Adilla Ronisa, si Ratu Prestasi yang menggenggam Dunia lewat Doa

NEWS - Jumat, 21 April 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Adilla Ronisa

Siang itu, cuaca cerah memeras keringat. Meski terik terasa begitu menyengat kulit, tak menyulutkan langkah untuk berkunjung ke kampus biru Universitas Bengkulu (UNIB). Langkah akhirnya mengantarkan penulis ke meja kerja Ketua Program Studi (Prodi) Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di kampus itu. Salah satu mahasiswi di jurusan ini dikabarkan baru saja menghadiri undangan Dewan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Kehadiran penulis disambut hangat pemilik meja kerja itu, Dr. Dedi Sofyan, M.Hum.

“Iya, dia mahasiswi kita. Coba saya hubungi, mudah-mudahan ia sedang berada di kampus. Sebentar ya,” sambutnya. Kemudian dosen itu keluar meninggalkan ruang kerjanya.

Tak lama kemudian, Pak Dedi kembali bersama seorang mahasiswi dengan seluruh tubuh tertutup, kecuali muka dan telapak tangannya. Ia adalah Adilla Ronisa, mahasiswi hijabers yang baru saja berkunjung ke markas besar PBB. Putri kedua pasangan Bahrensyah dan Nursilawati ini mewakili Indonesia bersama 19 delegasi lainnya untuk mengikuti simulasi sidang PBB, dalam agenda World International Model United Nation 2017 (WIMUN) yang diselenggarakan oleh World Federation United Nation Association (WFUNA) tanggal 1-7 Februari 2017 lalu.

Perjuangan Menggapai Mimpi by Pewarta GARUDADAILY.com Yance Askomandala

Sungguh tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebagai seorang anak dari keluarga yang sederhana mampu berkeliling kota besar dunia, New York. Apa lagi sampai menguasai setiap sudut kantor persatuan dunia, PBB itu. Tentu hanya orang-orang pilihan yang dapat berkunjung ke sana.

“Syukur alhamdulillah, tentu sangat, sangat bangga sekali bisa berkesempatan untuk pergi ke New York dan menginjakkan kaki di Markas PBB. Rasanya seperti mimpi bila ingat momen itu, benar-benar tak pernah terbayangkan sebelumnya,” tutur Dilla, putri kelahiran Manna, Bengkulu Selatan 26 Desember 1995 silam.

Semuanya tak hadir begitu saja. Perjuangan gadis berdarah Serawai-Palembang ini harus menempuh jalan terjal dan panjang sebelum mencapai gedung simbol perdamaian dunia itu. “Apa lagi itukan syarat utamanya harus fasih berbahasa inggris, hal yang membuat Dilla berasa mimpi nyampai ke sana,” kenangnya.

Sedari SMP hingga SMA, Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang paling ia benci. Bahkan ia mengaku kaget ketika diterima di Jurusan Bahasa Inggris yang tengah dijalaninya itu. “Dilla dulu kan pas SMA jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Di awal pengennya sih kalo gak kedokteran, ambil teknik. Jadi sempat pesimis waktu daftar ke UNIB. Jujur, Dilla memang gak suka Bahasa Inggris,” lanjut putri Bengkulu Selatan yang akrab disapa Dilla ini.

Hingga ia menjadi percaya, bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah daripada angannya. “Entah gimana, justru Jurusan Bahasa Inggris inilah yang nganterin Dilla keliling dunia. Ya sekarang harus di akui, ini benci jadi cinta,” guraunya sambil tertawa lepas.

Tiket ke Amerika itu didapatnya, bermula pada Februari 2016 lalu. Ia mengikuti seleksi event Southeast Asia Leaders Summit (SEALS) yang diselenggarakan oleh Institute Of Democracy and Education (IDE) di Bandung. Event ini merupakan ajang debat Bahasa Inggris yang mempertemukan semua perwakilan dari masing-masing provinsi di Indonesia. Dilla dinyatakan lulus dalam tahap tersebut.

Setelah itu, ia direkomendasikan oleh IDE untuk ikut Asia Pasific Model United Nation Conference (AMUNC) di Kuala Lumpur Malaysia, pada April 2016. Pasca kepulangan dari Kuala Lumpur, tepat di bulan September 2016, ia menerima undangan dari IDE yang memintanya untuk berangkat langsung ke Markas Besar PBB di New York.

“Dilla mempersiapkan keberangkatan itu lebih dari tiga bulan. Bawa proposal ke sana-ke mari. Karena memang kalau mau minta biayanya sama orang tua, itu tidak mungkin. Dilla tau persis ekonomi dan tanggungan keluarga kami seperti apa,” gumamnya.

Sampai akhirnya kenyataan pahit harus ia terima. Semua proposal yang ia ajukan ternyata ditolak. “Setiap Dilla mengajukan proposal di instansi pemerintah, jawabannya tidak ada dana. Proposalnya dianterin, tapi ya dikembalikan lagi,” imbuhnya. Ia juga mengaku sempat diundang untuk bertemu Wakil Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, terkait kendala anggaran tersebut. “Sempat di panggil sekali, tapi setelah itu gak ada kabar,” sambungnya lagi.

Namun kesulitan itu tak membuatnya patah arang. Ia berjuang keras untuk mewujudkan mimpi yang sudah di depan mata. “Waktu itu sudah H-5 keberangkatan. Kendala dana itu membuat Dilla sempat pesimis untuk bisa berangkat. Namun ternyata Allah itu maha baik. Malam itu Dilla berdoa, kalau memang Allah kasih kesempatan, kalau memang Allah mengizinkan ini sebagai jalan untuk mengejar ilmu dan menggapai impian, ya Allah mudahkan. Entah kenapa, itu seperti langsung di ijabah oleh Allah. Besok paginya Dilla dapat kabar dari ibu, ada beberapa saudara dan kerabat yang ngasih bantuan. Dari universitas juga membantu, teman-teman dari organisasi Dilla juga ikut bantu. Dan itu mencukupi,” kenangnya dengan suara terbata dan mata berkaca-kaca.

Momen yang ditunggu-tunggu Dilla pun datang. Ia akhirnya berangkat menuju New York, tepat pada tanggal 29 Januari 2017. “Momen yang paling gak bisa di lupain itu,” lanjutnya sambil seperti sedang mengingat kembali, “Presiden Donal Trump kan baru dilantik, dan dia melarang 9 negara muslim untuk berkunjung ke Amerika. Nah, kebetulan Dilla ini jilbabnya panjangkan, jadi sempat deg-degan juga. Waktu transit di Jepang, jadi sempat mikir ‘janga-jangan cuma sampai di Jepang, karena dilarang masuk ke Amerika’,” lanjut Dilla tertawa.

Sepulangnya dari negeri Paman Sam, kini Dilla menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya. Mulai dari adik-adik kelas di sekolah tempat ia ditempa dulu, teman sejawat, hingga semua orang yang mengenalnya. Namun ia tak berbesar hati. Sebaliknya, ia bahkan ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk.

“Dari pengalaman Dilla ikut kegiatan itu, Dilla semakin berani dan pede dalam menguasai Bahasa Inggris. Ternyata orang-orang di luar sana gak begitu ambil pusing seblepotan apa Bahasa Inggris kita. Kadangkan kita takut dan ragu, soal grammar, pronounciation dan sebagainya. Padahal gak. Bahasa itukan alat komunikasi. Yang penting nyambung aja, udah. Nanti lama-lama juga bakal terbiasa. Jadi, jangan pernah takut untuk keluar dari zona aman itu. Buktinya Dilla, dulu benci sekarang cinta banget Bahasa Inggris,” cerita Dilla.

Ibu, Sosok Peri dari Langit

Dari pesona yang terpancarkan wajahnya, jelas terlihat ia begitu dekat dengan sosok ibunya. Hal itu ia akui, ibu adalah segalanya dalam hidup. Saat diminta pendapatnya tentang sosok seorang ibu, raut wajahnya langsung merah padam. Dilla tampak seperti sedang menahan air mata. Ia berkali-kali menarik nafas panjang dan termenung sebelum menjawab pertanyaan itu.

“Sulit dibayangkan ya. Ibu, gak cuma sekolah pertama untuk Dilla. Ibu, dokter untuk Dilla. Ibu, sahabat. Ia adalah segalanya bagi kami. Dalam Islam, ibu tiga kali lebih tinggi derajatnya dari seorang ayah, dan itu harus kami akui. Mom is a perfect woman,” terangnya terbata-bata.

Ratu Prestasi, dari Pesantren hingga Studi ke Luar Negeri

Karena usaha tak akan mengkhianati hasil, begitu motivasi yang selalu ia gunakan sejak kecil. Memang perjuangan Dilla dimulai sejak duduk di bangku sekolah dasar. Selama enam tahun ditempa di SDN 15 Manna, ia tak pernah luput dari juara kelas. Setelah melanjutkan ke SMPN 1 Manna, prestasinya sedikitpun tak tergoyahkan. Ia mengaku selalu masuk dalam 3 besar di kelasnya.

Begitupun saat menempuh pendidikan menengah atas di SMAN 1 Manna, kecerdasannya semakin menjadi-jadi. Ketika SMA ia bahkan pernah menyabet gelar Juara I Nasional Lomba Karya Tulis Ilmiah bidang Kimia, yang diselenggarakan oleh SMAN 8 Jakarta. “Waktu itu karya kita tentang pemanfaatan limbah isi perut ayam menjadi bahan pakan ternak. Dewan jurinya ada yang dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan pakar UI (Universitas Indonesia). Alhamdulillah kita juara I,” kenangnya kembali.

Setelah di bangku kuliah, berkat perjuangannya yang tekun kini ia aktif di berbagai forum pemuda dan mahasiswa Internasional. Tak puas dengan itu saja, di berbagai organisasi internal mapun eksternal kampuspun ia dikenal sangat aktif. Saat ini ia menjabat sebagai Ketua Parade Cintah Tanah Air (PCTA), sebuah organisasi pemuda dari Kementerian Pertahanan Republik Indonesia wilayah Bengkulu. Dilla juga menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNIB.

“Memang anaknya baik, penuh prestasi. Tidak hanya di bidang akademik, di berbagai organisasipun dia aktif. Bagi kami, Dilla salah satu mahasiswi yang luar biasa,” aku Dedi yang juga Dosen pengajar Dilla ini.
Lebih jauh, ia bercita-cita ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Akan tetapi, ia tengah ragu untuk mewujudkan mimpi tersebut. “Harapan Dilla, tidak hanya mengejar ilmu dunia, ilmu akhirat juga perlu lebih diperbanyak. Jadi sekarang masih ragu, antara lanjut S2 ke luar negeri atau mondok dulu,” ucapnya dengan senyum tersipu. (***)

BACA LAINNYA


Show Comments (1)