Abdoel Rivai, Sang Jurnalis Penyulut Api Kemerdekaan Berdarah Mukomuko

LITERASI - Sabtu, 14 Agustus 2021

Konten ini di Produksi Oleh :

“…Abdoel Rivai, seorang dokter yang tajam menulis, mentor tokoh-tokoh besar di negeri Belanda, seperti Bung Hatta, Sutomo, Ali Sastroamidjojo, dan Iwa Kusumasumantri”.

Memasuki abad ke-20 menjadi catatan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di masa itu tumbuh subur semangat nasionalisme dan kesadaran perlawanan terhadap bangsa penjajah. Politik etis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda menjadi pintu masuk bagi perjuangan kemerdekaan.

Pemuda menjadi kelompok terdepan dalam memprakarsai kemerdekaan. Mulanya ditandai dengan munculnya organisasi pemuda bernama Boedi Oetomo pada tahun 1908. Organisasi ini menghimpun pemuda-pemuda di seluruh Hindia dan aktif menyuarakan kesadaran pentingnya pendidikan. Kendati organisasi ini didirikan oleh Dr Wahidin Soedirohoesodo, kelahirannya dipengaruhi oleh pemikiran seorang Abdoel Rivai (Abdul Rivai), seorang dokter yang dikenal tajam dalam menulis.

Abdoel Rivai adalah seorang anak pribumi Hindia (Indonesia), keturunan bangsawan kerajaan. Lahir di Mukomuko, Bengkulu, pada tanggal 13 Agustus 1871. Ayahnya bernama Abdul Karim, seorang guru sekolah rendah di Mukomuko. Ibunya bernama Siti Kemala Ria, keturunan keenam dari Sultan Gendamsyah (1728-1752), Raja Mukomuko.

Setelah menetap selama 8 tahun di Mukomuko (1871-1879), ayahnya dipindahtugaskan ke Bukittinggi. Tahun 1880 Dokter Abdul Rivai menjadi siswa Sekolah Desa karena Hollandsch Inlandsche School (HIS) belum ada. Baru didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914.

Tahun 1883-1884 mengikuti sekolah privat di Bukittinggi, setelah itu masuk Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi. Beliau bercita-cita masuk Sekolah Dokter Jawa yang kemudian bernama School Tot Opleiding Van Inlandshe Arsten (STOVIA) di Jakarta, yang mensyaratkan harus lancar berbahasa Belanda. Tahun 1885-1886 pergi mengikuti kakaknya Muhammad Lengah, guru/opsir Sekolah Rendah di Pasar Talo Kabupaten Seluma, Bengkulu. Di sana beliau belajar bahasa Belanda. Tahun 1887 beliau diterima menjadi murid Sekolah Dokter Jawa STOVIA. Usai menamatkan STOVIA, ia bekerja di Deli, Sumatera Utara. Selain berprofesi sebagai dokter lulusan STOVIA, ia juga menjadi penerjemah serta aktif menulis di berbagai surat kabar.

Di bawah kepemimpinan menteri jajahan Belanda, Alexander W.F. Pieterburg, awal abad ke-20 politik kolonial memasuki babak baru, yakni politik etis. Politik etis memberikan pengaruh besar bagi masyarakat pribumi Hindia, terutama dalam menumbuhkan kesadaran pentingnya pendidikan. Pengaruh ini yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumi putera, yang kelak meluas menjadi kesadaran pergerakan kemerdekaan nasional.

Abdoel Rivai adalah pelajar pribumi pertama yang mengenyam pendidikan di luar negeri. Keinginannya yang kuat melanjutkan pendidikan ke Eropa, membuatnya nekat bertolak ke negeri Belanda, dengan bermodalkan 25 ribu gulden tabungan hasil kerjanya selama di Deli.

Memang tidak mudah bagi seorang Abdoel Rivai mengejar pendidikan tersebut. Pertama, ia terkendala administrasi terkait izin melanjutkan pendidikan ke Belanda dari pemerintah kolonial. Setelah menunggu lama, barulah pada tahun 1899 ia mendapatkan kesempatan emas itu. Tidak selesai sampai di situ, setelah di negeri Belanda, ia terancam tidak bisa mengikuti ujian akhir pendidikan kedokteran di Universitas Ultrecht tujuannya itu dengan alasan karena tidak memiliki ijazah Hoogere Burger School (HBS) atau setara SMA. Sementara ijazah STOVIA yang dikantonginya dianggap tidak cukup memenuhi syarat untuk menempuh ujian sekolah dokter Belanda di fakultas kedokteran. Abdoel Rivai diminta agar lebih dulu menempuh ujian persiapan sebelum sepenuhnya dapat dianggap sebagai mahasiswa kedokteran.

Untuk itu, dengan rasa kecewa ia kemudian pindah ke Amsterdam untuk menempuh ujian persiapan sebelum berkuliah di Universitas Ultrech. Rivai kemudian bertemu dengan Y Strikwerda, seorang mantan residen Hindia, yang kemudian memberikan dukungan penerbitan surat kabar “Pewarta Wolanda” yang terbit perdana pada tanggal 14 Juli 1900.

Kendati diterbitkan dari Belanda, “Pewarta Wolanda” hadir dengan bahasa Melayu. Gebrakan Rivai ini sekaligus menjadi surat kabar berbahasa melayu pertama yang diterbitkan dari Eropa. Pun menjadi bukti kentalnya rasa nasionalisme yang mengalir di darah Abdul Rivai sebagai orang Indonesia sejati.

Sekali waktu ketika aktif di “Pewarta Wolanda”, Rivai terlibat adu argumen dengan seorang pejabat kolonial Hindia Belanda, AA Fokker. Fokker dengan percaya diri mengklaim dirinya lebih fasih berbahasa Melayu ketimbang orang Melayu sendiri. Rivai sangat kesal dan marah, lantas mengkritisinya lewat tulisan. Keduanya pun saling berbalas serang melalui koran.

Sepulangnya ke tanah air setahun berselang, Rivai menantang Fokker untuk bertarung di arena debat. Rivai yang memang orang Melayu asli dengan lihai menelanjangi lawannya. Fokker yang nyaris selalu tersudut dalam perdebatan itu hilang kendali. Ketangkasan Rivai tidak sanggup dibalasnya dengan argumen yang sepadan. Hingga akhirnya, orang Belanda itu berdalih di ambang kekalahannya dengan berkata, “Seorang Belanda tidak boleh berbahasa Melayu.”

Kemenangan telak itu telah membuktikan kecerdasan dan ketajaman berfikir seorang Rivai. Sekaligus membuat nama “Pewarta Wolanda” membumbung tinggi seantero Eropa dan tanah Hindia. Juga atas kemenangan itu, Rivai kemudian diperkenankan mengikuti ujian di Universitas Ultrecht dan menerima gelar dokter.

Usai menerima gelar dokter, pada tahun 1901 Rivai kembali ke tanah air. Rivai bekerja sama dengan mantan anggota KNIL yang juga seorang jurnalis, H.C Brousson. Mereka meleburkan “Pewarta Wolanda” miliknya dan “Soerat Kabar Soldadoe” milik Brousson menjadi “Bandera Wolanda” beraliran moderat.

Karier Rivai di “Bandera Wolanda” tak panjang umur. Ia dan Brousson memilih mundur dari keredaksian setelah surat kabar itu memuat artikel sensitif dengan judul “Agama Protestan dan Islam” pada edisi Juni 1901 yang memantik reaksi keras dari sejumlah kalangan.

Rivai tak jera. Berkat relasinya yang terjalin baik dengan orang-orang berpengaruh di negeri Belanda, terutama dari kalangan pendukung politik etis, ia memperoleh dana dari Kementerian Urusan Jajahan Hindia Belanda untuk menerbitkan koran baru bernama “Bintang Hindia” yang diluncurkan pada Juli 1902. Bersama “Bintang Hindia”, Rivai kini berperan bak agen ganda. Meski didanai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, Rivai menjadikan korannya itu untuk mencerdaskan kaum bumiputera. Ia memanfaatkan “Bintang Hindia” sebagai media untuk menyuarakan ide tentang kemajuan moral dan sosial orang-orang se-tanah airnya.

Gagasan memajukan kaum bumiputera melalui pendidikan seperti yang telah diwacanakan Rivai sejak lama, dimuntahkan lewat “Bintang Hindia”. Entah disadari oleh pemerintah kolonial yang membiayai penerbitannya, “Bintang Hindia” mampu memainkan perannya sebagai perumus jati diri bangsa, tentunya Rivai ada di balik semua itu. Melalui Bintang Hindia, Rivai mempopulerkan istilah “Bangsa Hindia” dan “Anak Hindia”, yang secara psikologis menanamkan rasa kebangsaan di kalangan bumiputera. Kelak, ketika wacana nasionalisme kian matang, istilah “Bangsa Hindia” lantas berubah menjadi “Bangsa Indonesia”, yang ditegaskan, misalnya, dalam Sumpah Pemuda 1928.

Selain itu, “Bintang Hindia” juga memuat berbagai tulisan Rivai yang kian menyulut api nasionalisme kaum muda di tanah air. Rivai selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. Ia menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda, didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.

Seorang pensiunan dokter Jawa, Wahidin Soedirohoesodo sangat terpukau dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, “Retnodhumilah”. Dalam sebuah tulisan di koran itu, ia menyarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar STOVIA mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908.

Tahun 1906, Rivai bertolak ke Paris, Perancis, untuk melanjutkan studinya di Universitas Pasteur. Di sana, ia aktif mempromosikan bahasa melayu. Selain itu, ia juga mengikuti kuliah semi-arts. Namun, karena soal waktu, Rivai kesulitan mengejar gelar doktoralnya. Ia pun terpaksa melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Gent, Belgia, yang melaksanakan program doktor tanpa disertasi, tapi dengan ujian terbuka. Ujian doktoral berlangsung pada 23 Juli 1908 dengan kajian mikrobiologi. Ia lulus dengan nilai memuaskan, sekaligus menjadi perintis ahli mikrobiologi yang kemudian dikembangkannya di Indonesia.

Pada 1911, Rivai pulang ke tanah air dengan menyandang titel dokter lulusan Eropa. Rivai langsung diganjar jabatan tinggi sebagai opsir kesehatan pada angkatan militer di Cimahi, Jawa Barat. Dokter Pribumi yang mampu menempati jabatan sepenting itu merupakan hal yang istimewa.

Setahun kemudian, Rivai dipindahtugaskan ke Padang. Rivai seringkali bentrok dengan atasannya yang orang Belanda, yang masih menganggap kaum Bumiputera orang rendahan. Karena merasa selalu direndahkan dan dipersalahkan, Rivai mengajukan surat pengunduran diri dari pegawai Dinas Kesehatan pada Januari 1912. Abdul Rivai kemudian membuka praktek partikelir, awalnya di Semarang kemudian pindah ke Surabaya.

Berprofesi menjadi dokter tidak lantas membuat Abdul Rivai mandul dalam upaya terus berusaha memajukan bangsanya. Ketika pergerakan nasional mulai berkobar di tanah air, ditandai dengan berdirinya Indische Partij (IP) pada tahun 1912, Abdul Rivai turut mendirikan cabang IP di Sumatera. Indische Partij ini menjadi perhimpunan politik pertama di Indonesia yang dengan lantang menyerukan kemerdekaan Hindia dari jajahan Belanda. Karena dianggap membahayakan, IP dibubarkan pemerintah kolonial pada tahun 1913.

Pasca dibubarkan, mantan aktivis IP ini kemudian mendirikan Insulinde di tahun yang sama dan tersebar di berbagai kota besar di Hindia. Rivai juga menjadi pengurus penting dalam organisasi ini. Insulinde berideologi sama dengan IP, organisasi politik untuk segala kalangan yang menjadi warga Hindia Belanda dan berjuang demi kedaulatan rakyat Hindia. Selama beberapa tahun ke depan, gerakan Insulinde berperan cukup sentral dalam mengawal proses penyadaran kebangsaan.

Hingga akhirnya dibentuklah Volksraad (Dewan Rakyat) oleh pemerintah kolonial pada Mei 1918. Volksraad didirikan sebagai lembaga dengan satu majelis yang hanya mempunyai wewenang memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum mengumumkan anggota-anggota Volksraad pada 18 Mei 1918. Abdul Rivai, bersama Tjipto Mangoenkoesoemo, terpilih sebagai wakil dari Insulinde.

Tak hanya tajam dalam menulis, Rivai juga berapi-api dalam berpidato. Melalui forum Volksraad inilah pertama kalinya Rivai menyuarakan agar didirikan pendidikan tinggi setingkat universitas di Indonesia. Pemerintah kolonial akhirnya mendirikan perguruan tinggi kedokteran yang disebut Geneeskundige Hoge School.

Berdirinya Yayasan Semarak Bengkulu disinyalir turut diprakarsai seorang Abdoel Rivai. Ia memberi saran melalui Johan Mahmud Cahya, kakak dari Indra Cahya, Residen Bengkulu. Saran itu kemudian diteruskan kepada Achmad Mochtar, yang merencanakan pendirian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Studiefond (lembaga sosial untuk membantu pendidikan anak-anak Indonesia, didirikan oleh Abdoel Rivai) bagi mahasiswa Keresidenan Bengkulu di bawah Yayasan Semarak Bengkulu. Yayasan ini didirikan pada tahun 1928 oleh Pasirah Kepala Marga se-Keresidenan Bengkulu.

Selain itu, pada tahun 1927 Abdoel Rivai menuju Bengkulu dan mengunjungi Mukomuko. Ia meminta kepada Konroleur Afdeeling, D Triezenberg, agar para pelajar di Mukomuko diberikan kesempatan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Rivai bersedia memberikan rekomendasi kepada sekolah yang dituju.

Pada Juli 1918, Rivai dan Radjiman Widiodiningrat menyampaikan surat permohonan pengunduran diri dari keanggotaan Volksraad. Keduanya beralasan karena mendapat tugas dari Raja Surakarta Susuhunan Pakubuwono X untuk mendampingi putra-putri Susuhunan mengejar pendidikan di Eropa. Kendati di luar negeri, Rivai juga terlibat aktif di keredaksian “Bintang Timoer” dan kerap mengirimkan tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah kolonial.

Selama kurun waktu 1919-1921, Rivai berkeliling Eropa serta Amerika sembari mendampingi putra-putri Susuhunan belajar di Belanda dan Swiss. Di masa itulah Rivai kerap memberikan motivasi dan menjadi mentor bagi pelajar-pelajar Indonesia di Eropa, seperti Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid Djajadiningrat, Nazir Datoek Pamoentjak, dan lainnya.

Tahun 1932, Rivai kembali ke tanah air dan membuka klinik pengobatan di Tanah Abang, Batavia, sembari terus menulis untuk sejumlah surat kabar. Namun, di tahun-tahun berikutnya, ia mulai jatuh sakit. Rivai pun pindah ke Bandung hingga wafat pada 16 Oktober 1937, dalam usia 66.

Rivai merupakan sosok langka bagi kalangan bumiputera saat itu. Visinya jauh ke depan melebihi zamannya. Ia juga multiperan dan lintas talenta, dari dokter, jurnalis, hingga aktivis pergerakan. Berkat kecerdasan dan ketajaman berpikirnya, ia berhasil menyulut api nasionalisme di jiwa kaum muda Indonesia.

Perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme bagi Rivai tidak akan kekal bila dilawan dengan kekuatan fisik. Ia cenderung menekankan perjuangan dengan ilmu pengetahuan dan kepandaian, seperti yang ditulisnya dalam salah satu edisi surat kabar Bintang Hindia tahun 1902: “Musuh yang bersenjata itu hanya boleh dilawan oleh musuh yang bersenjata pula. Demikian juga ilmu dan kepandaian itu hanyalah cakap dilawan dengan ilmu dan pengetahuan pula.”

Sebagai tanda jasa dalam penerbitan surat kabar berbahasa melayu pertama di Indonesia, pada tahun 1974 Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Perintis Pers kepada Abdul Rivai. (Ditulis dari berbagai sumber)

Penulis Yance Askomandala

BACA LAINNYA


Leave a comment