Pilkada dan Hari Anti Korupsi, Ada 300 Kepala Daerah Terjerat Korupsi

NEWS - Selasa, 8 Desember 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

GARUDA DAILY – Pilkada Serentak 9 Desember 2020 kian berdinamika. Selain diselenggarakan di tengah wabah pandemi Covid-19 yang belum reda, hari Pilkada Serentak 2020 juga bertepatan dengan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia).

Oleh KPU, sebelumnya pilkada dijadwalkan pada 23 September 2020 lalu, namun terpaksa karena pandemi. KPU kemudian menjadwalkan ulang hingga hari pencoblosan bertepatan dengan peringatan Hakordia.

Lantas berapa kepala daerah yang merupakan produk dari pilkada yang pernah terjerat kasus korupsi?

Data KPK menyebutkan, sepanjang tahun 2005 hingga tahun 2019 atau sejak kepala daerah dipilih langsung melalui mekanisme pilkada, sebanyak 300 kepala daerah terjerat perkara korupsi. Di antara 300 kepala daerah itu, 128 kasus ditangani oleh KPK sendiri.

“Dalam catatan KPK sejak pilkada langsung diterapkan pada 2005, sudah 300 kepala daerah di Indonesia yang menjadi tersangka kasus korupsi, 124 di antaranya ditangani KPK,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dikutip Bengkuluinteraktif.com dari Kompas.com.

Sedangkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, setidaknya 294 kepala daerah terjerat perkara korupsi. Data ICW didasarkan pada hasil pengumpulan informasi dan keterangan resmi dari institusi-institusi penegak hukum, seperti kepolisian, KPK, kejaksaan, dan putusan-putusan perkara korupsi. ICW juga mengelola informasi dari sumber media massa.

“Bisa saja kasus-kasus korupsi di daerah yang kami masyarakat sipil juga tidak tahu, apakah ada atau tidak tapi angka ini cukup tinggi, ada 294 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi kurang lebih sejak 9 tahun terakhir,” kata Peneliti ICW Almas Ghaliya Putri Sjafrina dalam Zoom Meeting, Kamis, 15 Oktober 2020 lalu.

Almas menyebutkan, korupsi dan pilkada atau pemilu memiliki keterkaitan langsung yang disebabkan banyak faktor, di antaranya cost politik dalam pilkada yang sangat tinggi. Cost politik yang dimaksud meliputi pengeluaran biaya pilkada yang legal (biaya kampanye) dan biaya pilkada illegal seperti money politic, mahar parpol, suap penyelenggara bahkan untuk suap hakim.

Cost politik tinggi itulah yang kemudian menjadi pemicu kepala daerah untuk melakukan korupsi. (RS)

BACA LAINNYA


Leave a comment