Sandungan Langkah

LITERASI - Jumat, 9 Juli 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Budi Kurniawan*

Dapur harus tetap berasap dan jangan sampai periuk nasi terguling. Ungkapan pepatah tua seperti ini menjadi alasan mengapa seolah awam abai akan anjuran untuk berdiam di rumah saja selama masa pandemi. Bagi sebagian besar orang, melakukan aktivitas kegiatan untuk menghasilkan pendapatan memang tidak mesti keluar rumah, namun bagi sebagian (besar) yang lain terkadang tidak ada jalan lain selain harus keluar rumah. Berharap akan bantuan sosial dari pemerintah ataupun donatur lain di luar pemerintah sepertinya pun belum menjamin dapur akan tetap berasap. Ketidakhadiran di tempat seseorang biasa melakukan aktivitas ekonomi, entah itu di perkantoran, di pusat perbelanjaan, di persawahan/perkebunan dan atau di lokasi lokasi lainnya, bisa saja menggulingkan periuk nasi. Seberapa banyak yang masih memakai periuk untuk menanak nasi, atau seberapa banyak rumah yang dapurnya masih berasap jika memasak? Pertanyaan ini tentu tidak ditujukan untuk menemui jawaban bahwa modernisasi sudah membuat pertanyaan tersebut menjadi tidak relevan lagi di masa kini. Justru merelevansikan pertanyaan yang berawal dari ungkapan pepatah tua di awal tadi harus dilakukan saat ini bahkan sampai nanti ketika tujuan bernegara sudah benar-benar mewujud.

Pandemi yang masih menggelayuti negeri ini memaksa pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), di beberapa region bahkan dalam konsep kedaruratan. Tidak cukup dengan Jawa-Bali pengetatan PPKM pun diberlakukan pada 43 kota non Jawa-Bali lainnya. “New normal” yang digaungkan beberapa waktu lalu sempat memberikan angin segar akan bangkitya kondisi perekonomian. Beberapa indikator makro ekonomi memang memperlihatkan indikasi demikian, namun situasi belakangan seakan memupus harapan tersebut.

Menparekraf Sandiaga Uno mengatakan bahwa pariwisata menjadi sektor yang paling terdampak wabah pandemi Covid-19 sehingga diperlukan gercep, geber, dan gaspol. “Gercep” menurut Sandiaga adalah bergerak cepat, sementara “geber” adalah bergerak bersama-sama, memanfaatkan semua potensi untuk membangkitkan dan mempertahankan industri pariwisata. Sementara “gaspol” adalah menggarap semua potensi lapangan pekerjaan yang ada. Menyadari akan perlu adanya pemulihan yang seimbang dan simultan antara kesehatan dan persiapan bangkitnya ekonomi pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai bagian dari pilar ekonomi untuk melanjutkan ekonomi nasional, maka sudah sepatutnya mendorong seluruh pelaku pariwisata melakukan adaptasi dengan memenuhi syarat protokol Cleanliness, Healthy, Safety and Environmental Sustainability (CHSE) atau memenuhi dari segi Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Keberlanjutan Lingkungan (K4).

Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan seluruh aktivitas pariwisata hingga mati suri. Sekalipun semua orang ingin traveling, kesehatan diri dan keluarga jadi prioritas tertinggi saat ini. Maka, tetap tinggal di rumah jadi pilihan terbaik. Hal itu berdampak pada penurunan pendapatan sektor pariwisata secara global, termasuk Indonesia. Penerbangan dibatasi, hotel-hotel tidak terisi, hingga berbagai tempat wisata sepi pengunjung. Sebagai salah satu daerah potensi tujuan wisata, dampak pandemi mulai terasa di Bengkulu sejak awal triwulan kedua tahun 2020, pasca pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa virus Corona Wuhan telah menjangkiti 2 warga Indonesia pada maret.

