Lahan Korpri Bukan Milik Pemkot? Penerapan Pasal Tipikor Salah Kaprah

NEWS - Senin, 21 Desember 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

GARUDA DAILY – Penerapan pasal 2 atau 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada kasus dugaan aset berupa tanah seluas 8,5 hektare di Jalan Korpri Raya RT 14 RW 04 Kelurahan Bentiring Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu dinilai salah kaprah dan janggal.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Elektison Somi, jika tidak ada bukti kepemilikan Pemkot Bengkulu terhadap tanah tersebut dalam bentuk sertifikat, Aparat Penegak Hukum (APH) tidak berhak menerapkan pasal tersebut yang didakwakan kepada Direktur PT Tiga Putra Mandiri Bengkulu.

“Karena untuk membuktikan bahwa pemkot memiliki aset tersebut haruslah memiliki alas hak yang terkuat dan terpenuhi status hukumnya, dalam hal ini sertifikat tanah. Maka kemudian baru APH bisa menerapkan pasal 2 atau 3 UU Tipikor dengan syarat terpenuhinya kerugian negara, jika tidak terbukti merugikan negara maka pasal tersebut tidak dapat diterapkan,” ujar Elektison, Senin, 21 Desember 2020.

Sertifikat tanah menjadi alas hak terhadap suatu objek, sehingga Pengadilan Tipikor harus terlebih dahulu melakukan identifikasi apakah objek barang atau jasa tersebut milik daerah atau tidak.

“Identifikasi harus dimulai dari aktivitas pengadaan, pelaporan, dan penatausahaan yang dilakukan oleh Pemkot Bengkulu, jika ternyata ada kekeliruan tidak melakukan tindakan penatausahaan maka selesaikan dulu tindakan penatausahaan oleh PTUN,” tutur Elektison.

Dia pun mempertanyakan apa yang mendasari kasus penjualan aset tersebut merupakan tindak pidana korupsi, sebab penetapan tindak pidana korupsi bisa dilakukan jika ada kerugian negara.

“Kalau ini langsung dibawa ke tindak pidana korupsi maka apa dasarnya? Pengadilan Tipikor tidak memiliki kewenangan untuk menilai sertifikat tersebut sah atau tidak sah, karena dalam posisi hukum, pengadilan punya batasan atau kompetensinya masing-masing,” tambah Elektison.

Sementara PT Tiga Putra Mandiri memiliki sertifikat tanah secara resmi, lanjutnya, sehingga sepanjang alas haknya dimiliki oleh orang yang bersangkutan dan itu belum dicabut dan dibatalkan maka tipikor tidak dapat diterapkan kepada yang bersangkutan.

“Tetapi kepada pihak-pihak yang lain dimungkinkan dapat menjadi tersangka, khususnya pihak yang melakukan pengadaan tanah di sana, dan harusnya dapat dimintai pertanggungjawaban (tim pengadaan,red),” tukas Elektison.

Lebih jauh dijelaskan Elektison, mekanisme pengadaan barang atau jasa seperti tanah oleh pemerintah daerah diatur dalam peraturan presiden.

“Pada tahap awal sebelum pengadaan, terlebih dahulu dilakukan sistem perencanaan, setelah direncanakan maka SKPD terkait akan menyampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bengkulu, yang kemudian disahkan dan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), setelah teranggarkan dalam APBD, baru bisa dilakukan tahapan pengadaan,” jelasnya.

Setiap pengadaan barang dan jasa wajib diikuti dengan tindakan pelaporan dan penatausahaan.

“Harus dilihat ada atau tidak laporan terhadap aktivitas pengadaan barang dan jasa tersebut, kemudian ada tidak aktivitas penatausahaan pengadaan barang dan jasa tersebut, apabila pengadaan barang dan jasa tersebut menghasilkan aset milik daerah, maka barang milik daerah tersebut wajib dilaporkan, maka selanjutnya muncullah aktivitas penatausahaan,” terangnya.

Pada kasus dugaan penjualan aset pemkot yang sudah masuk tahap persidangan di Pengadilan Negeri Bengkulu ini, Elektison menuturkan, jika tanah yang telah diadakan oleh pemkot belum dilaporkan, dan belum masuk dalam proses penatausahaan atau pembukuan sebagai barang milik daerah, maka tentu menjadi pertanyaan besar.

“Jangan-jangan barang tersebut bukan barang milik daerah atau bisa jadi tim pengadaan melakukan kesalahan yaitu tidak melaporkan dan tidak dilanjuti dengan penatausahaan, karena sebelum ada penatausahaan, maka barang tersebut itu tidak dapat dianggap sebagai barang milik daerah,” pungkasnya. (Red)

BACA LAINNYA


Leave a comment