Penjabat Bupati/Walikota, Adu Kuat Para Loyalis (Sebuah Analisis)

OPINI - Minggu, 3 Oktober 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Elfahmi Lubis*

“Jika diibaratkan pasangan yang lagi jatuh cinta, perebutan penjabat Bupati dan Walikota, bak tanding ketampanan dan kecantikan di depan sang empu. Siapa yang paling memikat itulah yang akan dipilih sebagai pasangan terbaik”

Dampak dari pelaksanaan Pemilu (Pileg & Pilpres) serta Pilkada dilaksanakan serentak 2024, memaksa banyaknya jabatan kepala daerah seperti gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati harus di-penjabat-kan. Data dari Kemendagri ada sebanyak 270 kepala daerah yang bakal ditunjuk sebagai penjabat gubernur, bupati dan walikota yang tersebar di seluruh Indonesia. Soalnya, hampir dipastikan tidak akan ada pelaksanaan Pilkada di luar agenda Pilkada serentak tahun 2024.

Sebenarnya, upaya untuk merubah desain dan pelaksanaan Pemilu yang memungkinkan pelaksanaan Pilkada tidak harus serentak dengan Pileg dan Pilpres sudah dilakukan, yaitu dengan cara revisi UU Nomor: 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sayangnya, proses revisi UU Pemilu yang awalnya sudah masuk dalam program legislasi nasional DPR tahun 2020, tiba-tiba dibatalkan. Dengan demikian, maka konsekuensi yuridisnya pelaksanaan Pileg, Pilpres, dan Pilkada tetap merujuk pada UU Nomor: 7 Tahun 2017 yang berlaku sekarang. Ini artinya, akan dilakukan Pemilu dan Pilkada serentak 2024.

Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak, selain menyebabkan tidak ada jadwal Pilkada sebelum tahun 2024, juga berdampak pada masa jabatan kepala daerah menjadi tidak cukup 5 tahun. Mungkin banyak masyarakat yang belum tahu dan juga bertanya-tanya bahwa masa jabatan kepala daerah Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pilkada 2020 yang lalu, masa jabatan tidak sampai 5 tahun lho, tapi hanya sekitar 3,5 tahun saja.

Padahal dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor: 8 Tahun 2015 Perubahan atas UU Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota menjadi UU, disebutkan bahwa pemilihan dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dasar hukum mengapa kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada 2020 masa jabatannya tidak sampai 5 tahun tapi hanya sekitar 3,5 tahun? Dalam pasal 201 ayat (7) UU Nomor: 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas UU Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, disebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.

Selanjutnya, dalam pasal 201 ayat (8) pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota diseluruh wilayah NKRI dilaksanakan pada bulan November 2024. Ketentuan di atas menyiratkan bahwa kepala daerah yang terpilih dalam 2020 yang lalu, menjabat sampai terpilih kepala daerah pada pemilihan tahun 2024.

Ditegaskan juga bahwa kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada 2020 masa jabatannya tidak sampai 5 tahun, maka regulasi mengatur pemberian kompensasi kepada kepala daerah ini. Dasar hukumnya adalah pasal 202 UU Nomor: 8 Tahun 2015 menyebutkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya tidak sampai satu periode (baca 5 tahun) akibat ketentuan pasal 201, diberikan kompensasi uang sebesar gaji pokok dikali jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.

PLT Bupati dan Walikota

Di Provinsi Bengkulu sendiri, ada dua kepala daerah yang terpaksa harus berstatus pejabat (Pj) sebagai konsekuensi pelaksanaan Pilkada serentak 2024, yaitu jabatan Bupati Bengkulu Tengah, yang akan berakhir masa jabatannya pada 22 Mei 2022 (masa PLT lebih kurang 2 tahun) dan Walikota (masa PLT lebih kurang 1 tahun), akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 nanti.

Untuk menentukan pejabat bupati dan walikota sesuai regulasi berlaku menjadi kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dimana teknisnya Kemendagri menerima usulan gubernur kemudian akan ditelusuri kembali rekan jejak calon yang diajukan untuk mengindari agar tidak ada potensi konflik.

Dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pasal 201 ayat (9) untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. Pada ayat (11) untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam penjelasan, penjabat bupati dan walikota ini memiliki masa jabatan satu tahun dan dapat diperpanjang satu tahun dengan orang yang sama atau berbeda. Sementara itu dalam regulasi juga dijelaskan, penjabat sementara bupati atau walikota, calonnya diusulkan gubernur. Namun, dalam melaksanakan kepentingan strategis nasional, penjabat sementara bupati/walikota bisa ditunjuk menteri tanpa usulan gubernur. Selain itu penjabat bupati dan walikota ini juga memiliki kewenangan penuh dan setara dengan kepala daerah definitif.

Pejabat Bupati/Walikota Bernilai Politis Tinggi

Penunjukan PLT bupati dan walikota 2022 dan 2023 yang akan datang, bernilai politis tinggi karena memberikan “insentif” elektoral bagi gubernur yang diperkirakan maju lagi sebagai calon incumbent pada Pilkada 2024 nanti. Oleh sebab itu gubernur pasti akan melakukan kalkulasi politik secara matang dan hati-hati dalam menunjuk pejabat tinggi pratama yang akan menduduki pejabat bupati dan walikota. Gubernur harus memastikan bahwa orang yang ditunjuk sebagai pejabat bupati dan walikota harus memiliki komitmen dan loyalitas politik tinggi. Bagaimanapun dalam pengalaman selama ini, peran bupati dan walikota sangat menentukan sebagai “vote getter” (peraup suara) suara dalam Pilkada. Selain para pejabat bupati dan walikota ini sekaligus merupakan sumber daya (resources) yang dapat memberikan insentif elektoral di kontestasi Pilkada 2024 yang akan datang.

Lalu siapa yang bakal ditunjuk gubernur sebagai pejabat Bupati tahun 2022 dan pejabat Walikota tahun 2023? Dalam konteks ini saya tidak akan menyebut nama, namun saya hanya akan membahas kriteria secara umum siapa pejabat tinggi pratama yang memenuhi syarat untuk menjadi pejabat bupati dan walikota. Mereka itu adalah pejabat eselon dua yang sudah teruji loyalitas dan komitmen politiknya di mata sang empu. Siapa mereka ini sebenarnya sudah bisa dibaca, yaitu pejabat eselon dua yang selama ini telah diberikan amanah untuk memegang jabatan strategis di SKPD Provinsi. Selain itu gubernur akan cenderung memilih pejabat eselon dua yang manut/loyal, low profile, minim resiko serta tidak terlalu “genit” dan hobi berselancar dalam bermain politik. Soalnya, tipe pejabat yang terlalu “lincah” bermain politik cenderung beresiko dan dalam banyak kasus tidak memberikan insentif elektoral yang signifikan, karena ia sendiri akan sibuk dan fokus dengan agenda politiknya. Bisa saja nanti jabatan pejabat bupati dan walikota yang disandangnya digunakan untuk keuntungan personal dan bahkan tidak menutup kemungkinan dijadikan batu loncatan untuk menggalang dukungan politik dan pencitraan diri untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada Bupati dan Pilwakot pada tahun 2024 nanti.

*Penulis adalah Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment