Kemenangan Biden, Redakan Konflik Identitas dan Rasisme di Indonesia (Sebuah Analisis)

LITERASI - Minggu, 8 November 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Dosen Pengampu MK Hukum Internasional Prodi PPKn UMB Elfahmi Lubis*

Joe Biden dipastikan melenggang ke Gedung Putih dengan 290 suara elektoral yang diraihnya sejauh ini di Pilpres AS (Pemilihan Presiden Amerika Serikat), mengakhiri kepemimpinan 4 tahun Donald Trump.

Trump belum berkomentar tentang hasil ini, tetapi petahana dari Partai Republik itu sudah berulang kali menyebut adanya kecurangan dan mengklaim dia yang menang, tapi pernyataannya tidak berdasarkan bukti.

Kemenangan Biden dalam Pilpres AS telah memberikan perubahan arah dan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Jika dalam kepemimpinan Trump, hubungan Indonesia-AS masih sering diwarnai ketegangan sebagai akibat kebijakan Trump yang racism dan “Anti Islam”.

Maka, di bawah kepemimpinan Biden, AS akan menampilkan gaya yang lebih soft dalam kebijakan politik luar negerinya. Kehadiran Biden, juga sedikit banyak akan mengurangi politik identitas dan hegemoni mayoritas di Indonesia.

Tanpa kita sadari gaya politik Trump yang selalu menggumbar sentimen rasialis dan anti Islam dalam kebijakan politik dalam negerinya, ikut menguatnya politik identitas dan memburuknya hubungan antara negara dan Islam di Indonesia.

Walaupun dalam banyak hal, kebijakan politik luar negeri Indonesia cenderung berkiblat ke “Beijing”. Hubungan “mesra” Indonesia-Beijing juga telah menyebabkan hubungan Indonesia-AS di bawah kepemimpinan Trump sedikit kurang harmonis.

Kemenangan Biden dalam Pilpres AS, sebenarnya kemenangan demokrasi atas chuvanisme/ultra nasionalisme yang diusung Trump. Selama Trump menjadi Presiden AS beberapa kali negara Paman Sam tersebut nyaris terlibat dalam “perang saudara”.

Tragedi kematian George Floyd warga kulit hitam oleh polisi, telah menimbulkan gelombang dan kerusuhan besar-besaran dalam sejarah AS pasca berakhirnya politik apartheid. Sentimen rasialis yang dimainkan Trump dalam gaya politiknya selama ini, telah ikut memberikan angin segar bagi kelompok-kelompok rasis di belahan dunia lain untuk ikut-ikutan “memainkan” isu ini, baik untuk kepentingan politik kelompoknya maupun sebagai gerakan politik untuk melawan negara.

Dalam sejarah politik AS, Partai Demokrat memiliki garis politik yang lebih soft dan mengedepankan cara-cara diplomasi dalam menyelesaikan konflik internasional yang berhubungan langsung dengan kepentingan AS.

Di bawah Biden kita berharap konflik nuklir Korea Utara, masalah Palestina-Israel, dan ketegangan China-AS terkait persaingan ekonomi dan politik (terkait konflik Laut China Selatan) akan menemukan peta jalan damai yang saling menguntungkan. Ketegangan internasional juga diharapkan lebih “adem” dan menyejukkan.

Saya juga memprediksikan hubungan AS dan Rusia akan lebih mesra di bawah kepemimpinan Biden, sehingga ketegangan ambisi merebut tahta dan kuasa antara AS dan Rusia dalam politik internasional akan mereda. Apalagi selama Trump, hubungan AS dan Rusia sempat berapa kali memanas dan mengarah pada konflik bersenjata, sebagai akibat tuduhan Trump kepada Putin yang “bermain” dalam Pilpres AS ketika Trump mengalahkan Hillary Clinton 4 tahun lalu.

*Penulis adalah Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment