Jangan Pertaruhkan Suara Dengan ‘Wajah Baru’

LITERASI - Senin, 3 Februari 2020

Konten ini di Produksi Oleh :

Ilustrasi

Kita menyukai sesuatu yang simetris karena hal ini merepresentasikan keteraturan, kata Alan Lightman, seorang ahli fisika terkemuka. Manusia dalam alam bawah sadarnya menginginkan alam semesta yang kita tempati ini teratur. Ada kepuasan emosional yang diraih manusia saat menciptakan sesuatu yang teratur, pekerjaan yang mapan dengan gaji yang tetap, pakaian yang bersih atau rumah yang tertata dengan rapi adalah kepuasan tersendiri.

Penulis berpendapat, filosofi ini mengajari kita tentang pentingnya keteraturan sebagai asupan emosi untuk mencapai tingkat tertinggi kepuasan manusia. Pertanyaannya, apa relevansinya dengan perhelatan pilkada yang akan digelar tahun 2020?

Merujuk pendapat Ramlan (1992: 181) pilkada sebagai sebuah mekanisme penyeleksian serta pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Pendapat tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa pilkada adalah tata kelola bernegara yang didefinisikan secara regulatif sebagai cara yang sah untuk menduduki kekuasaan dalam sistem pemerintahan yang kita anut.

Teknisnya dilaksanakan oleh KPU, dipilih oleh pemilih, diikuti calon yang sah, diajukan oleh parpol atau perseorangan, dan aparat penegak hukum selaku pengadil apabila ditemukan kekeliruan. Tujuan besarnya adalah menghasilkan pemimpin yang adil dan mampu mensejahterakan rakyat. Demikian pula pemimpin yang dalam hal ini adalah kepala daerah mempunyai kateraturan hukum yang sistematis.

Kepala daerah berhak mendapat penghargaan (honor) apabila ia mampu menjalankan amanat undang-undang dan sebaliknya akan berdampak hukum apabila dilanggar. Misalnya, dalam menjalankan wewenang tata kelola birokrasi, kepala daerah wajib taat Undang-Undang ASN, tidak boleh dilakukan sesuai selera. Mutasi harus sesuai peraturan pemerintah, pemberian sanksi dan reward juga harus berdasarkan aturan. Sama halnya dengan tata kelola anggaran.

Kebijakan anggaran harus melalui persetujuan DPRD sesuai dengan amanat undang-undang. Kepala daerah boleh saja membuat program yang mungkin bertujuan untuk kepentingan rakyat maupun politik dirinya, namun wajib disetujui dan disahkan DPRD agar keteraturan terpenuhi, demikian juga pembangunan. Mekanisme perencanaan boleh saja ada di kepala sang kepala daerah, namun eksekusi tetap melalui OPD yang telah diatur sesuai ketentuan undang-undang.

Sistematika inilah yang kemudian dapat dikonversi dengan pendapat Alan Lightman tentang simetris/keteraturan dalam ilmu fisika. Bahwa pilkada adalah bagian dari sistem tata kelola bernegara yang telah diatur sedemikian rupa untuk memproduksi pemimpin guna mencapai tujuan bernegara dan kesejahteraan rakyat.

Petahana dan Keteraturan

Ekspektasi keteraturan hanya dapat dimunculkan apabila ada jaminan kecukupan waktu (periodeisasi jabatan) bagi seorang pemimpin yang tadi dimaknai sebagai kepala pemerintahan. Sebab tidak mungkin ada keteraturan berkelanjutan apabila suatu sistem pemerintahan daerah yang kompleks dibatasi oleh waktu 5 tahun saja. Sistem pemerintahan daerah yang baik hanya dapat diwujudkan dengan periodeisasi jabatan yang cukup. Walaupun sebagian dari kita menginginkan pemimpin yang mampu membuat perubahan secara instan.

Pendapat ini tidak bermaksud menggugat Undang-Undang Pilkada yang mengatur tentang 5 tahun dalam satu periode kepala daerah. Namun ada ruang negoisasi yang harus diasumsikan sebagai pentingnya kecukupan waktu dalam memimpin sebuah pemerintahan daerah. Undang-Undang Pilkada mengamanatkan kepala daerah boleh mencalonkan diri 2 periode (memimpin 10 tahun), ini adalah pesan psikologis yang lupa kita maknai, bahwasanya 5 tahun dalam periode kepemimpinan kepala daerah tidaklah cukup.

Namun, perumus Undang-Undang Pilkada tidak mungkin men-teks pesan tersebut dalam bentuk ayat mapun pasal karena akan memancing kebangkitan otoriterianisme dan pastilah dicap anti demokrasi. Bahkan lebih kejam dapat didemonstrasikan sebagai ‘pembunuhan’ terhadap regenerasi kepemimpinan.

Di sinilah titik temu antara calon petahana dengan keberlangsungan keteraturan pemerintah daerah. Calon petahana satu-satunya kandidat yang dapat digadaikan sebagai jaminan keberlangsungan sistem tata kelola pemerintahan lima tahun lalu. Calon petahana telah memiliki koneksi yang sinkron dengan sistem birokrasi yang ada, sedangkan ‘muka baru’ apabila terpilih masih butuh waktu untuk bersinergi dengan sistem birokrasi.

