Menguji Taji di Tengah Mutasi Kontroversi

Oleh: Riki Susanto*

PENCOPOTAN pejabat eselon II oleh bakal calon petahana Kabupaten Kaur Gusril Pausi menyajikan ruang-ruang perdebatan yang sebenarnya mubazir karena UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengurai secara jelas bagi kepala daerah yang nyalon lagi dan kebelet ganti pejabat wajib ain minta izin tertulis Tito Karnavian Sang Mendagri. Tak perlu tafsir ulang.

Kian tegas dan mengikat ketika Pasal 71 Ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 diterjemahkan ulang oleh Mendagri dalam Surat Edarannya Nomor 273/487/SJ tertanggal 21 Januari 2020. Ayat per ayat, huruf per huruf, dan frasa per frasa dengan gamblang dikatakan pergantian pejabat tidak diperbolehkan dalam bentuk apapun kecuali izin Menteri Tito.

Ruang gonta-ganti pejabat tanpa izin dibuka Mendagri kalaulah terjadi kekosongan misal karena pejabatnya wafat atau tidak dapat melakukan hajat karena halangan tetap, bisa juga karena yang bersangkutan dibui. Di luar itu, pantas disebut nekat dan melawan aparat (UU Pilkada dan Menteri Tito) karena pejabat yang diganti masih sehat walafiat, tidak berhalangan tetap, dan tidak sedang dibui.

Namun, yang mengelitik saat Sekda Kabupaten Kaur Nandar Munadi berkilah kalau yang dilakukan Bupati Gusril Pausi bukanlah mutasi melainkan pemberian sanksi karena indisipliner bagi ASN. Tafsir itu perlu diluruskan karena ibarat single-nya Ayu Ting-Ting “Salah Alamat”. Dalam UU dan SE Mendagri jelas tertulis “Pergantian Pejabat”. Kedua regulasi itu berbicara akibat dari kebijakan baik itu mutasi, rotasi, promosi, demosi ataupun sanksi seperti yang disebutkan sekda.

Kalau sanksi berakibat “Pergantian Pejabat” maka wajib izin Mendagri sebaliknya jika sanksi tidak berakibat pada “Pergantian Pejabat” maka tidak perlu izin Mendagri. Faktanya, sanksi yang diberikan Bupati Kaur berakibat pada “Pergantian Pejabat” yaitu jabatan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga dari saudara Jon Harimol berganti kepada By Wiyadi sebagai Plt.

Dengan demikian pada kasus tersebut terdapat klausul “Pergantian Pejabat” jadi clear harus mendapat restu tertulis dari Mendagri. Tak perlu ada pertentangan apakah itu sanksi atau mutasi karena salah soal dan sudah pasti salah jawab.

Para perancang UU dan birokrat di Mendagri sudah mengkaji dengan matang untuk menghindari kaum pejabat ‘nakal’ yang berusaha mencari celah atas peraturan. UU dan SE Mendagri tidak kaku pada diksi mutasi atau sanksi. Keyword dari kedua regulasi itu adalah “Pergantian Pejabat” dan “Izin Mendagri”. “Pergantian Pejabat” di luar yang dikecualikan harus izin tertulis Mendagri sebaliknya “Izin Mendagri” tidak dibutuhkan ketika “Pergantian Pejabat” memenuhi kategori dikecualikan.

Bola panas pergantian pejabat Kaur sedang dipegang Bawaslu selaku lembaga yang mengawasi prosesi Pilkada. Bawaslu dilempari ‘kasus matang’ yang sebenarnya tidak butuh banyak energi untuk memberikan keputusan. Pendapat profesor pun tidak terlalu penting untuk mengkaji sesuatu yang mungkin hanya setengah SKS dari mata kuliah di Fakultas Hukum. Namun, membuat keputusan bukan soal pemahaman tapi soal keberanian. Mampukah Bawaslu Kaur mengepakkan tajinya di tengah kotroversi mutasi itu. Wallahualam Bissawab.

*Penulis adalah Ketua Jaringan Media Siber Indonesia [JMSI] Provinsi Bengkulu

Comments (0)
Add Comment