Asmara Hitam di Danau Nibung Mukomuko

LITERASI - Rabu, 19 Juli 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Karya: Yance Askomandala

Dua bulan lebih aku tak lagi masuk ke kantor. Harus aku akui, banyak pekerjaan yang mestinya jadi tanggungjawabku tak dapat ku selesaikan. Bayang-bayang itu terus menghantuiku. Sejak kejadian di malam itu, apa lagi setelah mendapati telepon Pak Ram, semuanya jadi tak enak.

Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Ya Tuhan…..Mengapa aku? Kuatkan hatiku, Ya Rabb. Aku sadar, ini semua teguran darimu. Aku sungguh terlena pada duniamu. Aku akan bertaubat, Ya Rabbi. Kembalikanlah semuanya seperti sedia kala.

Aku terus memaksa menenangkan diri. Ketiadaanku di kantor wakil rakyat itu bukan berarti aku telah lari dari tanggungjawabku sebagai wakil mereka. Memang di waktu sekarang, aku belum bisa menjelaskannya kepada mereka. Mungkin suatu saat nanti. Biarlah mereka menuduhku perempuan hina, politisi yang tak bisa memegang amanah, perusak rumah tangga orang lain dan bla bla….. Hanya ketenangan diri yang aku butuhkan saat ini. Ya….Ketenangan hati agar mampu berpikir jernih untuk mengembalikan keadaan.

“Maa… Mama… Kapan kita pulang? Adek mau sekolah, Ma…”, rengek anakku Si bungsu memecah lamunanku.

“Iya, sabar saying, besok kita pulang yaa….”, bujukku.

“Beneran besok ya ma? Pokoknya adek mau pulang, adek mau sekolah”, desak Si bungsu menambah kebingunganku.

Lain dengan kakaknya si sulung, dia sepertinya menikmati kehidupan baru di sini. Ibukota mampu membiusnya dengan suguhan-suguhan mewah anak seusia mereka. Dia begitu sibuk dengan game yang baru saja kami belikan kemarin. Hampir setiap hari aku harus menuruti kemauan mereka berdua. Apapun itu. Asalkan mereka mengabulkan pula permintaanku. Jangan pulang sebelum semuanya tenang. Itu saja.

***

Siang itu, kami menerima tamu dari sejumlah petinggi aparat penegak hukum. Ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan bersama di kantor. Mereka salah satu mitra kerja kami di legislatif. Usai meeting berlangsung, aku dihampiri sang ajudan petinggi aparat itu, menadahkanku dengan sebuah handphone.

“Punya kontak Whatsaap kan bu?”, aku baru paham maksud pria bertubuh  kekar ini.

“Iya, ada. Ini”, jawabku. Aku mengetik langsung nomor Whatsappku di layar hanphonenya, lalu ku sodorkan kembali padanya.

“Makasih, bu”, sembari ia pamit.

Kami memang sudah lama kenal satu sama lain. Tapi tak begitu akrab. Aku anggota legislatif dan dia ajudan mitra kerjaku. Dia bernama Juan. Aku memanggilnya Mas Je.

Seminggu berlalu, dia kerap menghubungiku. Entah itu membahas perihal pekerjaan bosnya, kadang juga hal-hal lain yang menyerempet di sela chattingan kami. Suatu waktu, entah mengapa aku tiba-tiba bercerita cukup panjang padanya. Ku uraikan seluk-beluk kehidupanku, kehidupan rumah tanggaku, yang setahun lalu telah luluh lantak diterpa perceraian.

Aku merasa begitu plong saat menceritakan itu padanya. Dia cukup nyaman bagiku. Dialah orang pertama yang ku ceritakan soal ini. Sejak keruntuhan rumah tanggaku, aku bungkam. Semua beban ku telan seorang. Tak satupun yang tau apa yang tengah ku rasakan. Baru dia dan hanya dia satu-satunya yang ku ceritakan suka-duka si single parent ini.