Amatan rutin yang selalu dirilis oleh BPS pada tiap awal bulan terkait dengan indikator kepariwisataan antara lain adalah data transportasi dalam moda angkutan udara. Jumlah penumpang pesawat yang tercatat menggunakan moda angkutan ini melalui Bandara Fatmawati baik “dari” (berangkat) maupun “ke” (datang) mulai menurun pada awal kuartal kedua 2020. Jika pada kondisi normal tahun sebelumnya (2019) total penumpang berkisar antara 52 ribu sampai 74 ribu orang setiap bulannya, sejak pandemi angkanya tidak lebih dari 10 ribu orang perbulan pada triwulan kedua 2020. Angka tersebut bergerak naik pada triwulan ketiga hingga mencapai kisaran 20 ribuan penumpang setiap bulan. Seiring penerapan kondisi “New Normal”, jumlah penumpang pada triwulan penghujung 2020 sepertinya mengindikasikan sebuah besaran “rataan baru” jumlah penumpang pesawat di Bandara Fatmawati dengan kisaran 30 ribuan orang setiap bulannya. Sampai pertengahan tahun ini rataan penumpang perbulan tercatat masih di kisaran 30 ribuan orang. Sejauh ini sepertinya langkah mengejar normal untuk kondisi penerbangan baru mampu menggapai setengah.

Indikator kepariwisataan lain yang juga dirilis rutin setiap bulan adalah data hunian hotel berbintang. Seirama dengan data penerbangan, kondisi hunian hotel tahun 2019 sampai triwulan pertama 2020 berada pada kisaran 46-69 persen setiap bulannya. Kondisi hunian hotel memburuk di triwulan kedua 2020 dengan kisaran hanya 14-21 persen perbulan dan sedikit merangkak menjadi 40 persen perbulan pada triwulan ketiga. Tingkat hunian memuncak di triwulan keempat dengan capaian 45-50 persen setiap bulannya. Langkah mengejar normal untuk hunian hotel sepertinya terkondisikan stagnan pada kisaran 32-38 persen saja sebagaimana tercermin dari data amatan sampai dengan pertengahan tahun 2021. Sepertinya indikator tingkat hunian hotel ini pun baru mampu menggapai setengah dari kondisi normal.

Bagaimana kondisi ke depan, apakah kepariwisatan akan mampu bertahan? Berpikir positif di tengah masa sulit tak selalu mudah. Namun, adaptasi dan fleksibilitas adalah kunci utama yang harus dipegang siapa saja yang berkecimpung dalam industri hospitality & tourism. Bagaimanapun juga, perubahan adalah satu-satunya hal yang terus terjadi di dunia. Mengubah strategi untuk bisa bertahan di masa pandemi jadi langkah realistis yang bisa dilakukan penggiat pariwisata. Masih ada harapan untuk masa depan pariwisata setelah pandemi. Hal yang terpenting dilakukan saat ini adalah fokus pada pengendalian pandemi secara agresif: tes, tracing, isolasi, dan perawatan pasien. Pemulihan ekonomi akan mudah dilakukan kemudian ketika jumlah kasus melandai dan menunjukkan tren positif.

Dua indikator kepariwisataan yang dikemukakan mungkin tidak sepenuhnya merepresentasi kondisi yang mampu memprediksi situasi ke depan. Walaupun tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan situasi, setidaknya menuju setengah upaya menggugah rasa. Rasa untuk selalu berpikir analitik yang kelak meriap menjadi candu. Kecanduan positif tentunya, bukan sebaliknya. Melepaskan diri dari candu merupakan salah satu cara membawa hidup lebih bahagia, tenang, dan bijaksana. Apa candumu? Apakah berita, media sosial, atau grup percakapan berbaris-baris yang menghadirkan kepanikan, ketakutan, dan perasaan tidak tenang?Menghentikan kecanduan akan hal-hal yang menghadirkan kepanikan, ketakutan, dan perasaan tidak tenang akan menyelamatkan dan lakukan langkah konkret agar hidup lebih bahagia, tenang, dan bijaksana. Berharap menggelorakan semangat bertarung untuk selalu menggenapkan langkah, jangan cuma setengah. Semoga pandemi yang menjadi sandungan tidak membuat jatuh terjerembab.

*Penulis adalah Statistisi Madya BPS Provinsi Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment