Menyoalkan “Keanehan” Sistematika UUD 1945 dan Implikasi Yuridis?

OPINI - Jumat, 17 September 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

Mencakapkan konstitusi di ruang publik dan akademis harus ditradisikan, sehingga setiap warga negara mengerti dan paham bagaimana cara bernegara dengan baik. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa konstitusi kita UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan (amandemen) secara sistematika dan rumusan redaksional sedikit “aneh” dan memerlukan proses penyempurnaan dan sinkronisasi. Mandat itu sebenarnya sudah pernah dilakukan dengan membentuk Komisi Konstitusi, yang tujuan pembentukannya untuk dapat merapikan sistematika dan rumusan amandemen konstitusi yang dilakukan MPR.

Hanya saja dalam perjalanannya MPR dalam ketetapannya tidak membentuk Komisi Konstitusi secara mandiri dan tidak diberi wewenang menentukan rumusan teknis perbaikan konstitusi. Komisi Konstitusi yang penyusunannya diserahkan pada Badan Pekerja MPR (BP MPR) ini berfungsi jadi semacam badan pembantu, yang mengkaji dan menyelaraskan amandemen yang sudah dibuat dan disahkan. Hasilnya dilaporkan kepada BP MPR, sehingga kedudukannya terbatas pada fungsi staf untuk badan itu. Selain mempersoalkan isinya, ada juga yang tidak setuju keputusan pembentukan komisi ini dituangkan hanya dalam sebuah ketetapan MPR. Mestinya dicantumkan dalam UUD, sebagai sebuah pasal dalam aturan tambahan UUD. Dengan demikian kedudukan hukumnya lebih kuat dan pasti.

Akibatnya, sistematika dan rumusannya UUD 1945 menjadi terkesan “aneh”. Untuk diketahui setelah amandemen sistematika konstitusi kita adalah terdiri dari pembukaan 4 alinea, batang tubuh 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan tambahan.

Mari sekarang cek, di dalam UUD 1945 pada Bab IV Dewan Pertimbangan Agung yang diberikan kalimat (dihapus****) pada amandemen keempat. Selanjutnya, dengan dihapusnya Bab IV, keberadaan Dewan Pertimbangan Agung diganti dengan suatu dewan yang ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan suatu dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden masih tetap diperlukan, tetapi statusnya menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara yang berada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Keberadaan dewan pertimbangan tersebut dituangkan pada Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.

Persoalannya muncul, walaupun Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sudah hapus melalui amandemen keempat, tetapi anehnya Bab IV tentang DPA tetap tercantum dalam konstitusi, yang hanya diberikan keterangan “dihapus” dengan kode (****), yang diartikan bahwa Bab IV DPA itu sudah dihapus diamandemen keempat. Seharusnya, menurut pendapat saya ketika Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Presiden itu telah dinyatakan “dihapus”, maka tidak boleh lagi dicantumkan dalam sistematika UUD 1945. Ketika Bab IV DPA ini masih dicantumkan dalam satu kesatuan utuh UUD 1945, menurut saya memiliki implikasi yuridis dan konstitusionalitas, yaitu memberikan legalitas konstitusional bahwa keberadaan Bab IV tentang DPA masih diakui karena secara eksplisit keberadaan lembaga tinggi tersebut masih tercantum dalam konstitusi walaupun dengan keterangan “dihapus****).

Selain itu sistematika UUD 1945 yang masih mencantumkan Bab IV DPA, membuat keberadaan bab dalam konstitusi menjadi “meloncat”. Seharusnya ketika Bab IV DPA sudah dihapus, maka bab tersebut tidak perlu dicantumkan lagi dalam UUD 1945, sehingga kementerian negara menjadi Bab IV bukan Bab V seperti sistematika sekarang. Dengan demikian UUD 1945 seharusnya cukup memuat 15 bab dan bukan 16 bab.

Oleh sebab itu menurut saya, MPR perlu memikirkan persoalan ini sehingga dokumen konstitusi secara sistematika dan rumusan kredibel dan modern. Tidak salah jika saya mengusulkan kepada MPR yang memiliki mandat konstitusi untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan UUD 1945 berkaitan dengan sistematika dan teknis rumusan.

Merujuk pendapat Jimly (2021) sebagaimana dikutip dalam Webinar Syarah Konstitusi “Ngaji Pasal-Pasal UUD 1945” bahwa dilihat dari sisi sistematika dan rumusan UUD 1945 masih perlu diperbaiki terutama mengenai teknis penyusunan, dan bukan soal substansi materi konstitusi yang menjadi kewenangan mutlak MPR RI. Oleh sebab itu keberadaan Komisi Konstitusi yang bersifat mandiri penting untuk menyusun teknis sistematika UUD 1945.

Konstitusi dalam pembicaraan kita tentu saja terbatas pada konstitusi negara, yang merupakan kesatuan politik dari penduduk. Konstitusi dapat dipandang memuat sebagai segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar dan lainnya). Dalam arti demikian dikatakan bahwa konstitusi merupakan satu sistem norma yang tertutup (a closed system of norms), yang merujuk pada kondisi menyeluruh pada kesatuan dan tertib politik (complete condition of political unity and order). Definisi teksbook biasanya mengartikan konstitusi sebagai norma fundamental atau hukum dasar. Namun memandang konstitusi hanya sebatas aturan hukum yang memuat ketentuan tentang organisasi dan kekuasaan negara, secara empiris dan historis tidak benar. Pada dasarnya pembentukan konstitusi melalui proses kesepakatan (consensus) yang tidak mudah. Kesepakatan yang mengikat tersebut dibentuk melalui tukar-menukar pendapat yang memperhitungkan seluruh kepentingan yang terlibat yang dapat tertampung sebagai dasar dan tujuan yang hendak dituju. Oleh karena kesepakatan menjadi dasar dan hasilnya mengikat semua pihak, sering juga dikatakan bahwa konstitusi tersebut merupakan satu kontrak, yang mengikat semua pihak.

Menurut Muarar Siahaan (10/10/2015) dalam artikel yang dimuat blog warga negara, menjawab pertanyaan tentang apa yang dimuat oleh sebuah konstitusi, K.C. Wheare menyatakan bahwa sebuah konstitusi, pertama-tama merupakan dokumen hukum dan dimaksudkan untuk menyatakan hukum yang paling tinggi (supreme). Konstitusi harus membatasi diri hanya menyatakan aturan hukum, dan bukan pendapat, aspirasi, petunjuk dan kebijakan. Sebaliknya konstitusi modern memuat deklarasi hak-hak warga atau tujuan-tujuan politik atau tujuan pemerintah, yang tidak direduksi menjadi aturan-aturan hukum. Keberadaan sebuah konstitusi secara luas dilihat sebagai sebuah syarat yang perlu bagi demokrasi dan rule of law. Konstitusi karenanya merupakan pernyataan dasar dari sekelompok penduduk bersama-sama sebagai warga dari satu bangsa tertentu dan dipandang sebagai aturan dasar tentang norma dan nilai yang dimiliki bersama serta mereka setuju mengikatkan diri. Undang-Undang Dasar merupakan konstitusi sebagai satu naskah yang tertulis. Karena sifatnya yang tertulis, maka peran hukum yang tidak tertulis menjadi sangat penting dalam memberi makna dan arti terhadap teks tertentu dalam UUD tersebut yang kemungkinan membutuhkan pemahaman karena perjalanan waktu yang panjang saat UUD tersebut dirumuskan dan dituliskan dengan konteks saat norma dalam UUD tersebut diterapkan dalam kasus-kasus yang dihadapi.

*Penulis adalah Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment