Soal TikTok Viral Palestina: Dikeluarkan dari Sekolah, Sanksi “Bias” Anak

LITERASI - Rabu, 19 Mei 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Elfahmi Lubis*

Konflik Palestina versus Israel, merupakan konflik global yang selalu menguras emosi publik. Hal ini bisa dipahami karena konflik kedua negara tersebut, berkelindan dengan nuansa agama dan ideologi yang sarat dengan simbol dan idiom-idiom agama yang menyentuh sisi nurani terdalam kemanusiaan semua orang. Oleh sebab itu ketika rakyat Palestina diberlakukan secara “biadab” oleh zionis Israel, maka selalu menimbulkan simpati dan respon publik secara luas. Bahkan, simpati itu tidak hanya datang dari negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim tapi meluas di negara-negara barat lainnya. Apalagi dengan adanya media sosial, setiap saat kita bisa mendapatkan informasi dan berbagai tayangan terkait dengan konflik tersebut. Terkadang jika kita tidak bijak dalam menyaring berbagai informasi tersebut, akan menimbulkan emosi dan reaksi yang terkesan berlebihan.

Narasi di atas sengaja saya tampilkan untuk mengurai soal kasus rekaman video Tik Tok viral dari seorang remaja di Kabupaten Bengkulu Tengah yang diduga mengandung “ujaran kebencian” soal Palestina. Tik tok mengandung konten yang menentang arus mainstream pendapat publik ini, kontan saja menimbulkan reaksi penolakan luar biasa dari publik. Soalnya, dalam kondisi emosi publik yang “marah” terhadap kebiadaban zionis seperti saat ini, maka dapat dimaklumi jika video tik tok yang terkesan “kurang pantas” soal Palestina ini mendapat kecaman dan amarah publik.

Menyadari konten video tik tok ini merupakan isu yang sangat sensitif dan bisa memicu eskalasi konflik yang lebih luas, maka cepat ditangani oleh aparat kepolisian dan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat. Dimana si anak pelaku pembuat video tik tok bersama orang tuanya dipanggil dalam mediasi untuk mencari penyelesaian terbaik. Hasilnya, dengan mengedepankan prinsip restoratif justice dan tabbayun, si anak pembuat video tik tok viral bersedia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, dan kepada orang tuanya agar dapat mendidik, membina, dan melakukan pengawasan. Di sini persoalan dianggap selesai dan close.

Namun belakangan muncul sanksi baru untuk si anak pembuat video tik tok viral soal Palestina, yaitu dikeluarkan dari sekolahnya dan dikembalikan dengan orang tuanya. Alasannya penjatuhan sanksi ini, karena pihak sekolah menganggap bahwa si anak telah melanggar klausul tata tertib sekolah. Di sini pangkal persoalannya, penulis secara pribadi tidak setuju dengan sanksi dikeluarkan dari sekolah ini, karena sebelumnya si anak sudah meminta maaf dan menyesali perbuatanya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Seharusnya penyelesaian yang dimediasi aparat kepolisian dan Pemkab Benteng ini sudah cukup untuk memberikan pelajaran buat si anak dan kedua orang tuanya untuk menyadari atas kekeliruan yang sudah dilakukan. Dalam agama juga dianjurkan untuk “tabbayun”. Walaupun saya sendiri sangat tidak setuju dengan tindakan si anak, apalagi dengan konten dalam video tik tok-nya.

Dasar pemikiran saya tidak setuju si anak dikeluarkan dari sekolah, lebih pada pertimbangan psikologis dan sosial anak. Jelas dengan sanksi “bias” anak ini, akan menimbulkan tekanan psikologis dan sosial luar biasa bagi si anak. Ditambah lagi ada stigma buruk dari masyarakat yang menganggap si anak seolah-olah telah melakukan kesalahan berat yang tidak bisa dimaafkan. Selain secara sosial si anak akan menarik diri dari lingkungan sosialnya karena merasa masyarakat akan bersikap sinis kepadanya. Dalam perspektif inilah saya menyatakan ketidaksetujuan dengan sanksi dikeluarkan dari sekolah.

Jika anak ini dikeluarkan dari sekolah, saya memandang akan semakin menimbulkan dampak buruk kepada si anak. Diharapkan melalui pranata sekolah, si anak dapat dididik dan dibina karakter dan moralitasnya. Dengan demikian ke depan diharapkan si anak bisa menyadari kesalahan yang pernah ia diperbuat dan berusaha untuk memperbaiki diri sehingga menjadi pribadi yang lebih berkarakter.

Dalam konteks Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, pengaturan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum untuk diarahkan pada pemenuhan hak anak serta mengutamakan keadilan restoratif. Selain itu di dalam konstitusi diatur secara tegas bahwa hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara wajib mengusahakannya. Jadi hak untuk sekolah itu adalah hak asasi setiap orang, yang tidak boleh dirampas dan dikurangi sedikit pun dan dengan alasan apapun, termasuk oleh negara.

Untuk itu saya berharap, pihak-pihak sekolah dan Pemprov Bengkulu yang membawahi pendidikan menengah dan kejuruan, untuk dapat mempertimbangkan kembali sanksi ini dan saya berharap agar si anak dapat dikembalikan lagi bersekolah. Selanjutnya, pihak sekolah bisa membuat treatmant (perlakuan) khusus kepada si anak dalam jangka waktu tertentu, misalnya untuk mengikuti proses pembimbingan dari guru BP/BK, atau melalui guru agama untuk diberikan pembimbingan khusus terkait dengan soal adab ahklakul karimah.

*Penulis adalah Dewan Pakar JMSI Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment