Kultur Birokrasi Terhadap Pelayanan Publik di Era Demokrasi “Bagaimana Seharusnya?”

OPINI - Kamis, 27 Januari 2022

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Meiry Isnaini Dwi Putri

Kultur Birokrasi Kultur birokrasi atau budaya birokrasi secara umum dapat diartikan sebagai akal pikiran, nilai nilai dan sikap mental yang terdapat dalam suatu organisasi atau birokrasi pemerintahan. Menurut Said (2007:189) kultur birokrasi ialah karakter kolektif masyarakat dalam menghayati dan memperlakukan birokrasi, jadi tidak terbatas pada perilaku aparatur birokrasi. Kultur birokrasi sering menjadi tolok ukur dari pelaksanaan nilai-nilai suatu kelompok besar atau kecil, pada organisasi pemerintahan. Karena kultur birokrasi sering dijadikan tolak ukur, maka baik buruknya birokrasi tergantung pada kultur yang melingkupinya. Oleh karena itu, apabila organisasi pemerintahan memiliki kultur pelayanan yang buruk, maka dengan sendirinya birokrasi tersebut dianggap tidak memiliki budaya birokrasi yang baik. Bagaimana kultur pelayanan birokrasi di Indonesia pada umumnya? Kultur birokrasi di Indonesia pada umumnya masih dipengaruhi nilai-nilai feodalisme. Di dalam struktur birokrasi Kerajaan Jawa misalnya sistem pemerintahan diatur secara terpusat yang bersifat otokratis, segala kekuasaan terkonsentrasi pada level pemerintahan kerajaan. Para abdi dalem atau golongan bangsawan kerajaan hanya mencurahkan kepentingannya untuk kepentingan raja atau Sultan, bukan kepentingan rakyat (Dwiyanto, dkk. 2006:26). Oleh karennya budaya brikorasi yang pelayanannya hanya mementingkan golongan atau kelompok tertentu terkadang menambah image buruk di era demokrasi. “jargon kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah? Wani piro.” Sebagai contoh, pada saat Anda mengurus sertifikat tanah ataupun pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), apakah semua orang atau masyarakat mendapatkan perlakuan seperti seorang ‘penguasa’? Tentu tidak. Terkadang kita harus pandai menjaga sikap, bisa jadi dengan merendahkan diri, berbesar hati bila pegawainya tidak menunjukkan sikap ramah, atau bahkan berbulan-bulan harus menanti pelayanan pengukuran tanah dan proses administrasi pembuatan KTP yang berbelit belit hanya karena menggunakan jalur resmi bukan jalur “tol”? Padahal, bila merujuk kepada konsep demokrasi, demos berarti rakyat dan kratein berarti berkuasa sehingga demokrasi mempunyai arti rakyatlah yang berkuasa. Dengan demikian maka seharusnya rakyatlah yang mendapat pelayanan yang istimewa bukan birokrasi itu sendiri. Kultur birokrasi sebagaimana dijelaskan di atas, di mana lekat dengan pengaruh nilai-nilai feo-dalisme, sebenarnya tidak terlepas dari aspek masa lalu Indonesia baik pada masa kerajaan maupun masa penjajahan Kolonial. Sejarah birokrasi masa kerajaan di Indonesia dapat dilihat pada periode kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, Kutai, ataupun Mataram. Pada masa kerajaan kerajaan tersebut, birokrasi diciptakan memang bukan untuk melayani dan mengabdi kepada rakyat, tetapi ditujukan untuk menguatkan dan mempertahankan kekuasaan raja. Kultur birokrasi Indonesia selain terbentuk dari pengaruh masa Kolonial dan sistem kerajaan juga dipengaruhi oleh konsep birokrat sebagai pangreh praja. Pangreh praja pada masa lalu adalah orang-orang pribumi yang berkuasa di daerah wilayahnya, yang pada umumnya terdiri atas raja raja dan juga para pembantunya, dimana terdapat hirarki antara atasan-bawahan (Ngadisah & Darmanto, 2007:45). Pada masa lalu jabatan pangreh praja sangat terhormat dan tinggi prestisenya, sehingga para calon pamong praja (pemagang/ suwita) sangat sabar menunggu untuk