Statistik dalam Gulai Tempoyak; the power of Emak Emak

LITERASI - Rabu, 28 Agustus 2019

Konten ini di Produksi Oleh :

Ilustrasi/net

Oleh Budi Kurniawan*)

Statistik sebagai suatu ilmu biasa disebut statistika, setidaknya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana melakukan proses pengumpulan data, pengolahan, penyajian dan analisanya. Kata statistik sendiri merujuk pada ukuran-ukuran yang didapatkan dari sebagian populasi (sampel) biasanya digunakan untuk melakukan pendugaan (estimate) parameter. Sebagai cabang ilmu matematika, tidak banyak orang yang berusaha menyenangi ilmu ini, walupun sejatinya tidak ada yang bisa lepas dari keilmuan ini. Statistika hadir dalam berbagai kegiatan sehari hari tanpa disadari.

Ketika emak memasak gulai tempoyak misalnya, tidakkah kita ingat betapa beraninya si emak menarik kesimpulan tentang jaminan rasa yang mantap hanya dengan mencicipi sebagian kecil tetes kuah gulai saja. Kuah gulai yang diteteskan di telapak tangan, disentuh dengan ujung jari kemudian dicecap seujung lidah, wow … pas katanya. Itu statistik, tidak perlu mencicipi bermangkok gulai untuk memastikan rasa yang pas. Yakin akan kelengkapan bumbu, durasi memasak, suhu api tungku, adukan yang merata, dan sebagainya, telah menjamin teknik pengambilan sampel acak akan tetap menghasilkan rasa yang relatif sama dan pas.

Metodologi yang teruji setidaknya akan memberikan jaminan kualitas data statistik yang baik, setidaknya berkaca dari keberanian si Emak memastikan rasa gulai tempoyak, itu lah “the power of Emak emak” dan semua percaya akan rasanya yang memang “maknyus”.

Sebagai sebuah organisasi, Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengusung visi menjadi “pelopor data statistik terpercaya untuk semua” memiliki tanggung jawab untuk berupaya memuaskan semua pihak akan data yang terpercaya. Sebagai institusi pemerintah maka BPS mengutamakan institusi pemerintah lain sebagai konsumen utama yang lebih dulu percaya akan kualitas data BPS. Sepertinya untuk poin ini, BPS sudah cukup berhasil mendapatkannya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan lembaga kepresidenan yang dengan tegas mengatakan bahwa satu satunya data yang dipakai menjadi acuan adalah data BPS. Namun apakah “semua” sudah percaya ?

Tahun politik telah membawa “produk” lembaga ini menjadi bahan baku perdebatan antar kubu yang berseberangan. Bagai bubuk mesiu yang siap disulut, atau bola panas yang menggelinding liar; dua gajah bertarung, akankah pelanduk yang mati ditengah keduanya ? Ketika sebuah karya yang dihasilkan dipertanyakan oleh publik tentang validitasnya, (sebagai contoh kasus viralnya penurunan angka kemiskinan), maka sebagai suatu organisasi setidaknya segenap unsur akan merasa terusik. Keterusikan tidak harus menjadikan gerah dan merasa dipersalahkan. Bukankah semua telah dilakukan sesuai SOP ? Berpikir jernih mungkin akan membawa lembaga ini kembali melihat kedalam diri, dan bukan sebuah aib untuk mengatakan mungkin ada kekurangan atau suatu kesalahan dalam berbagai sisi. Anggaplah ini sebagai suatu ujian untuk mempertahankan kepercayaan konsumen akan apa yang selama ini dihasilkan organisasi.

Meskipun tidak semua data harus disajikan oleh lembaga ini, namun mempelopori berbagai elemen yang terkait dengan kegiatan pengumpulan dan penyajian data berkualitas baik oleh perorangan maupun institusi menjadi visi besar BPS. Peningkatan kualitas data akan memunculkan tingkat kepercayaan konsumen pada sebuah institusi seperti BPS. Kejujuran ilmiah telah membawa organisasi BPS menjadi sebuah lembaga penyedia data yang terpercaya dinegeri ini. Membawa sebuah kajian ilmiah kedalam ranah politik (dengan tendensius) tentu tidak akan bertemu ujung pangkalnya. Jika dikembalikan ke visi organisasi , maka memang tidak hanya untuk pemerintah saja kepercayaan itu harus di dapat. Semua penikmat karya BPS pun harus percaya, atau setidaknya dipelopori untuk percaya. Media sosial yang begitu masif mengabarkan sesuatu terkadang memposisikan sebuah berita terombang ambing tak bertepi.

Mendiseminasikan hasil dalam bentuk publikasi diberbagai media, termasuk media sosial terbukti berhasil mengedepankan BPS sebagai sebuah organisasi penyedia data yang sering diacu. Independensi BPS dimata dunia pun termasuk diakui, bahkan oleh lembaga-lembaga dibawah naungan United Nation (UN). Berbagai institusi justru mengacu data BPS sebagai alat untuk mendukung analisa atas bermacam kepentingan. Statistik sebagai sebuah indikator memang hanyalah alat, dan baru dapat dibunyikan dengan cabang keilmuwan yang lain. Seorang filsuf bahkan berkata bahwa ilmu dipengaruhi kekuasan pada zamannya, maka jika ada yang menganjurkan untuk “how to lie with statistic ?” bisa jadi itu atas kepentingan tertentu dan bisa jadi atas pengaruh (ambisi) kekuasaan.

Jejaring kerja BPS yang menyebar keseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan komando vertikal dari pusat sampai dengan tingkat kecamatan (Koordinator Statistik Kecamatan) ditambah tenaga kontrak (Mitra Statistik) yang direkrut saat pelaksanaan sensus/survei tertentu memungkinkan terjaganya keterbandingan data antar wilayah. Keterbandingan data antar wilayah menjadi lebih bermakna ketika kualitas data pun memiliki kesamaan level akurasi maupun tingkat kekinian-nya (up to date). Jikalah pelayanan prima merupakan salah satu tujuan reformasi birokrasi yang paling sering didengungkan oleh berbagai institusi pemerintah, maka BPS memandang perlu untuk menambahkan upaya peningkatan kualitas data sebagai satu lagi tujuan reformasi birokrasi di dalam institusi tersebut.

Salah satu nilai inti (core values) BPS adalah “Amanah”, sebuah nilai yang patut dicermati dengan sangat hati-hati. Menjadikan sebuah organisasi terpercaya bukanlah perkara mudah, bahkan kalaupun sudah meraih kepercayaan tinggi pun, jauh lenih sulit untuk mempertahankannya. Kejujuran ilmiah menjadi dasar utama untuk tetap dipercaya bagi sebuah organisasi penyedia data seperti BPS. Suatu kesalahan mungkin saja dilakukan dalam sebuah proses pada serangkai kegiatan BPS, namun kebohongan tidak boleh terjadi. Ini yang akan membentuk paradigma tingkat kepercayaan terhadap organisasi. Ditarik kedalam dimensi ibadah sebagai seorang warga negara berideologi Pancasila, serangkaian kegiatan yang mengusung amanah sepatutnya dilakukan dengan penuh ketulusan.

Profesional, Integritas dan Amanah (core values BPS) semestinya bukan nilai-nilai yang berdiri sendiri dan atau harus diberi skala prioritas tertentu. Semua harus berjalan paralel dan sinergis menuju visi organisasi. Apalah jadinya seseorang yang professional tapi tidak amanah berada dalam suatu organisasi ? atau sebaliknya amanah tapi tidak profesional, atau mungkin profesional tapi integritasnya diragukan ? Kepemilikan nilai-nilai inti BPS oleh segenap unsur organisasi BPS baik di pusat maupun di daerah mestinya memang berjalan paralel. Tidak boleh ada unsur yang tidak professional, tidak berintegritas dan tidak amanah. Merasa satu tubuh dari sabang sampai Merauke, pun Miangas sampai Pulau Rote memberi energi tambahan untuk membangun organisasi yang berkemampuan sama, berpeluang sama untuk dipercaya oleh “SEMUA”.

The power of emak emak, belakangan semakin viral menyusul kenekatan emak emak jaman now berpolitik. Insan statistik semestinya meneladani emak emak dalam membumikan statistik, tidak dengan kerumitan perhitungan matematisnya, melainkan dengan ke-simple-lan penggambaran nya. Keep it so simple. Maka statistik akan senikmat gulai tempoyak, bikinan emak.

Menjelang gelaran rutin sepuluh tahunan, Sensus Penduduk yang akan dihelat pada tahun 2020, BPS menggaungkan sebuah “narasi besar”. Indonesia yang sama kita cintai, bukan hanya pulau pulaunya, pun bukan sekedar gambar diatas peta. Indonesia adalah sebuah cerita, yang ditulis berbagai suku bangsa sebagai kalimat, dan setiap penduduk sebagai hurufnya. Tugas BPS adalah mengabadikan, mencatat itu semua, sebagai bekal untuk kemajuan negara, yang sama sama kita cintai (@provetic). SP2020, Mencatat Indonesia

*) reviewer of Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Jambi, Pascasarjana Universitas Jambi

BACA LAINNYA


Leave a comment