Mahkamah “Kalkulator”: Keadilan Prosedural Vs Keadilan Substansial

LITERASI - Jumat, 26 Februari 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

(Catatan Kritis Soal Sengketa Pilkada di MK)
Oleh: Elfahmi Lubis*

Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pilkada selalu menjadi tumpuan para pencari keadilan yang merasa diberlakukan secara tidak adil dalam proses kontestasi politik pilkada. Di samping karena MK yang secara hukum memiliki kewenangan dalam menangani perkara pilkada, dan secara konstitusional MK dianggap sebagai mahkamah yang dapat memberikan putusan yang adil dalam konteks keadilan subtansial, dan bukan hanya keadilan prosedural. Namun belakangan ini ketika mencermati praktik peradilan di MK terkait sengketa pilkada, ada kegelisahan dari para pencari keadilan, yang terusik dengan keberadaan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, setiap kali mengajukan sengketa ke MK. Masalahnya, dengan dalih ketentuan Pasal 158 UU Pilkada sebagai syarat formil yang harus dipenuhi dalam pengajuan sengketa perselisihan hasil pilkada, banyak sekali gugatan pemohon yang harus kandas dalam putusan dis missal (penetapan gugatan ditolak) majelis MK. Alasannya, gugatan yang diajukan tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal 158. Pasal ini telah membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah hanya bisa diajukan kalau selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum 2%. Bahkan lebih teknisnya lagi, MK juga menerapkan PMK Nomor 1 dan Nomor 5 Tahun 2015 terkait perhitungan selisih perolehan suara dalam sengketa pilkada.

Jika persoalan gugatan sengketa hasil pilkada yang diajukan pemohon ke MK, selalu kandas dengan syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada, maka saya sependapat dengan pernyataan bahwa dalam konteks ini MK tidak lebih hanya sebagai “Mahkamah Kalkulator” karena mendasarkan diterima atau tidaknya permohonan sengketa hasil pilkada semata-mata merujuk pada selisih suara maksimum 2 persen. Ini artinya, MK lebih mengutamakan aspek formil dan prosedural dibandingkan pada aspek subtansial dari gugatan sengketa pilkada yang diajukan para pemohon. Implikasi nyata yang terjadi, seolah-olah menegasikan bahwa siapa saja yang terlibat dalam kontestasi politik dalam pilkada boleh melakukan tindakan “tidak fair play” dan atau bahkan pelanggaran serius seperti money politics, mengkapitalisasi bantuan sosial, mengkapitalisasi dana APBD/APBN, mobilisasi ASN, dan tindakan pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) lainnya asal selisih suara tidak sampai 2 persen, maka ketika kemenangan tersebut disengketakan oleh kompetitornya ke MK, maka gugatan tersebut tidak akan bisa dilanjutkan ke dalam tahap pembuktian, karena harus kandas sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat formil.

Dalam konteks ini, saya melihat dalam menyelesaikan sengketa perselisihan suara pilkada MK terlalu kaku dengan ketentuan pasal 158 sehingga para hakim sepertinya sangat pasif dan sama sekali tidak mampu membuat terobosan hukum demi terwujudnya keadilan subtansial. MK seharusnya tidak terkekang oleh Pasal 158 UU Pilkada demi menegakkan keadilan substansial. Pasalnya, beberapa pemohon dan pencari keadilan menilai banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti oleh penyelenggara pemilu terkait dugaan pelanggaran administratif pemilihan, demikian pula laporan terkait dugaan tindak pidana pemilu yang juga tidak terselesaikan dengan maksimal oleh GAKKUMDU. Dalam konteks inilah saya berpendapat bahwa MK menjadi tumpuan harapan para pemohon.

Melihat kondisi ini, wacana dan gagasan dari banyak pihak bahwa khusus terkait sengketa perselisihan suara pilkada, tidak lagi ditangani oleh MK dan MK cukup menangani perselisihan suara dalam pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan legislatif. Sementara untuk sengketa perselisihan suara pilkada diserahkan kepada mahkamah tersendiri, yang oleh sebagian pihak diusulkan pembentukan Mahkamah Pilkada. Secara yuridis wacana dan gagasan ini memang bukan perkara gampang untuk mewujudnya, karena memerlukan perubahan mendasar secara hukum. Yakni, harus ada amandemen UUD 1945 yang mencabut kewenangan MK dalam menangani sengketa perselisihan suara pilkada. Sementara untuk melakukan proses amandemen bukan hal gampang dan terkadang “mustahil” untuk bisa dilakukan dengan cepat. Soalnya, jika bicara amandemen bukan hanya domain hukum saja, tetapi sudah berkelindan soal politik terkait dengan kesepakatan kekuatan partai politik yang ada di parlemen. Namun sebagai sebuah gagasan dan terobosan hukum, wacana pembentukan Mahkamah Pilkada bukan hal yang mustahil sepanjang ada keinginan yang kuat dari semua pihak baik pemerintah, DPR, dan seluruh stakeholder untuk mewujudkannya.

*Penulis adalah Akademisi dan Peneliti di Pusat Kajian Agama, Politik, dan Peradaban

BACA LAINNYA


Leave a comment