Sederhana saja, kepala daerah ‘muka baru’ setidaknya butuh waktu untuk sekedar bersalaman dengan para pimpinan OPD sebagai simbol pengenalan diri. Berbeda dengan petahana yang telah lebih dulu terkomunikasi dengan baik dengan OPD. Rasionalisasi inilah yang kemudian memberikan garansi moral petahana tidak mungkin bermasalah pada tataran eksekusi program, apalagi kesalahan koordinasi karena itu telah selesai sebelumnya.

Seorang kepala daerah harus mengkoordinasikan diri secara berjenjang dengan pemerintah di atasnya agar anggaran dan program berjalan. Membangun jejaring dengan aparat pengak hukum untuk jaminan pelaksanaan program tidak bermasalah. Kepala daerah juga dituntut untuk sinergi dengan pelaku ekonomi atau membangun lobi tingkat tinggi dengan para pihak yang berpotensi mendorong pembangunan, investor misalnya. Seluruh instrumen itu butuh waktu dan harus direfresh dari awal apabila ‘wajah baru’ terpilih menjadi kepala daerah.

Di sisi lain, kepala daerah bukan hanya bermakna kepala pemerintahan dalam suatu daerah namun lebih jauh dari itu. Kepala daerah adalah tokoh masyarakat, guru bagi kaum, pemangku adat, panutan berkeyakinan, dan sekaligus menjadi ikon daerah. Ini adalah tugas lain seorang kepala daerah yang nantinya berkaitan erat dengan ketercapaian pembangunan. Kepala daerah diwajibkan memenuhi tugas-tugas non pemerintahan tersebut agar tujuan pembangunan sebagai tugas utama sang kepala daerah dapat bermanfaat lebih. Tuntutan plus tersebut hanya dapat diraih dengan pengalaman dalam memimpin yang tentu saja sulit didapat oleh ‘muka baru’ atau yang hanya bermodalkan hasrat politik belaka.

‘Muka baru’ hanya mampu melegitimasi diri melalui draf visi-misi, baliho, dan simbol-simbol politik lain. Satu-satunya yang dapat menguji kapasitas ‘muka baru’ hanyalah rekam jejak. Ibarat skripsi itu hanya sebatas hipotesis yang perlu dibuktikan melalui latar belakang masalah, metodologi penelitian, dan berbagai macam variabel barulah kemudian dapat ditarik kesimpulan. Sedangkan petahana telah menyajikan kesimpulan di awal yang berisi ruang kritik dan saran, apakah layak direkomendasikan untuk pilkada selanjutnya atau tidak?

Petahana telah maju satu langkah dalam merumuskan pembangunan sedangkan ‘muka baru’ harus mengawali kepemimpinan dengan seremonial, koordinasi dan sinkronisasi agar visi misinya dapat diterjemahkan dan dieksekusi oleh perangkat daerah terkait. Belum lagi soal tren pemimpin baru yang dekat dengan rombak sana-sini. Tentulah setiap tenggat aktivitas itu membutuhkan waktu yang akan mengkredit periodesasi kepemimpinan seorang kapala daerah.

Menurut Abraham Lincoln, untuk menguji sesorang jadikanlah dia pemimpin. Maka di situ kita dapat melihat apakah ia (kepala daerah) pembawa pesan kebaikan yang telah berbuat untuk kepentingan rakyat atau ia hanya memompa hasrat kekuasaan belaka. Teori klasik itu nampaknya masih relevan untuk dijadikan referensi untuk menilai kepemimpinan seseorang. Petahana setidaknya telah menyajikan diri selama satu periode untuk kita timbang, apakah seorang petahana telah berbuat untuk pembangunan atau justru terjebak dalam spiral pengingkaran amanat rakyat?

Apabila kritik terhadap petahana hanya pada tataran normatif maka jangan pertaruhkan suara dengan wajah baru yang telah ketinggalan satu langkah. Namun, petahana tidaklah baik kalau kegagalannya menyentuh sisi keteraturan pembangunan dan nilai fundamen dalam bernegara karena pilkada substansinya adalah kesejahteraan rakyat. Untuk itu, gunakanlah hak kita selaku pemilih dengan cara mengedepankan rasionalitas bukan terjebak dengan tagline membahana yang menyihir sehingga memaksa kita untuk pilih-pilih tebu.

Tulisan ini tidak bermaksud melegitimasi petahana secara totalitas. Ada sisi lain yang menurut penulis yang dijamin seseorang petahana, yaitu pertama, petahana menggaransi keteraturan tata kelola pembangunan yang telah berjalan sebelumnya. Kedua, petahana akan mampu mereduksi ketegangan politik birokrasi pasca pilkada yang kerap dijadikan argumentasi gagalnya pembangunan, dan ketiga, petahana adalah perwujudan pesan tersirat dalam Undang-Undang Pilkada yang menyebut jabatan ideal periodeisasi kepemimpinan adalah 2 periode. Singkatnya, untuk menepis kekhawatiran pada statement pemimpin ‘muka baru’ yang sering berujar “kita masih membangun koordinasi” jangan dulu minta apa-apa.

Kita dapat belajar dari pengalaman, bahwa sisi lain kegagalan agenda reformasi adalah liarnya instrumen kepemimpinan yang kemudian memaksa kita untuk kembali merindukan sosok Soeharto “Enak Jamanku Toh”.

Penulis: Riki Susanto

BACA LAINNYA


Leave a comment