Selaksa Cinta di Batung Badoro

LITERASI - Minggu, 23 Juli 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Karya Yance Askomandala

“Jauh tinggi terbang Si bangau, pulangnya ke kubangan jua”.

Itu pesan Emak kepadaku. Pepatah tua yang diadopsi dari sastra Minang Kabau terngiang selalu memapah kaki. Sejauh tempat yang ku datangi, Sebanyak ruang yang ku singgahi.

Aku dibesarkan di tanah rantau. Di darahku mengalir dua kutub peradaban. Adat menyatu dipertalian jiwa, saat Ayah meminang Emak dan membawaku ke dunia. Ayahku berdarah Serawai. Emakku berdarah Mukomuko.  Kata  sejarah,  suku Mukomuko diyakini sebagai anak-cucu suku Minangkabau. Dulunya daerah ini dikuasai sebuah kerajaan besar, dibawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung.  Salah satu kerajaan terbesar di Sumatera Barat kala itu.

Sisi bahasa dan istiadat suku Mukomuko memiliki benang merah dengan suku Minangkabau. Sebagian besar hidup bersuku-suku atau rumpun adat, seperti suku Caniago, Melayu, Sikumbang dan lainnya. Sepertiga usia Emakku dibesarkan dalam kehidupan beradat ini. Ia paham betul dengan seluk beluk dan pertaliannya. Hingga pepatah minang itu mengalir sebagai pesan yang selalu ia gunakan untuk mengingatkan aku kepada tanah kelahiran bergelar Kapuang Sati.

Setelah ku pahami, aku menduga pepatah tua itu digunakan untuk menghukum dirinya kepada panggilan adat. Sejak usiaku masih 3 Tahun, kami tinggalkan Kapuang Sati. Mengadu peruntungan di tanah rantau. Mungkin Emak merasa berat hati menghilangkan jejak diri di tanah kelahiran. Usianya yang kini tak lagi muda, tak lagi mungkin baginya untuk berpulang. Sehingga pepatah itu diturunkan kepadaku untuk melecut aku kembali ke Ranah Kandung.  Kelak jika ia pergi meninggalkan dunia, namanya tak lekang di pusaran adat.

Menginjak kelas 2 SMP, aku mulai diajarkan hidup mandiri. Bagi remaja yang sadar, memang sudah seharusnya begitu. Utamanya dalam hal mengurus diri dan menata pergaulan. Apa lagi aku seorang cewek. Harus mampu menjaga marwah keluarga.

Aku mulai diberikan kepercayaan oleh kedua orang tuaku. Hampir setiap kali libur sekolah, aku berlibur ke Kapuang Sati. Berangkat sendiri. Sebagian besar keluarga dari pihak Emak menetap di sana. Pepatah Emak yang berhasil mendoktrin pikiranku, selalu mengajakku kembali ke tanah kelahiran ini. Aku mewakili keluarga menyambung silaturrahmi dengan sanak famili. Kini aku tumbuh dewasa. Sesekali memang Emakpun ikut meninjau kampung. Tapi ayah, seingatku luput.

***

Sekali waktu, aku bermalam bersama nenek. Ia begitu pandai mengkualitaskan waktu singkatku kala berlibur. Menjelang mata terpejam, nenek selalu bercerita tentang diri dan pengalaman hidupnya. Sembari bercerita, rambutku tak henti dibelainya. Biarpun usiaku tak lagi dini, rasa sayangnya selalu memperlakukanku dengan lembut. Itu kebiasaannya yang paling ku ingat, sedari usiaku masih kanak-kanak. Jauh sebelum kami terbang ke tanah rantau.

“Tak terasa ya Rin… Sekarang kamu sudah dewasa. Bahagia sekali rasanya nenek masih diberikan waktu oleh Allah, menatapmu tumbuh secantik ini”, nenek memulai mengantarkan tidurku, sembari membelai lembut rambutku yang sepunggung.

“Alhamdulillah, Nek… Rina juga bersyukur. Allah masih berikan kesehatan buat kita. Sebuah berkah bagi Rina dapat melihat nenek masih sekuat ini. Sehat terus ya, Nek…”, aku menatap wajahnya, seakan menghitung lipatan keriput di mukanya.

“Insya Allah, cu”, jawab Nenek.

“Usia nenek udah berapa ya sekarang?” Tanyaku.

“Aduh, berapa ya? Nenek tak begitu ingat, Rin. Mungkin sudah enam delapan sekarang”.

Aku hanya terdiam, meresapi belaian tangannya di kepalaku yang sejak tadi tak henti-henti.