diangkat menjad pangreh/pamong praja., maka bagaimna kutur birokrasi terhadap Pelayanan di Era demokrasi, Bagaimana Seharusnya?. Dalam era demokrasi dan digitalisasi sekarang dimana pelayanan birokrasi harus berjalan cepat dan tepat sasaran agar pradigma masyarakat terhadap birokrasi berangsur membaik apalagi di masa pandemi virus covid 19 seperti sekarang pelayanan harus di lakukan dengan menjaga jarak dan pelayanan digitalisasi sangat penting disamping memutus mata rantai virus juga meminimalisir praktek pungli yang di lakukan oleh pelaku langsung dalam birokrasi selain itu era digitalisasi juga dapat mengubah kultur birokrasi dalam pelayanan dimana pelaku birokrasi di tuntut untuk mampu beradaptasi dengan sistem digitalisasi sehingga kultur atau pun budaya pelayanan yang berbelit belit dan cenderung di persulit dengan sendirinya dapat diperbaiki dan sebetulnya mental dari pelaku birokrasi itu sendiri juga berangsur membaik dengan adanya era digitalisasi. Selain itu di era demokrasi seluruh element masyarakat dapat mengawasi sekaligus mengkritisi jalannya pelayanan yang di lakukan pemerintah baik dari media sosial dan media elektronik .Sebenarnya, jauh sebelum pandemi, pemerintah telah menerapkan digitalisasi dalam proses layanan publik, yang dikenal dengan e-government. Berbagai regulasi dibuat agar digitalisasi pelayanan publik di Indonesia misalnya instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; lalu Peraturan Presiden (Perpres) No 81 / 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional, hingga Perpres No.95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri proses digitalisasi layanan publik masih belum maksimal. Masih ada kesenjangan antar lembaga pemerintah maupun antar wilayah.misalkan masih banyaknya daerah yang signal internet belum memadai jika Dibandingkan dengan sektor swasta, lembaga pemerintah masih tertinggal dalam hal inovasi digitalisasi layanan publik. Pemerintah harus banyak belajar dari reformasi digital yang dilakukan sektor swasta. Pemerintah harus melakukan akselerasi dalam inovasi digitalisasi pelayanan publik agar terjaga kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap pemerintah. Maka digitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah baik di pusat khusunya di daerah haruslah tepat sasaran dan tepat guna sesuai kebutuhan masyarakat. Serta kebijakan yang di buat baik melalui peraturan ataupun himbaun betul-betul dapat menjadi solusi atas persoalan tersebut.

Tidak hanya itu saja diperlukan kolaborasi dengan seluruh stakeholder yang ada (collaborative governance). Membangun relasi ataupun jejaring/berkolaboasi (model networking) perlu dilakukan seluruh element pendukung pemerintah guna dapat mengoptimalisasi peningkatan kualitas pelayanan publik dalam seluruh bidang. Pada kondisi yang serba tidak pasti, masyarakat sangat bergantung kepada pemerintah, demikian juga pemerintah memerlukan sektor swasta, akademisi, dan dukungan media massa untuk bersama-sama bersinergi melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan segala permasalahan yang muncul terutma dampak pandemi Covid-19 ini. Model network ini dikembangkan oleh Goldsmith dan W.D. Eggers (2004). Mereka menyatakan bahwa pemberian pelayanan publik dan penyelesaian masalah publik dapat dilakukan dengan memanfaatkan jejaring yang ada, baik secara vertikal maupun horizontal. Hal ini dapat mendorong pemerintah untuk menciptakan inovasi melalui pelibatan banyak jejaring guna tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang nantinya akan meningkatkatkan kultur birokrasi dan berdampak pada pelayanan birokrasi itu sendiri.

BACA LAINNYA


Leave a comment