Survei atau Dukun Politik?

LITERASI - Selasa, 4 Agustus 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Elfahmi Lubis*

Setiap menjelang hajat politik yang bernama Pemilu atau Pilkada, muncul fenomena baru yaitu dukun politik. Dalam konteks yang lebih akademis, membedakan antara dukun politik dengan survei Pilkada sungguh sangat sulit, karena antara kedua terminologi tersebut dalam banyak kasus hampir mirip. Kalau begitu antara surveyor dengan dukun sama dong? Anda bebas memberikan jawaban, boleh ya dan boleh juga tidak tergantung dari sisi mana anda melihatnya.

Dukun selama ini kita persepsikan berhubungan dengan hal-hal yang irasional dan magis, bahkan tidak jarang dengan irasionalitasnya itu orang yang sangat rasional pun sering terperdaya dan percaya dengan si tukang nujum tersebut. Dalam konteks politik modern saat ini, praktik perdukunan politik laris manis dan tidak jarang menjadi instrumen dan referensi penentu.

Inilah dalam istilah saya dinamakan “politik teluh” memotret ruang elektabilitas calon yang akan bersaing dalam kontestasi politik melalui sebuah penerawangan batin (katanya, namun dalam realitas objektif sebenarnya abal-abal) berbasiskan kekuatan supranatural yang dimiliki. Bahkan tidak jarang dibarengi embel-embel mantra dan benda-benda keramat untuk menyakin si pemberi orderan (baca para calon kepala daerah).

Menjelang Pilkada seperti saat ini, jangan heran tempat-tempat keramat atau kuburan menjadi ruang mediasi politik bagi sang dukun untuk memburu aura elektabilitas. Dalam konteks Bengkulu, misalnya konon membasuhkan muka dari air sumur sebuah “rumah bersejarah”, dikabarkan kerap dilakukan para politisi yang akan bertarung dalam kontestasi politik, apakah itu Pemilu atau Pilkada. Soalnya, diyakini bisa menambah aura politik.

Menurut Agus Trihartono dalam tulisannya berjudul “Dukun dan Politik di Indonesia” menjelaskan seperti penumpang gelap kereta api, dukun dinafikan dan tersembunyi dari gegeran studi politik. Soalnya, perhatian banyak sekali tercurah kepada aspek-aspek yang dianggap rasional dan objektif dalam Pemilu. Padahal, fenomena dukun dalam politik Pemilu di Indonesia sudah berlangsung lama dan bahkan terlalu gegabah untuk diabaikan.

Dukun kerap kali dimanfaatkan karena kehadirannya dipercaya menguntungkan kekuasaan dan keamanan pengguna jasanya. Sebagai fenomena politik, keberadaan dukun di Indonesia sejalan dengan berkembangnya demokrasi modern pasca kemerdekaan. Dukun politik menjanjikan keuntungan dan kemenangan penggunanya di ranah politik. Walau hampir tidak ada catatan akademik bahwa dukun politik mendapat tempat dalam dinamika politik dan menjadi salah satu pilar lingkaran dalam kekuasaan elit.

Bukan hanya para pemain politik lokal di daerah, Soeharto sebagai “orang besar” disebut-sebut sangat kental dengan wilayah abu-abu ini. Kuatnya pemikiran mengenai rasionalistas-objektif rekrutmen politik telah memunculkan anggapan bahwa peran dukun politik berakhir. Nyatanya, praktek dukun dalam setiap kontestasi politik, termasuk Pilkada, disinyalir tetaplah kuat.

Sekarang dimusim Pilkada muncul bentuk “perdukunan modern” yang kita kenal dengan “survei”. Jika dukun politik bekerja pada wilayah irasionalitas dan tidak menggunakan basis akademis, sebaliknya survei mengklaim diri sebagai pekerjaan berbasis akademis dan menggunakan metodologi ilmiah. Itu idealnya yang kami kenal di dunia kampus atau akademik, namun tidak jika sudah di bawah keluar ke kandang politik praktis.

Soalnya, dalam banyak kasus survei yang awal sebuah metodologi ilmiah, bisa dibuat seperti karet yang bisa ditarik ke mana saja oleh sang surveyor, tergantung kepentingan dan keinginan si pemberi orderan. Survei yang sejatinya cara ilmiah untuk memotret persepsi publik (pemilih) terhadap kandidat melalui simulasi variabel elektabilitas, kini menjadi “bahan dagangan” bernilai ekonomis tinggi. Bahkan tidak jarang survei menjelma menjadi “penyesatan” opini publik terhadap fakta yang sebenarnya dari seorang kandidat.

Namun terlepas dari itu semua, saya masih mempercayai bahwa survei merupakan instrumen ilmiah yang membantu mengukur elektabilitas dalam proses kontestasi politik. Jika ada tim sukses atau kandidat yang tidak setuju dengan hasil dari sebuah lembaga survei, mungkin karena alasan tidak menguntungkan dirinya, silahkan lawan dengan cara yang ilmiah juga dengan melakukan second survei. Bukan dengan cara menghujat hasil survei tersebut.

Selanjutnya kepada lembaga survei, agar dalam melakukan survei untuk tetap menjaga integritas, moralitas, kredibitas, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran sebagai ciri kerja akademis. Selamat bersurvei ria dan anggap saja sebagai entertainment politik.

*Penulis adalah Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment