Literasi Keluarga dan Keterlibatan Aktif Masyarakat: Lentera bagi Penderita Disleksia

LITERASI - Selasa, 18 Juni 2019

Konten ini di Produksi Oleh :

by J. Ernawanti Tampubolon*

Dengan badan menggigil, seorang anak laki-laki berumur 7 tahun mencoba berkonsentrasi membaca buku yang sedang dipegangnya. Ia begitu gugup dan hampir frustrasi karena setelah membaca ternyata ia tidak bisa mengingat apa yang dibacanya. Sang guru yang mengetahui kesulitan anak ini malah memintanya untuk mengikuti kelas remedial membaca yang sangat tidak disukainya. Siapa yang menyangka bahwa anak laki-laki itu ialah Tom Cruise, yang puluhan tahun kemudian menjadi seorang aktor dan produser ternama Hollywood.

Apa yang dialami Tom Cruise kecil tersebut belakangan dikenal dengan disleksia. Tom Cruise tidak sendiri, ada sekitar 5 sampai 10% anak dari seluruh dunia yang menderita disleksia. Dengan jumlah anak sekolah di Indonesia sekitar 50 juta, diperkirakan 5 juta di antaranya adalah penderita disleksia. Disleksia yang berasal dari bahasa Yunani, yakni dys (kesulitan) dan lexia (kata-kata) merupakan gangguan yang mempengaruhi pengembangan keterampilan literasi dan bahasa. Disleksia merupakan kerusakan parah dalam kemampuan membaca dan mengeja. Menurut John W. Santrock dalam bukunya Psikologi Pendidikan, anak yang menderita gangguan belajar sering kali sulit menulis dengan tangan, mengeja atau menyusun kalimat. Mereka kadang menulis dengan sangat lambat, tulisan tangannya buruk sekali karena ketidakmampuan mereka untuk menyesuaikan huruf dengan bunyinya.

Selain itu, dalam sebuah artikel yang saya baca dari Indonesian Pediatric Society yang ditulis pada tanggal 24 Juni 2017, dikatakan bahwa penderita disleksia sulit menegenali dan membedakan kata-kata yang memiliki persamaan bunyi dan melafalkan kata-kata seperti kata “pesawat” menjadi “sepawat”. Mereka juga bingung membedakan beberapa bunyi huruf dan bentuk huruf misalnya “b” dengan “p” atau “m” dengan “n”. Teori ini semakin meyakinkan saya ketika ada sebuah film India yang terkenal berjudul “Taare Zamen Par” yang mengangkat kisah seorang anak penderita disleksia dengan diagnosa yang sama.

Sayangnya, pandangan bahwa penderita disleksi memiliki tingkat kecerdasan intelektual di bawah rata-rata adalah lamban dan bodoh terlanjur melekat di benak keluarga dan para pelaku pendidikan dasar di Indonesia. Padahal pandangan itu adalah salah besar karena penderita disleksia tidak bermasalah dengan kecerdasan, ada banyak di antara mereka yang memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata dan berbakat.

Beberapa tahun yang lalu, saya memiliki seorang murid yang memiliki ciri-ciri penderita disleksia. Ketika saya mengkomunikasikan ini keluarga. Sayangnya, mereka mengabaikan apa yang saya katakan dan menyalahkan si anak sebagai anak kurang belajar, pemalas, dan tidak disiplin. Dengan nada ancaman mereka bahkan mengatakan akan mengirimkan anaknya itu ke sekolah berasrama supaya dididik keras. Orang tua ini menolak mentah-mentah saran saya untuk rutin mendampingi anaknya membaca di rumah. Itulah mengapa penerimaan adalah hal yang paling mendasar dalam menolong penderita disleksia. Menerima bahwa disleksia tidak dapat disembuhkan tapi dapat diatasi, menerima bahwa anak dapat belajar normal walaupun dengan cara yang berbeda. Keluarga yang menutup mata dan tidak menerima bahwa anaknya mengalami gangguan belajar akan membuat banyak waktu terbuang percuma karena dihabiskan untuk menyalahkan anak. Dampaknya adalah penderita disleksia dapat menjadi frustrasi, gagal sekolah, dan memiliki penerimaan diri yang rendah. Peranan orang tua untuk memotivasi dan membangkitkan semangat adalah bentuk penerimaan yang sangat penting untuk menolong penderita disleksia ini. Kisah penderita disleksia, Albert Einstein dan Thomas Alva Edison bisa menjadi referensi bagi orang tua untuk membangkitkan semangat anak untuk melewati kesulitan mereka.

Setelah penerimaan, muncullah tindakan pertolongan. Pertolongan pertama dan terutama bagi penderita disleksia adalah literasi keluarga dan ditopang oleh masyarakat sehingga masalah disleksia ini diatasi secara tanggap dan serius. Ada beberapa literasi keluarga praktis yang dapat dilakukan untuk dapat menolong anak seperti membacakan buku kepada penderita disleksia sesering mungkin agar kosa kata, pelafalan kata yang benar dan tanda baca berkembang dengan baik. Keuntungan lain yang didapat dari membacakan buku sesering mungkin akan menolong anak untuk menikmati membaca tanpa tekanan dan anak dapat memilih buku apa yang ingin dibacakan untuknya.

Cara praktis lainnya yang sering dikenal dengan Paired Reading atau Partner reading di mana orang tua dan anak berganti-gantian membaca buku yang disukai oleh sang anak. Tidak perlu memaksa anak apabila tidak siap untuk melakukan metode ini, bimbinglah dengan sabar sehingga minat untuk membaca semakin meningkat. Literasi keluarga berikutnya yang dapat dilakukan adalah menjadikan rumah sebagai buku terbuka. Dinding rumah dan kamar hendaknya dihiasi dengan poster atau gambar yang memiliki tulisan bermakna yang mudah dimengerti. Ketika penderita disleksia melihat gambar dengan tulisan itu berulang kali, proses belajarnya dapat berjalan lebih cepat.

Penopang literasi keluarga adalah masyarakat. Penyuluhan kepada orang tua dan guru di sekolah, desa, kota dan di mana saja diharapkan dapat membukakan cakrawala orang tua tentang literasi keluarga bagi penderita disleksia dan cara mengatasinya. Banyak keluarga yang tidak memahami disleksia sehingga terpaku pada pola pikir bahwa hasil belajar yang rendah disebabkan ketidakdisiplinan anak.

Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI) menjadi salah satu hasil dari kepedulian masyarakat terhadap disleksia. Asosiasi ini didirikan pada tahun 2009 dan telah memiliki cabang di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu tujuan dari ADI sebagaimana tertera di website mereka di www.asosiasidisleksiaindonesia.com adalah untuk meningkatkan pemahaman orang tua mengenai disleksia agar potensi akademik penyandang disleksia dapat berkembang optimal. Dari website itu orang tua akan diberikan berbagai metode untuk memperkaya literasi keluarga dan dapat juga mengikuti program keluarga yang mereka adakan seperti Parenting Class dan Parent and Children Class.

Bentuk peranan masyarakat yang lain adalah menulis buku ramah disleksia. Buku yang mudah diakses dan murah menjadi sesuatu yang sulit didapatkan sekarang ini. Beberapa waktu lalu, saya tertarik membeli buku cerita bergambar untuk keponakan saya, buku yang cukup sederhana itu membuat saya merogoh kocek Rp150.000. Bagaimanakah mungkin keluarga pedalaman dapat memberi literasi kepada anaknya apabila buku cerita bergambar sebegitu mahal? Para penulis yang notabene adalah bagian dari masyarakat luas perlu memikirkan buku ramah disleksia yang murah dan dapat diakses hingga ke desa-desa bahkan pedalaman untuk mendukung literasi keluarga ini.

Akhirnya, literasi keluarga dan keterlibatan aktif masyarakat akan menjadi lentera bagi penderita disleksia menuju masa depan yang gemilang sebab setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi seperti diamanatkan UUD 1945 pasal 28b ayat 2.

*Penulis adalah seorang Pendidik

BACA LAINNYA


Leave a comment