Sepenggal Kisah Panglima Perang Termuda Diponegoro dan Batik Besurek di Bengkulu

NEWS - Selasa, 2 Juli 2019

Konten ini di Produksi Oleh :

Pangeran Sentot Alibasyah/net

GARUDA DAILY – Perkembangan kain khas Bumi Rafflesia, Provinsi Bengkulu, tak bisa lepas dari perjalanan heroik Panglima Perang Termuda Diponegoro, Pangeran Sentot Alibasyah. Literasi sejarah menyebutkan, ada kecenderungan awal perkembangan Batik Besurek ketika Pangeran Sentot Alibsyah hijrah ke Bengkulu. Waktu itu, pengrajin dan pemakai Batik Besurek kebanyakan dari garis keturunan Pangeran Sentot Alibasyah.

Pangeran Sentot Alibasyah merupakan salah satu panglima yang dibentuk Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa, yang lebih dikenal Perang Diponegoro. Sentot Alibasyah yang memiliki nama lengkap Sentot Alibasyah Mushtofa Prawirodirjo, adalah panglima perang termuda, yakni di usia 17 tahun. Dalam usianya yang sangat muda itu, Sentot dipercaya memegang komando sebanyak 250 orang pasukan pelopor atau lebih dikenal dengan nama “Pasukan Penilih”. Keberanian dan kehebatan strategi perang Sentot diakui oleh Belanda yang terlulis dalam buku “De Java Oorlog Van” yang ditulis De Klerek tahun 1825 hingga 1830, yang menyebutkan bahwa strategi perang Sentot dalam melakukan manuver sangat mencengangkan pihak Belanda.

Sentot yang dikenal gagah dan berjiwa patriotis ini tidak mudah ditaklukkan. Bahkan semangat kejuangan dan kepahlawanan Sentot masih terus berkobar, meskipun beberapa tokoh besar pejuang Perang Diponegoro satu persatu sudah ditundukkan oleh Belanda.

Menyadari Sentot tidak mudah ditaklukkan, Belanda pun akhirnya menggunakan pendekatan lain, yakni pendekatan kekeluargaan atau “family of approachment”. Melalui pendekatan itu, akhirnya Belanda berhasil menghentikan sementara perlawanan Sentot, dengan semua syarat yang diajukan Sentot disetujui Belanda. Hingga akhirnya oleh Belanda, Sentot dikirim ke Sumatera Barat, untuk mengakhiri perlawanan Kaum Paderi.

Bukannya menghentikan perlawanan Kaum Paderi, di sini Sentot justru bersekongkol dan menggabungkan kekuatan Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, kekuatan Daulat di Pagaruyung dengan pimpinan Sultan Alam Bagagar Syah dan kekuatan pengikut Diponegoro di bawah pimpinan Sentot Alibasyah, untuk mengusir Belanda dari tanah Minangkabau. Pada 11 Januari 1833, kekuatan tersebut melakukan penyerangan ke pos Belanda.

Belanda pun mulai mencium pengkhianatan yang dilakukan Sentot. Dalam jurnal tanggal 25 April 1837 diceritakan bahwa Kolonel Elout mempunyai dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Sentot dengan kehadirannya di Sumatera.

”Inlander ini yang dulu sangat kita hormati tiba-tiba melakukan pengkhianatan. Dia berkhayal mengepalai penduduk Melayu dan bertujuan mengusir berstuur Eropa, dengan perkataan lain membunuh semua orang Eropa. Dia telah menjadi korban kejahatannya karena orang-orang Melayu seperti diketahui mempunyai kejengkelan yang sama banyaknya terhadap orang-orang Jawa maupun orang Eropa,” tulis Mayor de Salis.

Elout kemudian mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa, namun Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan ke sana Sentot diturunkan di Bengkulu di mana dia tinggal sampai meninggal sebagai orang buangan. Legiunnya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam tentara Hindia.

Makam Pangeran Sentot Alibasyah/Kemdikbud

Sementara itu, Sejarawan Bengkulu Agus Setyanto mengatakan lain, Sentot merupakan buyut dari Sri Sultan Hamengku Buwowo pertama yang dijebak dan ditangkap melalui perundingan di Madiun. Usai ditangkap, Sentot muda dipaksa untuk memimpin pasukan Belanda dalam perang Paderi di Sumatera Barat. Tetapi karena kecintaan dan loyalitas sang Panglima yang berjuluk “Napoleon dari tanah Jawa” itu, Sentot malah berkongsi dengan para intelejen pasukan paderi untuk membocorkan informasi pasukan Belanda yang dipimpinnya untuk kepentingan serangan kaum pribumi.

“Belanda yang mengetahui gerakan Sentot marah besar dan menariknya dari Sumatera Barat ke Batavia, lalu mengasingkannya ke wilayah yang tidak memungkinkan dia kembali ke tanah Jawa atau ke Sumatera Barat, yaitu Bengkulu yang saat itu dikuasai Inggris, tepatnya pada tahun 1833,” ungkap Agus Setyanto.

Saat ‘dibuang’ ke Bengkulu inilah, literasi sejarah menyebutkan, ada kecenderungan awal perkembangan Batik Besurek ketika Pangeran Sentot Alibsyah ke Bengkulu. Waktu itu, pengrajin dan pemakai Batik Besurek kebanyakan dari garis keturunan Pangeran Sentot Alibasyah.

Cinta Batik Besurek, Cinta Bengkulu

Awalnya penggunaan Kain Besurek hanya sebatas untuk upacara-upacara adat dan hal tertentu saja. Namun perkembangannya, penggunaan Batik Besurek semakin meluas hingga saat ini. Tak hanya itu, berbagai upaya terus dilakukan untuk mengenalkan Batik Besurek sebagai warisan leluhur ke dunia luar. Seperti yang saat ini dilakukan Pemerintah Provinsi Bengkulu. Di bawah kepemimpinan Gubernur Rohidin Mersyah, promosi besar-besaran terus dilakukan.

Terakhir, April lalu, Batik Besurek ikut serta di Pameran International Handicraft Trade Fair (INACRAFT) 2019. Batik Besurek bersanding dengan ribuan produk kerajinan lainnya.

“Bangga, besurek bisa bersanding bersama ribuan stand kerajinan. Karakter unik besurek menjadi semakin kentara, dan mudah-mudahan bisa merambah pasar nasional bahkan pasar global,” kata Rohidin. (Red)

Sumber:
http://ctzonedehasenbkl.com/menelusuri-jejak-sentot-alibasya-panglima-perang-termuda-diponegoro/
Bengkulu Heritage Society

BACA LAINNYA


Leave a comment