“Rina kan udah selesai kuliah. Belum kepikiran buat nikah, sayang?”, pertanyaan nenek membuat dadaku berdetak kencang. Memang pertanyaan ini kerap ku terima dari teman-teman sejawat. Aku lebih menganggapnya sebagai pertanyaan yang biasa saja. Tapi kali ini, nenek yang menanyakan. Sungguh, aku terengah.

Aku senyum-senyum kecil, “Kepikiran sih, Nek… Tapi kini Rina belum menemukan yang benar-benar cocok di hati Rina”.

“Masa sih, Cu? Nenek tak begitu yakin jika tak banyak lelaki baik menatapmu yang secantik ini. Andaikan nenek pada posisi lelaki itu, nenek akan kejar cintamu hingga ke ujung dunia sekalipun”, nenek menggurauku.

“Ah, Nenek bisa aja”, jawabku tersipu.

“Nenek bukan memaksamu untuk segera menikah, Cu… Tapi di dalam do’a, nenek begitu berharap bisa melihat tawamu di persandingan, sebelum nenek menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya”, lagi-lagi nenek membuatku berkerut kening.

“Do’akan saja, Nek… Semoga Rina segera dipertemukan jodoh”, jawabku singkat.

Biarpun sudah berkali-kali aku tidur berdua dengan nenek, bahkan sejak aku masih SMP dulu, malam itu benar-benar memecahkan kelenaanku. Aku tak dapat tidur dibuatnya. Kata-kata nenek terurai memenuhi hati, bak air bah yang datang tiba-tiba, kemudian meluap menjalari sungai.

Empat-lima kalimat berikutnya mengisi percakapan kami. Akhirnya aku sampai pada sebuah kesimpulan. Ternyata pepatah Emak bersumber dari petuah nenek. Baru saja nenek memintaku pulang ke ranah adat. Benar-benar hidup dan menetap di sini. Dari uraian cerita nenek, aku disarankan untuk berjodoh dengan seorang pemuda di kampung itu. Menurutku, itu satu-satunya cara bagi nenek agar jiwaku kembali menyatu dengan sejarah, berpadu-padan di rumpun budaya.

Firasatku coba menangkap siapa sosok pemuda yang nenek maksud. Dulu waktu aku masih kelas 2 SMP, aku pernah jatuh hati pada seorang pemuda di kampung ini. Meski kini nama pemuda itu tak begitu terang di hatiku. Aku lebih menganggapnnya sebagai cinta monyet. Suatu kenangan yang bersemi mengganggu anak yang tengah beranjak remaja. Aku yakin pemuda itu juga menampik kisah itu. Mungkin dia kini telah berdua dengan cintanya yang dewasa. Namun tetap saja pikiranku tak dapat berpaling dari apa yang diceritakan nenek.

Pemuda itu bernama Asman. Cucu dari sahabat setia mendiang datuk, suami nenekku. Aku tak begitu mengerti, apa yang membuat mereka seakan memaksaku bersatu dengan Asman. Nenek tak pernah menceritakan hal itu padaku secara detil. Sejauh yang ku renungi, nenek sepertinya tak ingin pertalian keluarga kami terputus dengan keluarga Asman. Aku menduga mendiang datuk pernah mewasiatkan itu pada keluarga kami sebagai permintaan terakhirnya.

***

Kala itu Asman sudah kelas 2 SMA. Kami berkenalan saat aku berlibur ke tempat nenek. Perkenalan kami berujung pada cerita Asmana. Tak butuh banyak waktu, dua hari setelah pertemuan pertama itu, hati kami saling terpaut. Aku terpukau pada keramahan hatinya, sopan santunnya, keelokan jiwanya. Aku menyimak itu dari setiap sisi-cara ia memperlakukanku. Meski menginjak usia remaja, kedewasaan dirinya cukup terukur bagiku, ketika itu. Ternyata bukan hanya aku yang berpendapat demikian. Nenek dan hampir semua keluargaku di kampung ini juga menilai sama denganku. Mereka semua mengetahui bahwa antara aku dan Asman telah terjalin cinta.

Sekali waktu, aku diajak Asman bermain ke tempat wisata di daerah ini. Pantai Batung Badoro namanya. Salah satu destinasi wisata favorit daerah ini. Masyarakat sekitar kerap mengisi waktu libur di pantai ini.

Seperti namanya, di pantai ini terbentang hamparan batu kerikil bercampur pasir putih. Batuan kecil ini saling kejar-kejaran mengikuti irama ombak yang menarik ulur tumpukannya disepanjang pantai. Keelokannya dipadu dengan rindangnya pepohonan yang tumbuh di bibir pantai. Menyajikan kesejukan dan ketenangan pada setiap jiwa pengunjungnya. Apa lagi menjelang mentari terbenam, pemandangan yang eksotis benar-benar nyata membelai mata. Kabarnya, pantai ini bahkan kerap dikunjungi wisatawan asing mancanegara.

“Rin… Kau tahu? Aku sering menghabiskan waktu di sini”, kata Asman saat itu.

“Benarkah? Aku juga merasakan kesejukan yang tenang di sini. Keindahannya benar-benar berhasil memukauku,” jawabku.

“Tapi apa kau tahu…. Baru kali ini ku temukan keindahan yang jauh berbeda di sini?”, tanya Asman lagi.

“Sungguh? Mengapa begitu? Bukannya tadi Uda katakan sudah berkali-kali ke sini?”. Aku memanggilnya dengan sapaan ‘Uda’. Kata nenekku, sapaan itu digunakan pada orang yang setingkat lebih tua dariku, sebagai pengganti kata ‘kakak’ atau ‘abang’.

“Iya… Memang cukup sering ku habiskan waktu di sini. Tapi baru kali ini aku datang bersamamu! Kehadiranmu sungguh menambah indahnya pantai ini”.

“Ah, masa?”, aku menjawab tersipu.

“Apa kau benar-benar mencintaiku, Rin?”, Asman mempercepat detak jantungku.

“Menurut Uda gimana?”, jawabku merayu.

“Entahlah. Mungkin saja kau mencintaiku. Tapi kerisauan hatiku tak dapat ku tepiskan. Aku takut, akan ada orang lain selain aku, setelah nanti kau pulang ke tanah rantau, dan kita dipisahkan jarak dan waktu”. Asman menggenggam erat tanganku.

“Apa Uda mengira akupun tak takut hal itu terjadi pada Uda di sini?”, aku menatapnya tajam.

“Maka berjanjilah, kita akan menjaga cinta ini”, jawab Asman sembari mencium kedua punggung tanganku. Aku hanya mampu terdiam, menghirup Asmana yang menyintak aliran darahku.

“Aku akan kembali ke sini dengan membawa cinta, Uda… Percayalah! Tunggu aku di Kapuang Sati, Uda”, aku membalas. Hingga kini, akupun tak percaya mulutku telah berucap begitu. Entah apa yang membius bibirku, hingga mengeluarkan kata-kata itu.

***

Akhir-akhir ini aku banyak termenung, meminta petunjuk terang kepada hati nan gundah. Beberapa hari yang lalu, aku mendapati kabar dari Bucik, adik bungsu Emakku di kampung. Ia bercerita banyak kondisi kampungku yang telah setahun lebih tak lagi ku jelang. Aku memang dekat dengannya. Ia adalah salah satu orang yang paling banyak ku tumpahkan suka-duka kehidupanku di tanah rantau. Termasuk cerita cintaku, sering ku kisahkan padanya.

Telepon dari Bucik itu telah mengaduk habis hati dan fikiranku. Lewat telepon itu, Bucik bercerita:

Rin, akhir-akhir ini nenek mulai sakit-sakitan. Beberapa hari belakangan nenek selalu minta kamu untuk pulang, memaksa kami menjemputmu di sana. Ia berharap kamu segera menikah dengan Asman.

Jika tidak, relakan aku pergi jauh, memikul beban menemui suamiku, dengan nada sedikit mengancam. Begitu potongan kalimat penting yang disampaikan Bucik padaku.

Aku memang kerap ditanyakan keluargaku di kampung tentang kelanjutan ceritaku yang dulu terkisah di Batung Badoro itu. Begitu pula Asman, sejak lebaran tahun lalu sering menghubungiku lewat telepon.

Ya meskipun hanya sekedar bertanya kabar. Tapi aku benar-benar tak menggubrisnya. Aku tak menganggap hal itu sebagai sinyal bagiku untuk kembali padanya. Awalnya aku tak begitu memikirkan tentang Asman.

Tapi kini, Kapuang Sati benar-benar memintaku pulang! Ini bukan saja soal Asman. Ini tentang pertalian keluarga yang ujung gentingnya harus diikat kuat, agar tak terputus dari peradaban. Adat terpaut erat di hati keluarga kami. Kami menggapai keabadian cinta yang agung, dimana sejarah telah membawa kami untuk terjun ke bumi. Aku, adalah satu-satunya yang dapat melakukan itu. Ya….Hanya aku!

Semua jiwa telah memanggilku. Entah itu jiwa yang hidup di bumi, atau jiwa-jiwa yang hanya berdiam di sanubari. Kuputuskan saja untuk pulang ke ranah adat. Membawa cinta, membawa sepenggal sejarah yang harus ku ulas kembali. Dan aku…..Akhirnya menikah dengan Asman, setelah ku tahu ia benar-benar menunggu janjiku yang terucap di Batung Badoro beberapa tahun silam. ***

BACA LAINNYA


Leave a comment