melihat dari sosok Kartini, saya menyebutnya hanya Kartini saja karena Raden Ajeng terlalu berbau feodalistik, dan menurut saya Kartini hanya ingin dipanggil Kartini saja. Dalam kisahnya kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berpengaruh pada perkembangan pola berfikir bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki di dalam ruang hidup.

Ternyata, setelah kita melihat lebih jauh bahwa apa yang membedakan sosok Kartini dengan perempuan lainnya adalah soal kesempatan dalam belajar dan berliterasi, karena dengan membaca Kartini dalam melihat dan membaca realitas secara lebih luas. Seperti kata Premoedya dia adalah sosok perempuan yang penanya jauh melampaui batasan-batasan waktu. Tubuhnya memang dikrangkeng dalam tembok tebal rumahnya sendiri, segala aktivitasnya dibatasi oleh feodalisme Jawa yang mengekang Perempuan pribumi. Namun melalui tulisan-tulisan nya yang diterbitkan dalam jurnal berbahasa Belanda, Kartini justru membuat orang-orang Belanda mengubah semua pandangan dan stereotype atas perempuan pribumi. Habis Gelap Terbitlah Terang, iya lewat kumpulan surat-surat Kartini kepada para sahabatnya, Rosa Abendanon merupakan catatan harian seorang gadis muda yang ternyata dapat membawa perubahan arus sejarah besar bagi perkembangan diskursus Bangsa yaitu emansipasi. Iya, emansipasi.

Membaca Realitas Budaya Populer

Lahirnya modernisasi kehidupan telah banyak merubah cara pandang dan pola hidup masyarakat, sehingga peradaban yang terlahir adalah terciptanya budaya masyarakat konsumtif dan hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis. Fenomena ini tidaklah dianggap terlalu aneh, untuk dibicarakan dan bahkan sudah menjadi bagian dari budaya baru hasil dari para importir yaitu para penguasa industri budaya yang sengaja memporak porandakan tatanan budaya yang sudah mapan selama bertahun tahun menjadi bagian dari jatidiri bangsa Indonesia itu.

Saya mencoba menghubungkan bagaimana budaya pop dapat mempengaruhi peradaban Bangsa kedepannya. Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman memang seperti dua sisi mata pisau yang dapat membawa manfaat apabila digunakan dengan sebaik-baiknya, apabila digunakan untuk kejahatan maka membawa malapetaka. Seperti yang dikutip dari Thedore Adorno bahwa budaya popular menjanjikan individualisme, kebebasan, rasionalitas, dalam bentuk standarisasi dan diatur dalam komodifikasi yang bersifat konsumerisme dan hedonism (Adorno & Hokheirmer, 1993; Adorno, 1997, 1993). Hal ini yang sedang terjadi dan melanda generasi muda anak yang nantinya akan menjadi tulang punggung regenerasi Bangsa. Sebenarnya pertanyaan sederhananya, apakah kearifan lokal dan budaya lokal yang sudah tidak relavan lagi? Ataukah prosesi asimilasi kebudayaan yang massive menjadikan Indonesia menjadi ladang yang subur bagi budaya asing.

Tidak menutup kemungkinan apa yang kita sebut sebagai clash of culture (benturan kebudayaan) yang nantinya bisa menjadi clash of civilization (benturan peradaban) seperti yang di prediksi oleh Samuel Hangtington. Kita sering melihat contoh sederhananya, kemajuan zaman telah mengubah budaya permainan anak-anak sekarang yang dulunya punya muatan nilai sosilogis. Kemudian dengan adanya gadget dan teknologi anak-anak cenderung lebih invidualistis. Hal ini merupakan bentuk kebiasaan yang membentuk alam bawah sadar yang nantinya dapat berpengaruh pada psikologi anak dan ditambah lagi dengan kondisi era-globalisasi yang semakin memanjakan anak sekaligus mempenjarakan.

Contoh lainnya kita lihat bahwa kemajuan dan perkembangan teknologi dapat mempermudah akses anak untuk mengatuhi informasi secara lebih cepat dan luas. Hal ini dapat berpengaruh pada psikomotorik dan tumbuh kembang emosional anak. Kemudian standarisasi pergaulan anak-anak sekarang sudah mengkrucut pada tahap akut, kita melihat style, fashion dan lifesyle anak-anak sekarang sudah seperti terserabut dari akar kebudayaan. Anak-anak dengan sebutan “Hits” atau “Kekinian” menjadi kiblat pandangan bahwa kemajuan zaman menjadi trend standar yang fashionable, hits dan up to date, termasuk gaya dan pakaian serta tingkah laku. Wajar kalau anak-anak sekarang dewasa sebelum waktunya, dan ini merupakan bentuk kegagalan psikis proses tumbuh kembang anak menurut Erick Erickson. Sekarang dari fenomena yang terjadi timbul pertanyaan, bagaimana Literasi menginfiltasi kebudaayan pop ? Dan bagaimana literasi membentuk peradaban yang sesuai dengan nilai-nilai moralitas dan kebangsaan?

Lewat Literasi Kita Melawan

Membiasakan kegiatan dan kebiasaan literasi sejak dini dapat menjadi hal yang penting di dalam membiasakan pola literer. Anak yang biasa nyaman dan suka membaca cenderung lebih terbuka dan bebas berekspresi. Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan.

Diwilayah pendidikan formal sudah mengupayakan budaya minat baca semaksimal mungkin dengan menyediakan perpustakaan. Begitu pula pemerintah melalui lembaga yang relevan telah mencanangkan program minat baca. Hanya saja yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi swasta untuk menumbuhkan minat baca belum optimal. Oleh karena itu, agar bangsa Indonesia dapat mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga, sebagai pemuda harapan bangsa perlu menumbuhkan minat baca. Dengan menumbuhkan minat baca sejak anak-anak masih dini, diharapkan budaya membaca masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan. Salah satunya adalah dengan gerakan literasi kerelawanan.

Di Bengkulu sendiri ada gerakan relawan yang juga spesifik untuk menumbuhkan minat baca anak-anak yang di daerah minim akses buku. Para relawan hadir dan berbagi bersama anak-anak lewat membaca buku bersama, berpuisi bersama, mendongeng dan yang lainnya. Biasanya relawan melakukan kegitan yang bervariatif agar anak-anak tidak merasa jenuh dan bosan, seperti format bentuk pendidikan formal. Rafflesia Membaca atau yang disingkat RAME merupakan resolusi alternatif dalam upaya menumbuhkan minat baca dan menjauhkan anak-anak dalam kegiatan yang kontra produktif dan hedonistis. Jadi bermula dari kebiasaan dan kegemaran membaca yang menyenangkan sedari dini akan membentuk suatu masyarakat yang berkeadaban di masa yang akan datang.

[*) Penggiat Literasi Bengkulu & Pengurus Rafflesia Membaca, **) Founder Rafflesia Membaca]

BACA LAINNYA


Leave a comment