Sekian lama waktu berlalu. Hari-hariku tak lagi luput akan kabarnya. Kami selalu terhubung via Whatsapp itu. Nyaris setiap waktu. Jika tak sedang bertugas, setiap malam kami terhubung di video call. Saling melirik wajah di layar handphone. Dan tanpa sadar, kami terperangkap kepada sebuah kenyamanan yang berbeda. Tiada lagi hal-hal yang privat bagi kami berdua. Apapun yang kami lakukan, semuanya terasa nyaman. Indah, seindah surga.

***

Malam itu, rembulan tampak malu menunjukkan wajahnya. Ia berlindung di balik awan putih. Aku menatapnya dari kaca mobil yang sedang melaju. Di samping kananku, Mas Je tengah serius menyetir. Tak ada orang lain di dalamnya. Hanya kami berdua. Pertemuan ini sesuai dengan apa yang kami rencanakan kemarin malam. Kami membuat janji untuk bertemu malam ini. Maklum, asmara kami tengah memuncak. Walau percintaan kami kerap tersalurkan via video call, rasanya tak begitu lepas gejolak ini tanpa sentuhannya.

Tiba-tiba mobil kami berhenti. Ku tatap sekitar persinggahan, sang bulan memantulkan sinarnya yang tak terurai riak air. Ternyata kami berada di bibir danau. Hutan-hutan sekitar danau yang khas membuatku yakin, kami berada di Danau Nibung. Danau yang cukup luas ini tak jauh dari pusat kota Mukomuko. Sekira lima kilo meter.

Beberapa waktu kami membuat permulaan pertemuan itu dengan cerita-cerita tak tentu. Sesekali tawa kami pecah menyela pembicaraan aneh itu. Mobil kami benar-benar berhenti. Mesinnya pun tak lagi terdengar berbunyi. Hanya remang cahaya rembulan yang memaksa diri untuk menyaksikan rahasia kami.

Percakapan kami terhenti. Berganti suara asmara yang pelan-pelan menusuk telinga. Kami menghilang ditelan remang rembulan malam itu. Empat jam lamanya kami dihempas badai cinta. Kenyamanan kami telah mencapai puncaknya. Hanya riak Danau Nibung yang menyaksikan begitu eratnya kami berdua.

***

Enam atau tujuh bulan berlalu begitu saja. Tragedi di Danau Nibung malam itu menjadi awal kemesraan kami. Sejak terukirnya kisah itu, kami begitu menikmati asmara hitam ini. Aku tak tahu persis sudah berapa kali kami mengulangi dosa terindah itu. Yang ku tahu, aku menikmatinya, begitupun Mas Je.

Kali ini mobil menyasarkan aku dan Mas Je di sebuah perkampungan kecil. Rumah-rumah di perkampungan ini tak begitu berdekatan. Dipisahkan oleh kebun sawit yang meninggi.

“Mungkin ini kampung di tengah hutan”, gumamku.

Kembali kami melayang ditelan indahnya surga. Mas Je yang berbadan kekar membuatku terisak mengikuti irama dimalam itu. “Ternyata begini rasanya bila kemarau mendapatkan hujan”, pikirku.

“…..Hei. Bukakan pintunya!”, tiba-tiba sekelompok orang menepuk keras kaca mobil kami. Suara mengagetkan itu membuat kami terenyah dari surga dan terjatuh ke bumi.

“Ayo bukakan pintunya!”, suara itu semakin keras.

Kedatangan mereka yang tiba-tiba ini membuat kami tak sempat merapikan diri. “Mati aku!”, detak jantungku semakin kencang.
Suara itu terdengar semakin ramai. Sekira sepuluh orang mengepung mobil kami. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk pasrah pada kegentingan ini. Dengan pakaian tak rapi sempurna, kami keluar dan menghampiri mereka.

“Astaga! Ibu Ani?”, kata salah satu dari sekelompok orang ini meyakinkan diri. Mungkin dia tak percaya telah memergoki wakil rakyatnya yang berbuat begini.

“Ya ampun. Ibu Ani ternyata”, sambut yang lainnya.

“Benar-benar mampus! Aku berada di tempat yang salah”, kataku dalam hati.

Lebih dari setengah dari mereka ternyata mengenalku. Sungguh malu rasanya bertemu mereka dalam keadaan seperti ini. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, durian sudah menjadi tempuyak. Asampun rasanya akan ku gulai dan ku nikmati.

Sekian waktu kami berpasung dalam percakapan. Mulanya mereka berencana membawaku ke rumah Ketua RT setempat. Namun ‘ketenaran’ namaku membuat mereka berubah pikiran. Aku di urungkan mereka ke tempat Ketua RT. Aku menyodorkan sebuah amplop kepada mereka, tanda permintaan maafku dan meminta agar cerita kelam ini tak dibicarakan kepada siapapun. Namun mereka menolaknya dengan halus.

“Maaf ibu. Kami tak bisa menerimanya. Cukup bagi kami tak lagi menyaksikan ibu dalam keadaan seperti ini”, jawab salah satu diantara mereka yang membuatku terperangah. “Dasar, tak tahu diri kau, Ani!”, kecewaku.

***

Seminggu sudah kejadian menyeramkan itu berlalu. Kini aku berada di luar kota. Perjalanan dinas yang mengantarkanku di Ibukota ini. Kedua anakku ku ikutkan, karena di Jakarta kami memiliki sebuah apartemen dua kamar. Cukup untuk kami bertiga. Lagi pula, si sulung maupun si bungsu tengah libur sekolah.

“Tuuutt….Tuutt….”, suara handphone ku bergetar. Aku sedang mengawasi anak-anak bermain di depan TV di ruang tamu. Ternyata Pak Ram yang menelepon. Dia menjabat sebagai ketua di partaiku.

“Halo. Iya pak?” Aku mengangkat telepon.

“Ibu Ani kapan pulang?” Suara Pak Ram tak seperti biasanya. Aku merasakan ia tengah gugup dan bicara tergesa-gesa.

“Belum tahu ini, Pak. Masih bawa anak-anak liburan dulu”, jawabku.

“Sebisanya kami juga berharap demikian. Ibu tak usah pulang dulu”.

“Memangnya kenapa, Pak?” Aku semakin merasa aneh. Pasti ada yang tak beres di kotaku.

“Kami baru saja menerima sepucuk surat, Bu. Surat ini ditulis oleh istri seorang bernama Juan. Kami tahu siapa dia. Makanya kami meminta ibu untuk beberapa waktu ke depan tetap di sana. Kita coba netralisir keadaan dulu di sini. Sudah banyak wartawan yang berdatangan menanyakan perihal ibu kepada kami”, lanjutnya.

“Iya ya Pak. Terimakasih informasinya”, jawabku kembali.

“Iya sama-sama bu”, telepon kemudian terputus.

“Tamat kau, Ani! Tamat!” Hanya itu yang terngiang dibenakku setelah menerima kabar itu. Baru seminggu yang lalu aku dipergoki warga, sekarang istrinya Mas Je yang menggugatku. Benar-benar tak terelakkan lagi. Sudah pasti namaku ramai disebut-sebut oleh rakyatku. “Sungguh, wakil rakyat yang memalukan!” Aku mendengki sendiri.

Rasanya tak ada lagi yang bisa ku bangga-banggakan saat ini. Asmara hitam di Danau Nibung itu benar-benar telah meracuniku hingga mati.

Merongrong habis karir politikku. Mana mungkin mereka masih memandangku berwibawa? Ah….Sudahlah. Nanti saja ku pikirkan lagi. Aku hanya butuh ketenangan sekarang!

BACA LAINNYA


Leave a comment