Machmud Yunus, Soekarno, dan Cerita Gerilya

OPINI - Senin, 15 November 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Agustam Rachman*

Kisah ini merupakan seri tulisan untuk memperingati Hari Pahlawan 10 November 2021. Sebelumnya pada 2020 yang lalu saya (bersama Bung Emong Suwandi) menulis sosok Baba Lamsam pejuang berdarah Tionghoa asal Bengkulu.

Saya haturkan ribuan terima kasih pada keluarga besar Machmud Yunus atas seluruh bahan tulisan yang diberikan.

Terima kasih juga untuk Kang Hendi Jo (Penulis Buku Zaman Perang, diterbitkan: Mata Padi Pressindo, 2015) atas masukan dan sarannya terhadap draf awal tulisan ini.

Oia perlu kami tegaskan, walaupun kisah perjuangan gerilya dalam tulisan ini settingnya masuk wilayah Sumatera Selatan saat ini tetapi sebenarnya kisah gerilya itu mewakili wilayah Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan (pada awal kemerdekaan, Bengkulu dan Lampung masuk Provinsi Sumatera Bagian Selatan).

PENGANTAR

Zaman menjelang atau awal kemerdekaan banyak muncul pemuda pejuang dari Bengkulu yang dikemudian hari menjadi tokoh nasional dan loyalis Soekarno. Sebut saja misalnya Asmara Hadi Penyair, pejuang kemerdekaan yang pernah jadi Wakil Ketua DPRGR pada Kabinet Dwikora serta AM Hanafi mantan Dubes RI untuk Kuba.

Ternyata selain Kolonel Inf Zakaria Kamidan (Om Jack) dan Mayor Inf Nawawi Manaf (keduanya sering dihubung-hubungkan dengan pemberontakan PRRI) ada juga sosok lain dari Bengkulu yang berseberangan secara politik dengan Soekarno. Dia adalah Machmud Yunus. Tapi tidak banyak catatan tentang tokoh ini. Walaupun di mata keluarga dia adalah pribadi yang hangat dan tak jarang ia membuat masakan spesial untuk para cucunya tapi aktivitasnya di luar rumah sangat misterius dan terkesan tertutup.

MASA KECIL DAN ASAL-USULNYA

Machmud Yunus berasal keluarga muslim yang taat lahir dari pasangan Menoel dan Rama Inun di Desa Gunung Megang Kecamatan Padang Guci Kabupaten Bengkulu Selatan 27 Juli 1927. Dia memiliki 7 saudara kandung yaitu Roebin, Moekeri, Soelaiman, Arkan, Rustam Effendi, Susilawati, dan Boman dan 3 saudara tiri yaitu Kadri, Umi, dan Muhammad. Pendidikan formal Machmud Yunus adalah HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kota Manna Bengkulu Selatan, selain Machmud Yunus ada juga Ningsuwi dan Syafei keduanya anak depati yang juga bersekolah di HIS Manna. Selama sekolah di HIS dia menumpang di rumah Riva’i Wazir seorang yang menjabat Klerk Kontrolir.

Perhatian Menoel akan pentingnya pendidikan sangat besar. Tahun 1938 di Desa Gunung Megang sudah ada sekolah Muhammadiyah dan Tarbiyah (PERTI). Seorang guru yang bernama Marzuki asal Minangkabau sengaja didatangkan Menoel untuk mengajar di sekolah itu.

Menoel pernah menjadi juru tulis marga Kinal waktu pesirahnya dijabat Kianggun. Semangat anti penjajahan diwarisi Machmud Yunus dari Menoel ayahnya. Bayangkan, hanya 5 hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 hanya sekolah Muhammadiyah di Gunung Megang yang berani mengibarkan bendera merah putih. Sementara para kepala marga belum terlihat tanda-tanda menyambut berita proklamasi ini.

“Ketika mendapat berita proklamasi pagi pukul 09.00 WIB, langsung saya dan Marzuki mengibarkan bendera merah putih di halaman sekolah,” ujar Menoel bercerita pada Machmud Yunus.

JAMAN PERANG GERILYA

Saat Jepang datang, Machmud Yunus dikirim Jepang ke Lebong Tandai di Bengkulu Utara untuk ikut sekolah teknik atau lebih tepatnya kursus mesin sekaligus dipekerjakan di tambang emas Lebong Tandai.

Pada masa revolusi dia ikut terjun dalam perang lima hari lima malam di Palembang yaitu tanggal 1-5 Januari 1947 dilanjutkan dengan bergerilya di daerah Prabumulih dan ikut long march ke Muaradua OKU Selatan sampai Lampung. Machmud Yunus tergabung dalam kompi I di bawah Letnan Satu Sani Ja’far dan pernah juga tergabung dalam Resimen 17 Brigade Garuda Merah, pernah juga di bawah kesatuan pimpinan Mayor Dani Effendi. Dalam gerilya itu dia ikut mendirikan pemancar radio di Kota Pagar Alam.

“Selama gerilya saya memegang senjata Thompson dengan 121 peluru, sebelumnya saya megang Lewis bermagazine bundar serta Colt 36 cap kuda,” ujar Machmud Yunus pada cucunya Wawan Ridwan dengan bangganya.

Bekas luka karena terkena peluru di bahu kirinya, ketika bertempur melawan Belanda di Muara Enim Sumatera Selatan (tepatnya di antara Kertajaya dan Pendopo) menjadi bukti kecintaannya pada ibu pertiwi.

Perannya dalam perjuangan kemerdekaan diakui negara, dia tercatat sebagai veteran perang dengan nomor veteran 6.005.543, sebagaimana tertuang dalam SK Nomor: 925/VIII/1981 yang ditandatangani Laksamana Sudomo.

MASA KEMERDEKAAN

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda sebagai hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, lalu dia pindah ke Pulau Jawa. Walaupun sebelumnya dia tercatat pernah menjadi Ketua PSI (Partai Sosialis Indonesia) Bengkulu Selatan tapi tidak diketahui persis mulai kapan dan mengapa dia kemudian bisa masuk dalam lingkaran inti elit PSI. Beberapa kali Sumitro Joyohadikoesoemo sempat berkunjung ke rumah yang disewa Machmud Yunus di daerah Bondongan Bogor.

Kemampuan manajerial dan penguasaan bahasa asing (Belanda, Jepang, dan Inggris) menjadi pertimbangan Anak Agung Gde Agung Mendagri yang menjabat dari 20 Desember 1949 s.d 6 September 1950 memberi tugas khusus pada Machmud Yunus di Depdagri namun demikian dalam kesehariannya dia tidak pernah terlihat memakai baju dinas.

Tapi dinamika politik saat itu berubah, pasca Sutan Syahrir berhenti sebagai Perdana Menteri. Orang-orang PSI mulai tersingkir dari pemerintahan. Apalagi menghadapi kenyataan bahwa PSI kalah telak pada Pemilu 1955. Dari sinilah konflik orang-orang PSI dengan Soekarno makin meruncing, apalagi dalam pemberontakan PRRI, Masyumi, dan PSI menjadi tertuduh sebagai dalangnya.

Tahun 1962 ketika Syahrir, Prawoto, Soebadio, Sultan Hamid, dan Muhammad Roem di penjara di Madiun karena dituduh akan menggulingkan Soekarno, terpaksa Machmud Yunus untuk beberapa saat mengungsi sampai keluar negeri (Malaysia, Filipina bahkan sampai Selandia Baru) guna menghindari penangkapan. Karena tempat persembunyian orang-orang PSI di Cimahi dan Dawuhan Cikampek dirasa tidak aman.

Namun demikian, sebagai orang politik, bagi Machmud Yunus soal penangkapan dan penahanan merupakan hal biasa. Dia pernah ditahan CPM (Corp Polisi Militer) di Palembang 35 hari, bersama Wedana Ail, Wedana Abdullah, dan Wedana Gani pernah juga ditahan CPM di Kota Lahat 14 hari karena dituduh akan mengkudeta pemerintahan di Bengkulu Selatan, ditahan polisi di Bogor selama 7 hari, diinterogasi polisi di Tais Seluma karena mengungkap dugaan korupsi dan terakhir ditahan polisi di Bandung selama 3 bulan karena mengungkap korupsi bantuan luar negeri.

Peristiwa 1965, berakhir dengan tergulingnya Soekarno di mana Machmud Yunus berada di belakang gerakan Mahasiswa, beberapa kali Soe Hok Gie tokoh demonstran angkatan 66 yang legendaris itu menemui Machmud Yunus di Bogor selama periode tahun 1965-1966. Nama Soe banyak disebut dalam catatan harian Machmud Yunus termasuk tanggal kematiannya di puncak Semeru 16 Desember 1969.

“Yang saya ingat Soe Hok Gie jarang senyum, gaya bicaranya berapi-api sambil tangannya bergerak-gerak memutar, fisiknya biasa saja, hidungnya besar, yang pasti tidak setampan Nicholas Saputra dalam film Gie,” ujar Ida Etikawati sambil tertawa. Waktu itu Ida Berumur 13 tahun, dia anak kedua Machmud Yunus.

Lain lagi cerita Ria Suminar anak ke-4 Machmud Yunus, dia ternyata pengagum berat Soe Hok Gie “Melalui pendidikan yang berat di tengah hutan belantara akhirnya saya dinyatakan lulus sebagai anggota Kampala (Pencinta Alam tertua di Universitas Bengkulu) tahun 1984, tekad saya kuat meski prosesnya sangat berat sebab saya terinspirasi Soe Hok Gie, pendaki gunung sejati yang sering diceritakan ayah,” ujarnya dalam wawancara Agustus lalu.

Sebenarnya bukan hanya Soe Hok Gie yang sering disebut oleh Machmud Yunus sebagai sosok yang banyak memberikan sumbangsih pada bangsa. Dalam catatan hariannya dia menyebut pula banyak figur keturunan Tionghoa yang mengharumkan nama bangsa, misalnya Tan Joe Hoek (Hendra Kartanegara pemain bulu tangkis tahun 1950-an), Phoa Sian Loang (Januar Pribadi pemain bola kaki tahun 1950-an), dan Kristoforus Sindhunata (Ong Tjong Hay Tokoh Pembauran Keturunan Tionghoa di Indonesia). Hal ini membuktikan bahwa perspektif ke-Indonesia-an Machmud Yunus tidak dibatasi sekat suku dan agama.

Di awal Orde Baru hubungan PSI dengan Soeharto sangat dekat, beberapa tokoh PSI yang sempat “buron” keluar negeri karena peristiwa PRRI diangkat jadi menteri misalnya Soemitro Joyohadikoesumo.

Karena Machmud Yunus dipandang menguasai ilmu intelijen karena pernah bertugas di Seksi PMC/Penyidik Militer Chusus/Intel di bawah Letnan Muda Mohtar Yara di Palembang, (sumber lain menyebutkan bahwa dia alumni pertama pendidikan intelijen di Pulau Saipan Filipina tahun 1952 kerja sama Indonesia-CIA) dia mendapat tugas khusus dan berat, dia dikirim ke Lembah Baliem Irian Jaya (sekarang Papua) untuk mempersiapkan Papera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 dengan target supaya Papua tetap menjadi bagian NKRI.

Tapi hubungan mesra orang PSI dengan Soeharto jugo mengalami pasang surut, Mochtar Lubis pemilik koran Indonesia Raya gencar menyorot isu korupsi pada pemerintahan Orde Baru ditambah lagi koran Indonesia Raya dituduh bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan Malari anti modal asing 15 Januari 1974.

Akibatnya, pada 22 Januari 1974 terjadi pembredelan koran Indonesia Raya oleh Soeharto, disusul dengan penangkapan terhadap Mochtar Lubis, saat itu Machmud Yunus juga diburu aparat karena dianggap “komplotan” Mochtar Lubis.

Setelah peristiwa itu banyak orang PSI yang ‘tiarap’ termasuk Machmud Yunus, dia memindahkan keluarganya dari Bogor ke Bengkulu tepatnya di Desa Karang Tinggi Bengkulu Tengah, membangun rumah kecil di lahan 2 hektare yang berisi tanaman kopi dan buah-buahan ditemani Chadijah sang istri tercinta yang dinikahinya tahun 1949. Turut serta anak-anaknya yaitu Mitha Rahmasuri, Ria Suminar, Lis Amalia, Shinta Sukmawati. Sementara Ida Etikawati dan Susi Wijaya memilih tetap di Bogor. Tak ketinggalan 1.000 lebih koleksi bukunya juga turut dibawa.

Meskipun sudah pindah ke Bengkulu tapi dia sering berpergian keluar kota seperti Palembang, Jakarta, dan Lampung namun anak-anaknya tidak tahu persis apa yang dikerjakannya.

Jika sedang berada di Bengkulu, hampir setiap bulan Machmud Yunus berkirim surat pada anak cucunya di Bogor termasuk menceritakan kesedihannya ketika anjing kesayangannya yang bernama King mati ditabrak mobil serta Panda dan Rambo yang mati keracunan, untunglah anaknya yang lucu-lucu yang diberinya nama Molly, Coreng, dan Maru dapat diselamatkan.

Sikap humanis Machmud Yunus sangat menonjol, waktu masih dinas di Depdagri dia mendapat jatah 60 liter beras per bulan. Tapi seringkali yang sampai ke rumah pribadinya di Jalan Pahlawan Gang Masjid Bogor Selatan hanya 10 liter sebab sepanjang gang, beras itu dia bagi-bagikan ke tetangga yang membutuhkan.

“Akibatnya kami sering makan bubur nasi untuk menghemat beras,” ujar Ida Etikawati.

“Tapi kami senang sebab ayah mengajarkan bagaimana praktik peduli pada sesama,” sambungnya.

Meskipun kebanyakan orang PSI kritis terhadap Soekarno karena alasan ideologis (karena Soekarno terlalu dekat dengan PKI) tapi bukan berarti dia memusuhi semua kelompok Soekarno, di sisi lain Machmud Yunus bergaul akrab dengan banyak tokoh PNI, salah-satunya dengan Burhanuddin mantan Sekretaris Umum PNI tahun 1933 yang pernah dibuang Belanda ke Digul tahun 1935.

Sampai sekarang buku berjudul Mindia, The Son Of Hogay dan buku berjudul Who The Steel Was Tempered berisi Sejarah Revolusi Bolshevik, 25 Oktober 1917 di Rusia, pemberian Burhanuddin masih tersimpan rapi di rumah Ida Etikawati di Kota Argamakmur Bengkulu Utara.

Suatu senja awal Mei 1996 atau sebulan sebelum meninggal, Machmud Yunus yang menderita bronkitis akut dikunjungi kawan-kawan seperjuangannya sesama veteran. Di antaranya Buchari, Rustam Bahar, dan Djapri Djaya.

Dikunjungi rekannya sesama pejuang, Machmud Yunus, yang sebelumnya nampak lemah, tiba-tiba terlihat bersemangat.

Mereka bernostalgia masa revolusi. Termasuk tertawa lepas, teringat cerita konyol Letnan Muda Raden Heh yang semalaman sembunyi di rawa yang dalamnya sebatas leher ketika pecah perang di dekat Prabumulih, padahal Letnan Muda Raden Heh sesumbar sebagai orang paling berani sedunia.

“Kalau saya meninggal jangan dimakamkan di makam pahlawan. Saya ingin dimakamkan sebagai rakyat biasa,” tiba-tiba Machmud Yunus berucap, seketika teman-temannya terdiam. Karena sebagai sesama Pejuang, mereka sangat berharap Machmud Yunus kembali sehat seperti sediakala.

Subuh, pukul 04.15 WIB tanggal 2 Juni 1996 dia memenuhi janjinya kembali ke pangkuan Ilahi. Dia berpulang dengan tenang, dia tidak meninggalkan harta yang melimpah, tanah ribuan hektare atau saham dibanyak perusahaan. Dia meninggalkan pesan bahwa “berpolitik bukan semata-mata untuk berkuasa tapi untuk mencerdaskan rakyat,” sebagaimana prinsip orang PSI pada umumnya.

Selama 24 tahun dia bermakam di sebuah bukit kecil di seberang rumahnya, tahun 2020 yang lalu atas pertimbangan keluarga supaya dekat untuk diziarahi, makamnya dipindahkan ke TPU Sinabung, RT 21 Kelurahan Kandang Mas Kota Bengkulu.

Selamat Hari Pahlawan !!!

*Penulis adalah Pemerhati Sejarah, pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dan alumni Studi Konflik dan Perdamaian UKDW Yogyakarta, saat ini menetap di Yogyakarta.

Bahan bacaan dan sumber tulisan:

1. Soe Hok Gie, Sekali lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, KPG, UI, ILUNI UI dan Kompas, 2009.
2. Imran Hasibuan dkk, Hariman dan Malari, Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing, Q-Communication, Jakarta, 2011.
3. Drs. H. Suwandi, Napak Tilas, Jejak Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya, Yayasan Perjuangan Subkoss Garuda Sriwijaya, 2005.
4. Feris Yuarsa, Mohamad Isa, Pejuang Kemerdekaan yang Visioner, Gramedia Pustaka Utama, 2016.
5. Reni Nuryanti, Perempuan Minang di Masa Dewan Banteng dan PRRI, Tiara Wacana, 2011.
6. Barbara Sillars Harvey, Permesta, Grafiti Pers, 1984.
7. Soebadio Sastrosatomo, Perjuangan Revolusi, Pustaka Sinar Harapan, 1987.
8. Mengenang Syahrir, PT Gramedia, Soejatmoko dan Panitia Penerbitan,1980.
9. Sukarno, Paradoks Revolusi Indonesia, KPG-Tempo, 2010.
10. Ken Conboy, Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Pustaka Primatama, 2007.
11. Hendi Jo, Zaman Perang, Mata Padi Pressindo, 2015.
12.Catatan Harian Machmud Yunus 157 halaman folio (tidak diterbitkan).
13. Surat-Surat Pribadi Machmud Yunus (tidak diterbitkan).
14. Wawancara dengan Ida Etikawati, Ria Suminar (anak) dan Wawan Ridwan (cucu) Machmud Yunus di Bengkulu.
15. Wawancara dengan Teddy Wibisana, Aktifis 80-an menetap di Bogor.

BACA LAINNYA


Leave a comment