Protes Pada Dunia Pendidikan

LITERASI - Kamis, 20 Juli 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Penulis: Benny Hakim Benardie

Dunia pendidikan merupakan favorit di era modernisasi Indonesia. Dari zaman penjajahan hingga merdeka saat ini, apapun yang dilakukan para pengurus negeri semuanya untuk kemajuan, kecerdasan anak bangsa.

Bila mengacu pada tujuan pendidikan  Kemdiknas mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada  Pasal 3-nya disebutkan  tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Apapun cara metode, silambusnya dan lain sebagainya semuanya baik. Bila bicara dunia pendidikan artinya bicara kemauan, uang dan kepatuhan. Tapi ada satu persoalan yang rasanya tidak masuk di logika dan rasa penulis, saat para pendidik menerapkan kedisiplinan, kerapian yang merupakan warisan kepatuhan latah. Tidak mau berinovasi. Bila tidak diikuti dengan paksaan, maka peserta didik akan kena sanksi hingga dikeluarkan dari sekolah.

Nestapa

Peserta  didik harus menunduk, mencium tangan pendidik. Padahal itu merupoakan warisan kolonial, feodal. Apa hubungannya seorang peserta didik dikatakan tidak sopan, tidak beradat, kurang ajar  bila tidak melakukan itu. Apa ukuran kesopanan dan sebagainya itu dengan peserta didik yang ingin menegakan ismenya? Mari kita berfikir. Meminjam istilah Buya Hamka, “Jangan terikat pada adat, adat itu memperpendek akal”.

Pendidik mencubit perut, mencabik baju Si anak didik, karena baju yang dikenakannya tidak dimasukan kedalam celananya.  Pada  suatu kesempatan, ada peserta  didik dibotakkan setengah rambutnya, karena rambutnya kepanjangan. Pertanyaannya, apa hubungannya tujuan pendidikan yang diharapkan itu?

Peserta didik tidak boleh menegakkan ismenya. Peserta didik dianggap orang bodoh dan tidak akan menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Tentunya kembali penulis ingin katakan, tidak ada korelasi nya dengan tujuan pendidikan, Bukankah generasi yang terlibat tindak pidana kriminal, korupsi merupakan produk yang disebutkan tadi? Kalau benar, maka kenapa kita tidak mau merubah cara berfikir kita.

Era 80-an di Jakarta Timur ada satu sekolah yang tidak menerapkan warisan kepatuhan latah itu, paling tidak setengahnya,  termasuk satu sekolah yang  berada di Kota Bengkulu. Kenyataan yang terjadi, peserta didiknya ada yang masuk ASN murni tanpa sogok. Ada yang menjadi Jurnalis profesional. Ada yang jadi TNI, Polri, pengusaha sukses dan lainya.

Kesimpulannya, ada arogansi penafsiran terhadap tujuan pendidikan, yang notabene merupakan pengangkangan terhadap hak asasi manusia. Ada negara lain tidak seperti kita menerapkan pada peserta didiknya, tetapi generasinya berdaya guna bagi bangsa dan negara.

[Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Sejarah tinggal di Bengkulu]

BACA LAINNYA


Leave a comment