Pemimpin dan Akal Demostratif

GARUDA DAILY - Selasa, 24 Oktober 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Benny Hakim Benardie

Dalam sistem demokrasi yang berlangung saat ini di Indonesia, siapapun dapat menjadi pemimpin publik. Tidak perduli pada tingkatan akal para penggiat kekuasaan dan masyarakat pun disuguhkan pada ‘peneloran’ akal yang dibalut seperti niat. Kenyataannya itu bukan niat, melainkan khayal belaka.

Penulis ingin menyebutkan, dalam musim pemlilihan kepala daerah, katakanlah misalnya walikota, maka konstiten rawan akan mendapatkan walikota yang mempunyai akal seperti kebanyakan orang biasa. Bila ini terjadi, banyak keinginan mulia bagi negeri terbuang sia-sia. Apalagi jika ini terjadi pada Kota Bengkulu yang merupakan kota jasa!

Tentunya akan pupuslah harapan pembangunan bagi keadilan sosial karena akal pemimpin tidak dapat mengetahui hubungan sebab dan musabab, Konklusi dengan premisnya. Bila persepsi pemimpin salah, maka hasilnyapun akan salah.

Untuk itu, agar pembangnan efektif dan efesien bagi keadilan sosial, sebaiknya, pemimpin yang akan dipilih itu merupakan sosok yang mempunyai akal demostratif. Menurut filosof Ibnu Rusyd, akal demostratif itu yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting dan melahirkan filsafat.

Pertanyaannya, bagaimana kalau seorang pemimpin yang akan dipilih hanya mempunyai akal logik? Yang hanya sekedar memahami fakta agumentasi saja? Atau pemimpin yang mempunyai akal ritorik? Ia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan ritorik, tidak disarankan untuk memahami aturan berfikir sistematik. Belum lagi dapat pemimpin yang akalnya dapat kita saksikan pada kebanyakan orang biasa. Mari kita berfikir agar kemajuan kedepan jaya dalam mendapatkan dan memilih pemimpin.

Akal

Meminjam definisi Dr. Zaki Najib Mahmud yang mengatakan, pengertian akal itu ialah gerakan yang menimbulkan perpindahan dari yang menyaksikan (Syahid) kepada yang disaksikan (masyhud’alaih), Dari bukti (dalil) kepada yang dibuktikan (mudlul’alaih), dari premis kepada konklusi, dandari perantara (wasilah) kepada tujuan (ghayah).

Kata kunci dari definisi akal itu adalah gerakan. Bila tidak ada gerakan perpindahan maka tidak ada disebut akal. Pempimpin yang hanya duduk manis tanpa ada gerakan, maka musibah menerpa bagi kemaslahatan dan pembangunan sosial, budaya serta tradisi pada daerah yang dipimpinnya.

Penulis melihat gerakan yang dimaksud mustilah merpakan gerakan lahir dan bhatin. Pada gerakan bathin ini pulalah nantinya pemimpin akan bersikap seperti seseorang berakal demostratif, dengan dalih dirinya mempunyai niat yang baik bagi kemaslahatan sosial.

Ironinya, niat yang dikatakannya itu ternyata bukan niat, masih merupakan pikiran yang terlintas saja (hajis). Sesungghnya baru dikatakan niat bila yang bersifat batin itu diwujudkan dalam bentuk lahir. Bila tidak itu hanya merupakan cita-cita, khayal belaka.

Pepatah lama menyebutkan, “bila kusut tali, maka tiliklah diujungnya”. Tentunya bila ditarik di tengah kusut, maka alamat kerumitan akan kian bertambah. Alternatifnya hanya akan memperoleh potongan pendek dari tali sisa, atau tali yang kusut hanya akan menjadi sampah penganggu orang lain tatkala dibuang sembarangan.

Sekedar mengingatkan kita kembali, bahwasanya kesalahan itu tidak terjadi pada satu arah, tapi dua arah. Saat pemimpin tidak dapat menjalankan apa yang dijanjikannya sebelum menjabat, maka masyarakat akan mengetahui dan merasakannya. Pada titik inilah akal masyarakat seharusnya menunjukan eksistensinya.

[Penulis Pemerhati Sejarah dan Budaya tinggal di Bengkulu]

BACA LAINNYA


Leave a comment