Literasi Keluarga demi Generasi Emas 2045: Refleksi di Hari Keluarga Nasional

LITERASI - Jumat, 5 Juli 2019

Konten ini di Produksi Oleh :

by J. Ernawanti Tampubolon*

Hari Keluarga Nasional ditetapkan pada tanggal 29 Juni. Hal ini bukan tanpa alasan karena memang kualitas keluarga menentukan keberhasilan sebuah bangsa. Keluarga adalah unit terkecil di mana generasi penerus bangsa, generasi emas, dilahirkan. Generasi emas yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang maju, mandiri, makmur, dan adil, serta masuk jajaran 5 atau 4 besar negara dengan ekonomi terkuat di dunia seperti Visi Indonesia 2045.

Generasi emas seharusnya memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skills yang juga merupakan landasan implementasi dari Kurikulum Pendidikan Indonesia. Sayangnya, beberapa survei menunjukkan hal yang berbeda. Pada tahun 2017, sebuah survei yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional menunjukkan minat baca orang Indonesia sangat rendah dibuktikan dengan jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku (https://www.inews.id/news/nasional/minat-baca-masyarakat-indonesia-rendah-tiap-tahun-hanya-5-9-buku/81139).

Dua penelitian internasional terpercaya juga menunjukkan demikian. The World’s Most Literate Nations (WMLN) adalah penelitian yang dilakukan oleh John W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei pada tahun 2016 (https://www.ccsu.edu/wmln/rank.html). Peringkat ini didasarkan pada sikap membaca dan sarana pendukung membaca lainnya.

Penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2015 menunjukkan hal yang sama. Nilai rata-rata kemampuan membaca Indonesia adalah 397 dan menempati posisi terbawah di antara 44 Negara yang disurvei, Singapura yang menempati posisi tertinggi mendapatkan nilai rata-rata 535. (https://data.oecd.org/pisa/reading-performance-pisa.htm/).

Minat baca yang rendah akan mengakibatkan kemampuan berpikir kritis yang rendah pula. Salah satu dampaknya adalah masyarakat Indonesia mudah terpancing dengan hoax. Masyarakat percaya dengan adanya telur plastik dan beras plastik yang dijual di pasaran, atau adanya ikan alien hingga ada kucing berkepala manusia. Berita-berita semacam ini lalu-lalang di media dan masyarakat tidak hanya mempercayainya, tetapi juga membagikan berita itu melalui sosia media. Berbagai ujaran kebencian, rasisme, dan sentimen agama juga berhasil membuat bangsa ini menjadi negara darurat hoax. (https://kupang.tribunnews.com/2019/03/27/lemhannas-ri-nyatakan-indonesia-darurat-hoax).

Undang-Undang ITE dan teknologi penangkal hoax tidak cukup mengatasi masalah ini karena itu bukan solusi jangka panjang. Solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah yang diakibatkan oleh cacat literasi harus dimulai dari rumah yaitu Literasi Keluarga.

Saya teringat dengan satu ungkapan dari Horace Mann seorang reformator pendidikan Amerika “Rumah tanpa buku ibarat ruangan tanpa jendela“. Demikianlah Literasi Keluarga memegang peranan yang sangat penting seperti jendela pada ruangan. Ruangan tanpa jendela memberi dampak buruk jangka panjang bagi kesehatan, demikian jugalah keluarga tanpa literasi akan memberi dampak buruk bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Tanpa literasi keluarga rasanya generasi emas ini mustahil akan dihasilkan, yang ada hanyalah generasi cacat literasi yang akan terpapar dengan masalah yang sama hingga di usia 100 tahun Indonesia merdeka. Generasi semacam ini hanya akan menghambat kemajuan bangsa.

Kini saatnya keluarga membangkitkan literasi dari rumah sejak dini. Mulailah dengan membiasakan membacakan dongeng kepada anak-anak. Keuntungannya bisa banyak sekali, salah satunya adalah menumbuhkan minat baca anak. Saya pernah meminta seorang anak yang saya tahu ibunya secara teratur membacakan buku kepadanya paling sedikit 2 kali sehari, untuk memilih telepon pintar atau buku cerita bergambar. Ia memilih buku cerita bergambar untuk saya bacakan. Anak yang lain umur 5 tahun duduk dengan sangat baik di tempat umum sambil membaca buku bergambar di tangannya. Ibunya menceritakan pada saya bahwa karakter positif itu didapatkan dari dongeng yang dibacakan dan kini sudah dapat dibaca sendiri oleh anaknya. Siswi saya yang duduk di sekolah menengah atas yang memiliki cara berpikir tingkat tinggi dan mampu menganalisa berbagai teks bacaan, mengatakan pada saya bahwa ia memiliki puluhan dongeng di rumahnya yang rutin dibacakan oleh ayah atau ibunya. Ia bahkan sudah menghafal jalan cerita dongeng itu sebelum ia mengenal huruf. Tiga pengalaman di atas telah cukup membuktikan keuntungan membacakan dongeng kepada anak.

Cara praktis kedua adalah membuat kesepakatan keluarga untuk membaca buku 3 sampai 4 buku setiap bulannya dan membagikan apa yang dibaca di pertemuan rutin keluarga. Dalam hal ini, peranan pemimpin keluarga, ayah, sangat besar untuk menginisasi dan memimpin pertemuan keluarga secara teratur. Kemampuan berpikir anak akan berkembang dengan sendirinya jika ia terlatih menyampaikan pemikirannya di pertemuan keluarga.

Cara praktis yang ketiga adalah membiasakan anak menabung untuk membeli buku yang disukainya agar ia tahu bahwa buku itu berharga dan patut diperjuangkan. Di usia pra sekolah atau sekolah, orang tua harus mendorong anak mencintai buku dibandingkan barang-barang lain seperti gawai, sepatu, jaket, tas bermerek terkenal dan mahal. Menghabiskan akhir minggu dengan bersantai di taman sambil membaca buku, mengunjungi perpustakaan daerah, atau toko buku adalah hal praktis berikutnya yang dapat dikerjakan. Mendorong anak untuk meminjam buku di perpustakaan sekolah juga perlu dilakukan karena di sekolah ada banyak buku berkualitas baik yang dapat dipinjam. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah sebagai salah satu upaya mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah membuat sekolah telah membenahi perpustakaan.

Marilah memaknai Hari Keluarga Nasional dengan berkomitmen melakukan literasi keluarga yang penuh kreativitas. Dengan komitmen ini maka bukan hal mustahil untuk melahirkan generasi kreatif inovatif. Generasi emas yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang maju, mandiri, makmur, dan adil dan mewujudkan Visi Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi terkuat di usia 100 tahun Indonesia merdeka.

*Penulis adalah seorang Pendidik

Baca juga Literasi Keluarga dan Keterlibatan Aktif Masyarakat: Lentera bagi Penderita Disleksia

BACA LAINNYA


Leave a comment