Deforestasi membabi buta, Bumi Bengkulu diambang Bencana

NEWS - Sabtu, 22 April 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Salah satu citra udara dari Google menunjukkan salah satu aliran sungai yang ditutup oleh perusahaan tambang batubara di Bengkulu. Courtesy: Google/Foto Mongabay.co.id

GARUDA DAILY – Dalam rangka memperingati Hari Bumi Internasional (Earth Day) 22 April 2017, Redaksi GARUDADAILY.com melakukan wawancara khusus kepada aktivis lingkungan untuk mencari tahu sejauh mana kesadaran masyarakat Bengkulu terhadap ancaman kerusakan lingkungan. Selain itu, wawancara khusus ini juga bertujuan untuk mengetahui berbagai ancaman yang sedang dihadapi Bengkulu sebagai akibat dari kerusakan lingkungan. Apa saja yang menjadi ancaman kita? Berikut laporannya!

Yance Askomandala – GARUDADAILY.com

Hari Bumi dirayakan untuk membangunkan kembali kesadaran seluruh manusia akan pentingnya menjaga dan menghormati bumi (lingkungan) sebagai sumber keberlanjutan hidup semua mahkluk. Menurut Dikson Aritonang, Wakil Presiden Perkumpulan Telapak Indonesia, kesadaran akan pelestarian lingkungan menjadi hal yang simbolik saat ini. Ia berpendapat, seolah-olah dengan menanam seribu atau lebih pohon dapat dikatakan sudah melestarikan lingkungan.

Dikson Aritonang

“Masyarakat saat ini sangat konsumtif, mendorong kegiatan ekstraktif sumber daya alam melaju pesat melebihi daya dukung yang dimiliki,” ujarnya.

Sementara itu, pemerintah selaku pengatur tingkat laju eksploitasi kekayaan alam, dipandang tidak mampu menyuguhkan regulasi yang mendukung pelestarian alam dan lingkungan.

“Pihak swasta yang didukung regulasi dan pemerintah, sampai hari ini semakin membabi buta melakukan deforestasi (perambahan hutan secara massal) dan menguras isi perut bumi, jauh sekali dari harapan punya kepedulian terhadap lingkungan,” kata Dikson, yang juga Pendiri Lembaga Ulayat Bengkulu dan telah lama bergelut pada aktifitas pelestarian alam ini.

Kemudian menurutnya, saat ini pemerintah pusat secara umum sudah mulai peduli dengan konservasi sumber daya alam. Akan tetapi, ia menyebutkan hal itu berbanding terbalik kondisinya dengan pemerintah daerah khususnya Provinsi Bengkulu.

“Tambang-tambang batubara sebagai contohnya. Provinsi dengan luasan yang sempit ini punya puluhan tambang batubara. Yang sebagian besarnya dibangun dengan deforestasi. Pemerintah Daerah di Bengkulu itu ‘environtment destroyer’ (Perusak lingkungan hidup),” sebut Dikson.

Reklamasi Pulau Tikus “Wacana Idiot”

Terkait wacana pemerintah untuk mereklamasi Pulau Tikus yang saat ini terancam hilang ditelan arus, ia berpendapat bahwa hal itu merupakan sebuah wacana yang tidak masuk akal. “Wacana reklamasi itu wacana idiot, memangnya pulau itu mau dijadikan apa? Pelabuhan batubara? Lokalisasi dan perjudian? Ada-ada saja,” ujarnya.

Pulau Tikus dengan pesona keindahan alam yang apik kini tengah terancam oleh abrasi akibat hancurnya ekosistem mangrove dan hutan pantainya. Dikson menawarkan jalan keluar untuk resolusi penyelamatan ‘pulau cantik’ itu, tanpa harus dilakukan reklamasi.

“Solusi terbaik menurut saya adalah rehabilitasi, bagaimana menumbuhkan kembali mangrove dan hutan pantainya. Mahal memang, tapi lebih murah dibanding dampak yang terjadi akibat pulau kecil ini hilang,” tambah Dikson lagi.

PLTU Pulau Baai bukan solusi atasi kebutuhan listrik

Kemudian terkait pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Pulau Baai, Dikson berpendapat hal itu bukan menjadi solusi terbaik dalam menambah suplai kebutuhan listrik di Bengkulu. Menurutnya, ada banyak alternatif yang dapat dikembangkan tanpa harus membangun PLTU yang beresiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan.

“Bengkulu tidak butuh penambahan daya listrik, apalagi dari PLTU berbahan bakar batubara. Kita memiliki 2 PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), PLTA Tes dan PLTA Ujan Mas, dengan kapasitas besar yang melebihi kebutuhan masyarakat Provinsi Bengkulu. Sebaiknya pemerintah perbaiki saja hutan di hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) sumber air PLTA-PLTA tersebut agar debit airnya cukup untuk memutar semua turbin,” ungkapnya.

Disampaikan Dikson, PLTU berbahan bakar batubara akan menyebabkan polusi udara luar biasa yang sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

“Selain itu, PLTU ini akan melanggengkan kegiatan penambangan batubara yang sangat destruktif tersebut. PLTU sebenarnya baik-baik saja bila bahan bakar yang digunakan bukan batubara. Di beberapa negara PLTU malah menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya, karena kayu dianggap bahan bakar yang berkelanjutan karena dapat ditanam kembali, sedangkan batubara tidak dapat diperbaharui,” lanjutnya.

Pemerintah Terlena, Bengkulu dihadang Bencana

Deforestasi merupakan faktor utama penyebab berbagai masalah lingkungan di Provinsi Bengkulu. Perambahan hutan untuk eksploitasi alam yang kerap dilakukan dalam jumlah besar, mengakibatkan keseimbangan alam terganggu. Selain berdampak pada iklim, pembabatan hutan sangat berpotensi mengakibatkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, polusi air dan sebagainya.

“Ancaman terhadap lingkungan di Bengkulu tidak berubah hingga saat ini. Meskipun terjadi pergantian kepala daerah (bupati, walikota dan gubernur) ternyata hanya berganti orangnya saja, pemikiran dan tindakannya sama, sama-sama kurang pengetahuan terkait perlindungan hutan dan SDA (Sumber Daya Alam),” tukas Dikson.

“Kerusakan lingkungan (termasuk hutan) di Bengkulu menurut saya masuk dalam kategori berbahaya, bila pemerintah tidak segera menanganinya secara komprehensif maka tunggulah bencana yang akan terjadi,” sambungnya.

Kesadaran untuk menjaga lingkungan dan mencintai alam kini menjadi sebuah keharusan di masyarakat. Kehidupan manusia sangat bergantung pada kondisi alam. Jika alam kita terganggu, dapat dipastikan kehidupan manusia turut terganggu. Peringatan hari bumi baiknya kita jadikan sebagai momentum untuk meningkatkan kecintaan terhadap alam dan lingkungan. Save our world, save our life !

BACA LAINNYA


Leave a comment