Penahanan Ijazah SMU/SMK di Provinsi Bengkulu: Gubernur Versus Gubernur-Gubernuran

OPINI - Senin, 12 September 2022

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Agustam Rachman*

Delapan belas minggu yang lalu (hari ini tanggal 12/09/2022) Joncik Muhammad Bupati Empat Lawang Provinsi Sumatera Selatan menulis di IG-nya tentang kisah tahun 1990 semasa kuliah bersama Rohidin Mersyah Gubernur Bengkulu. Keduanya sama-sama kuliah di UGM, kampus yang berdiri berkat dukungan raja Yogyakarta yang merakyat yaitu Hamengkubuwono IX.

Mereka berdua menempati kamar sempit di Sendowo E-115 Yogyakarta yang berlantai tanah dengan sewa Rp. 70 ribu setahun, karena berdua maka masing-masing hanya membayar Rp. 35 ribu/per tahun.

Terus-terang saya (sangat) tertarik dengan kisah itu. Sebab kisah itu mewakili mayoritas kisah pelajar yang sekolah di perantauan. Termasuk saya sendiri.

Tulisan ini bukan untuk ‘haru-haruan’ karena kisah itu kemudian menggiring pembaca untuk ‘nangis bombay’.

Saya percaya pada kisah yang ditulis Joncik itu. Namun izinkan saya ‘menggugat’ cerita itu. Sebab bagaimana tidak, Gubernur Rohidin yang ‘katanya’ penuh penderitaan semasa sekolah dan ditempa di organisasi HMI tapi ketika memegang jabatan seolah ‘kacang lupa kulit’.

Saat ini (sebagai dampak pandemi, murahnya harga sawit, dan terbaru pemerintah pusat menaikkan harga BBM) di Provinsi Bengkulu banyak sekali alumni SMU/SMK yang ijazahnya ditahan atau sempat ditahan pihak sekolah dengan alasan menunggak uang sekolah (catatan: SMU/SMK ada di bawah kewenangan gubernur).

Sebagai contoh, misalnya yang dialami oleh Tiara Meilani, Vanindya Juliana Utami, Azwar Ramadansyah, kesemuanya alumni SMKN 3 Kota Bengkulu dan Raji Pebrianto alumni SMK 7.

Penahanan ijazah oleh pihak sekolah SMU/SMK di Provinsi Bengkulu ini sudah berlangsung lama dan bahkan saat ini masyarakat membentuk Relawan Merdeka Ijazah sebagai langkah turut membantu mencari solusi atas masalah itu. Namun sebaliknya tidak ada upaya tegas dan konkret dari Gubernur Rohidin yang dulu semasa kuliah (kata Joncik) tidur ‘di atas lantai tanah’ saking miskinnya.

Sementara Fauzi Bowo atau akrab disapa Bang Foke yang merupakan lulusan Universitait Braunschweig Jerman dan sudah ‘kaya sejak lahir’ (sebagaimana dikutip https://hbis.wordpress.com, Sosok Bang Fauzi Bowo). Kakeknya yang bernama KH Abdul Manaf Bin Achmad Jabar adalah Ulama Betawi dan konglomerat sukses, dan semasa menjabat Gubernur DKI tahun 2012 mengambil kebijakan populer dengan memberi sanksi jika ada sekolah yang menahan ijazah siswa di DKI (https://metro.tempo.co, 26/06/2012) karena Foke sadar betapa penting pendidikan bagi generasi muda.

Pun di Provinsi Jawa Barat, melalui Wakil Gubernurnya (Uu Ruhzanul Ulum) melarang keras penahanan ijazah SMU, SMK, SLB dengan alasan apapun. (https://news.detik.com, Senin 17/01/2022). Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemkot Depok (https://www.viva.co, Senin, 08/03/2021).

Kebijakan yang sama juga dilakukan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dia memerintahkan supaya ijazah siswa yang sudah lulus tapi ditahan pihak sekolah karena persoalan uang supaya segera diserahkan kepada siswa. Bahkan Ganjar dengan gaya sarkas mengatakan bila terpaksa harus bayar maka biar Ganjar Pranowo selaku gubernur yang membayarnya (https://www.tagar.id, 27/08/2020).

Kebijakan tegas juga dilakukan Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan pada tanggal 27 Agustus 2021 yang menerbitkan Surat Edaran Nomor: 421.2/25.a/II.D.DIK/2021 tentang Larangan Menahan Ijazah Peserta Didik (https://disdik.bengkulukota.go.id, 27/08/2021) tapi sesuai kewenangan wali kota, kebijakan ini hanya berlaku untuk sekolah SD, SMP saja).

Lantas bagaimana kebijakan Rohidin Mersyah Gubernur Bengkulu seorang yang berlatar-belakang ‘miskin’ tapi berkesempatan menempuh pendidikan tinggi, yang masa jabatannya tinggal menghitung hari itu?

Tentu kita tidak ingin Rohidin Mersyah dikenang bukan sebagai gubernur tapi hanya ‘gubernur-gubernuran’.

Wallahualam Bissawab

*Penulis adalah Pengamat Sosial

BACA LAINNYA


Leave a comment