Jika Dirugikan Oleh PKPU, Ada Banyak Pilihan Mekanisme Penyelesaian Hukum Yang Tersedia

LITERASI - Rabu, 9 September 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh: Elfahmi Lubis*

Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki tata urutan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. UUD NRI Tahun 1945
2. Ketetetapan MPR
3. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Propinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Bagaimana kedudukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam sistem hukum Indonesia?

Jika merujuk pada ketentuan di atas, maka PKPU tidak tercatat dalam ketentuan tentang hierarki peraturan perundang-undangan. Soalnya, tidak ada frasa “Peraturan KPU” di dalamnya. Namun jika merujuk pada ketentuan lain masih dalam UU ini bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dengan demikian PKPU termasuk sebagai peraturan perundang-undangan yang sah.

Jika kepentingan warga negara dan institusi dirugikan oleh ketentuan PKPU apa yang harus dilakukan?

Judicial Review ke Mahkamah Agung

Jika ada warga negara atau institusi yang merasa kepentingan hukumnya dirugikan oleh PKPU, maka upaya “perlawanan” hukum yang dapat dilakukan dengan cara mengajukan JUDICIAL REVIEW ke Mahkamah Agung, karena MA yang memiliki kompetensi/kewenangan absolut untuk menguji peraturan di bawah UU. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.”

Selanjutnya, Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”

Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No 15 tahun 2019, yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Lebih spesifik terkait pengujian PKPU terhadap Undang-Undang, Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa: “Dalam hal Peraturan KPU bertentangan dengan UU diatasnya, MA yang berwenang mengujinya.

Bagaimana Kalau Meminta Fatwa MA?

Fatwa Mahkamah Agung berisi pendapat hukum MA yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Dalam praktiknya, orang perorang juga ada yang meminta fatwa MA terkait dengan masalah perbedaan penafsiran terhadap suatu ketentuan. Dasar hukum Fatwa MA ini adalah sebagaimana disebut dalam Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini. Menurut Bagir Manan (mantan Ketua MA) sebagaimana dikutip dalam konsultasi klinik hukum online menjelaskan bahwa Fatwa MA diputuskan bersama sejumlah hakim agung yang dipimpin Ketua MA langsung. Bagir menuturkan bahwa fatwa MA tidak mengikat dan tidak mempunyai mekanisme apa-apa agar dilaksanakan oleh pihak-pihak yang “berperkara”. Fatwa MA bukan putusan pengadilan, sebab itu kekuatan hukumnya bersifat etik semata-mata.

Menurut Pasal 201A Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang menjelaskan, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142.

Ayat berikutnya menyebutkan, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya laporan atau temuan.

Ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menerangkan, sengketa Pemilihan meliputi sengketa antar peserta Pemilihan dan sengketa antara peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, dalam Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota dijelaskan, bahwa yang menjadi obyek sengketa Pilkada ada dua, yakni keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan Berita Acara KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Pihak yang menjadi pemohon dalam sengketa antara peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan, yaitu bakal pasangan calon dan pasangan calon. Adapun yang menjadi termohon adalah KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai pihak yang mengeluarkan Surat Keputusan atau Berita Acara. Sebagaimana dikutip dari Moh. Syahirul Alim (23/03/2020).

Permohonan penyelesaian sengketa Pilkada, diajukan paling lama tiga hari kerja terhitung sejak obyek sengketa ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Dalam menyelesaikan sengketa Pilkada, ada dua tahapan yang bisa dilakukan, yaitu melalui musyawarah secara tertutup dan terbuka. Jika dalam musyawarah secara tertutup para pihak tidak mencapai kesepakatan, Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota melanjutkan ke tahapan musyawarah secara terbuka.

Untuk diketahui, dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2020, ada beberapa tahapan yang mempunyai potensi munculnya sengketa antara peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan. Tahapan itu adalah:
1. Pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan
2. Tahapan penetapan pasangan calon
3. Tahapan kampanye

Selain mengajukan gugatan atas keputusan KPU bisa juga dilakukan melalui gugatan ke PTUN. Untuk itu terkait dengan polemik soal aturan KPU soal persyaratan calon tersedia banyak “perlawanan” hukum yang bisa ditempuh oleh siapa saja yang merasa dirugikan kepentingan hukumnya. Semoga mencerahkan bagi kita semua. Salam Pilkada Damai!

*Penulis adalah Akademisi/Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bengkulu

BACA LAINNYA


Leave a comment