Tips Sederhana Bagi Guru untuk Melatih Komunikasi Asertif pada Remaja

LITERASI - Rabu, 10 Maret 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: J. Ernawanti T*

Melatih komunikasi asertif pada remaja dianggap sebagai salah satu cara yang paling efektif untuk menolong para remaja ini berkomunikasi dengan orang lain. Sikap asertif adalah suatu bentuk keterampilan komunikasi yang penting dimana setiap orang dapat mengutarakan opini secara efektif dan mempertahankan perspektif pribadi dengan tetap menghargai hak dan keyakinan orang lain yang berbeda. Seseorang yang asertif peduli terhadap hak-hak orang lain dan memiliki kecakapan untuk menyelesaikan konflik, tanpa menjadi agresif. Ini memungkinkan pesan yang disampaikan bisa diterima dengan jelas tanpa memancing tanggapan negatif dari lawan bicara. Keluarga memang memegang peranan utama dalam melatih komunikasi asertif ini, namun peranan guru juga tidak kalah penting.

Sebagai seorang pendidik, saya miris dengan moral para remaja ini. Apakah ada yang salah dalam mendidik para remaja itu sehingga mereka begitu mudah mengolok-olok orang lain? Mengapa sekolah yang rata-rata dihabiskan 8 jam per hari selama bertahun-tahun tidak membentuk mereka sebagai manusia yang tahun sopan-santun. Masih jelas di ingatan kita olok-olok yang dialamatkan pada Dayana, seorang Youtuber asal Kazakhstan yang sempat dipuja warganet karena kecantikannya sampai-sampai Fiki Naki, Youtuber asal Indonesia mengajaknya menikah setelah bertemu melalui aplikasi Video Chat, online, Ome TV. Perseteruan keduanya dan pernyataan kontroversialnya menyebabkan semua sanjungan kepada Dayana berubah menjadi makian. Bahkan ada satu ajakan yang mengerikan dari warganet “Kawal sampai mentalnya jatuh”.

Belum lagi di Februari lalu, Microsoft merilis hasil riset yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Hasil riset ini membuat warganet menyerbu media sosial Microsoft karena Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara sebagai negara paling tidak sopan. Serbuan komentar warganet membuat Microsoft menutup kolom komentar pada beberapa postingan dan alhasil postingan yang kolom komentarnya masih terbuka menjadi sasaran warganet. Tidak heran, komentar berbahasa Indonesia akan banyak ditemukan di sana.

Beberapa waktu lalu, saya melihat ada guru yang menasehati seorang remaja yang bolos di remajaannya. Sambil menangis tersedu-sedu, ia mengungkapkan kekecewaan yang dalam pada remaja tesebut, sang guru juga menebak-nebak perasaan orang tua anak itu dan berkata, “apa kamu tidak peduli dengan perasaan orang tuamu yang sudah capek merawatmu, mereka pasti sangat sedih.”, “Bagaimana kalau kamu diculik, bagaimana kalau sekolah juga yang disalahkan?”, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat dengan maksud menyentuh perasaan si anak. Si guru mencurahkan isi hatinya selama hampir 2 jam tanpa menerima tanggapan apapun dari remaja tersebut. Di sepanjang waktu dinasehati oleh guru yang menangis itu, anak itu hanya tertunduk, dan saya meyakini, dia pasti hanya tersentuh saat itu dan kemungkinan melakukan pelanggaran yang sama akan sangat besar. Saya jadi teringat jika saya juga pernah melakukan yang yang sama, dan drama yang saya buat tidak berdampak apa-apa bagi pertumbuhan karakter peserta didik saya.

Kecenderungan yang biasa dilakukan oleh guru yang tanpa sadar berpotensi menghalangi memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya. Kita sering melebih-lebihkan keadaan, mendramatisir dengan tujuan menakuti-nakuti atau kita berpikir bahwa kita dapat menyentuh perasaan remaja dengan menjadi “drama queen”. Kita sering lupa bahwa para remaja ini belum menjadi seseorang yang visioner, dia bahkan tidak mengerti dampak jangka panjang dari apa yang dilakukannya.

Sebagai seorang yang berpengalaman dan label “guru”, kita memiliki kecenderungan menasehati dan “menggurui” sehingga kita mendominasi pembicaraan. Kenyataannya seperti kita, orang dewasa, remaja juga sangat ingin didengarkan. Karena itu, guru seharusya lebih banyak mendengar, sehingga remaja terlatih berbicara dengan baik, bahkan menemukan sendiri solusi dari masalah yang dihadapinya, atau membuat win-win solution bersama kita. Itu mendorong remaja berbicara dan mengungkapkan perasaanya dengan bebas.

Mari melatih diri untuk tidak memotong pembicaraan dan menunggu sampai remaja benar-benar selesai berbicara. Ajukanlah pertanyaan atau ulangi apa yang dikatakannya untuk memastikan bahwa kita benar-benar memahami apa yang disampaikannya. Remaja yang didengarkan pasti akan merasa diterima dengan baik. Ia tidak lagi berpikir untuk mengolok-olok orang lain karena kita sudah melatih dan memberi teladan kepada mereka untuk tetap menghargai orang lain yang sedang mengutarakan pikiran, keinginan, ataupun opini tertentu. Sampaikan kepadanya agar ia menggunakan bahasa yang baik. Biarkan ia selesai berbicara, jangan pernah memotong pembicaraan dan kita tidak perlu marah dengan tanggapannya apabila tidak sesuai dengan harapan kita. Kita dalam proses melatihnya untuk mampu mengekspresikan dirinya secara terbuka tanpa menyakiti dan melanggar hak orang lain. Mendengarkan aktif memang memang memberikan dampak sangat besar bagi kesehatan mental kita dan juga peserta didik. Tidak hanya itu, mendengarkan aktif menolong kita untuk tenang dan dapat menenangkan peserta didik. Di dalam pikiran yang tenang, masalah yang besar sekalipun bisa diatasi, bukan?

Jika seandainya pun remaja melakukan pelanggaran, kita tentu harus sampaikan bahwa pelanggaran atau sikap yang tidak baik adalah masalah yang serius yang seharusnya tidak boleh dilakukan di kemudian hari. Kita tidak boleh mereduksi nilai-nilai luhur. Nilai itu harus tetap kita tanamkan dalam diri remaja kita. Namun, menempatkan mereka sebagai pendosa berat dan layak mendapat hukuman akan hanya menggagalkan komunikasi. Sebagai guru, kita seharusnya meneladankan kejujuran, dan sebisa mungkin hindari kalimat tuduhan atau kalimat yang membuat dia menjadi sangat bersalah dan seperti kehilangan harapan. Sikap agresif kita akan membawa dampak buruk bukan hanya bagi kita sendiri namun bagi generasi yang sedang kita didik. Kata-kata kasar, makian, tuduhan, kekerasan fisik, dan bahkan perusakan benda hanya akan membuat dia “patuh” di depan mata kita, namun “pemberontak” di belakang kita. Tidak jarang remaja ini kemudian melampiaskan pada tempat yang lain sebagai ungkapan kemarahan, salah satu nya menjadi warganet yang kejam yang mengolok-olok orang lain di sosial media dengan kejam.

Saya menutup tulisan ini dengan kutipan Benyamin Franklin, salah satu pendiri Amerika Serikat, yang secara bebas diterjemahkan, ‘Katakan padaku dan aku lupa. Ajari aku dan aku ingat, libatkan aku dan aku belajar.’ Melibatkan remaja dalam berkomunikasi dengan sendirinya akan melatih mereka komunikasi asertif, dan ini bukan hal yang mudah dilakukan. Butuh pengorbanan, latihan keras dan proses yang panjang. Tetapi hal-hal sederhana yang kita lakukan seperti di atas tetap akan memberikan dampak yang besar bagi para remaja yang sangat aktif di media sosial ini. Jangan sampai ada pembiaran dari kita sebagai pendidik hanya karena kita ingin tinggal di zona nyaman dan aman. Meneladankan komunikasi asertif menolong jutaan remaja Indonesia supaya mereka menjadi generasi bijaksana bukan pengolok-olok. Selamat mendidik.

*Penulis adalah guru dan pegiat pendidikan

BACA LAINNYA


Leave a comment