Editorial Bengkulu Interaktif Berakhir Debat, Helmi Hasan dan Ariyono Gumay Tidak Hadir

NEWS - Minggu, 22 Maret 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Debat Publik

GARUDA DAILY – Pengurus Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Kota Bengkulu menggelar Debat Publik bertemakan “Di Balik Anggaran 35 M Balai Kota Bengkulu (&) Peran Media” Minggu, 22, Maret 2020, di Kedai Kopi Gading Cempaka.

Editorial Bengkulu Interaktif berjudul “‘Virus’ Orba di DPRD Kota” menjadi pemantik terselenggaranya debat ini, yang sebelumnya ramai diperbincangkan, khususnya di media sosial, dan mendapat sorotan tajam Ketua Fraksi PAN DPRD Kota Bengkulu Kusmito Gunawan, yang kemudian menantang Pimpinan Media Bengkulu Interaktif untuk berdebat.

Baca juga Gara-gara Artikel ini, Kusmito Gunawan Tantang Debat Pimpinan Media

Sebelumnya, wacana debat juga sempat dilontarkan Walikota Bengkulu Helmi Hasan terkait surat anggota DPRD Kota Bengkulu Ariyono Gumay terkait anggaran pembangunan balai kota atau rumah dinas walikota. Hal ini pun menjadi latar belakang PC IMM menggelar debat publik.

Oleh sebab itu, PC IMM berupaya menghadirkan langsung keempat narasumber terkait, yakni Pemred Bengkulu Interaktif Riki Susanto, Kusmito Gunawan, Ariyono Gumay dan Helmi Hasan. Namun sayang hanya Riki dan Kusmito yang hadir, sementara dua lainnya tidak.

Menurut panitia debat, khusus Ariyono terkonfirmasi berkenan hadir, namun dengan catatan Helmi hadir. Sebab beliau hanya mau berdikusi dengan Helmi.

Dalam debat itu, Kusmito menyampaikan lima catatan terkait editorial Bengkulu Interaktif yang menurutnya tidak berimbang, tidak adil dan tidak proporsional. Pertama, penggunaan kata-kata virus orba. Kedua, tentang penyebutan kejadian lempar-lempar kursi di Kongres PAN di Sulawesi Tenggara. Kemudian dewan tukang stempel.

“Hati nurani saya berbicara ada yang saya perbuat untuk rakyat, ga stempel saja,” kata Kusmito.

“Kemudian tatib yang jadi rujukan PAN tidak disertai nomor, yang menarik tatib negeri mana, tatib negeri seberang, saya sempat berpikir apakah saya ini bagian orang yang melaporkan tanpa substansi hukum,” sambungnya.

Terakhir, pernyataan Fraksi PKS DPRD Kota Bengkulu yang menyebutkan hal yang sama yang disampaikan Ariyono, bahwa anggaran balai kota tersebut tidak pernah dibahas.

“Dari catatan kelima hal itu tidak ada sedikitpun yang mempertimbangkan statement dari Fraksi PAN,” ujar Kusmito.

Padahal kedua koleganya sesama Fraksi PAN, Teuku Zulkarnain dan Dediyanto sudah membuat statement perihal anggaran balai kota tersebut.

“Yang kedua tidak ada klarifikasi untuk menanyakan kepada saya, juga tidak diimbangkan dengan Fraksi Gerindra, karena dalam catatan saya Fraksi Gerindra juga mengatakan itu dibahas, sehingga ketika dimakan mentah-mentah jelas akan memojokkan saya selaku Ketua Fraksi PAN, kalau sedikit saja dibuat sementara menurut Ketua Fraksi PAN saya beranggapan itu adil, ada ruang independensi yang hadir,” tuturnya.

Kusmito kemudian menjadikan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai rujukan yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, serta tidak mencampur adukan fakta dan opini.

“Menyampaikan berita secara berimbang, memberikan ruang kepada masing-masing pihak secara proporsional,” ungkapnya.

Dia juga menginterpretasikan editorial tersebut sebagai berita, berita yang bisa dimaknai bahwa itu suatu informasi yang disampaikan ke publik. Ketika ini sudah disampaikan ke publik berarti sudah dibatasi regulasi dan UU Pers, ada ruang-ruang yang membatasi kebebasan pers tersebut.

Sementara itu dijelaskan Riki, pers diamanahkan menjalankan fungsi kontrol sosial, selain fungsi-fungsi lainnya, dan editorial medianya tersebut dalam rangka menjalankan fungsi kontrol sosial. Karenanya dia berpandangan terlalu prematur ketika menilai editorialnya itu dangkal.

“Saya pikir terlalu prematur menilai artikel tersebut dangkal, ini artikel merupakan editorial atau tajuk atau opini redaksi, yang namanya opini redaksi sifatnya ya subjektif, subjektif dalam artian berdasarkan data dan fakta, ketika kita berbicara fakta kita harus sajikan data. Di situ harus ada pendapat iya, di situ harus ada kepentingan iya, pasti, sifatnya subjektif yang biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi atau redaktur,” kata Riki.

“Editorial ini muncul berdasarkan kompilasi dari berita-berita sebelumnya, ga mungkin editorial ini hadir tanpa berita-berita yang sudah ada dan terbit sebelumnya, harus ada dulu, harus ada pemantiknya. Kenapa redaksi kemudian punya kesimpulan, kenapa editorial ini muncul, opini redaksi ini ada, tajuk itu ada, itu kembali lagi ke fungsi pers, salah satunya adalah fungsi kontrol sosial, pers punya hak untuk berpendapat, pers punya hak untuk mengontrol kebijakan pemerintah,” sambungnya.

“Ini bukan berita ini opini redaksi, produk pers ada banyak, editorial itu produk pers yang kita susun lewat opini dan kita buat sedemikian rupa dan butuh nalar yang kuat untuk memahaminya, artikel ini ditulis dengan energi yang cukup baik, kalau memang tidak cukup punya pengetahuan tentang pers jangan jadi tukang kritik editorial, karena akan berbahaya sekali, ini produk yang kita desain sedemikian rupa, yang kita mau menempatkan pers dalam konteks menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial,” tegasnya.

Lebih lanjut Riki mengatakan Kusmito belum mampu memisahkan apakah ini berita atau opini.

“Jadi kalau berita betul kode etik mengatur dengan tegas tentang keberimbangan berita, benar apa yang disampaikan jika itu berita baik dalam bentuk straight news atau investigasi report, tapi masalahnya ini bukan berita, kami menyampaikan opini redaksi kami, ada data, ada fakta, ada pandangan dan ada kesimpulan. Saya tidak punya hak untuk mengkonfirmasi semua pihak terhadap (editorial) yang saya tulis,” ujar Riki.

Penulis: Doni S

BACA LAINNYA


Leave a comment