Perpu Ormas, Ancaman Bagi Berserikat dan Berkumpul

LITERASI - Minggu, 16 Juli 2017

Konten ini di Produksi Oleh :

Oleh; Ketua Program Studi PPKn UMB Elfahmi Lubis

‘’PERPU Nomor 2 Tahun 2017 lebih kejam dari penjajah Belanda, Orde Baru, dan Orde Lama’’ demikian pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, menanggapi dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) oleh pemerintah. Reaksi keras publik bukan tidak beralasan karena keberadaan Perpu ini berpotensi memberangus dan membelenggu kekebebasan berserikat dan berkumpul dan Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang telah dijamin oleh konstitusi UUD NRI 1945. Tidak itu juga keberadaan Perpu ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi, karena negara dalam hal ini pemerintah menggunakan ‘’kekuasaan legislasinya’’ yang cenderung abuse of law.

Soalnya, pemerintah walaupun dalam konstitusi diberikan kewenangan menerbitkan Perpu, tapi harus memenuhi unsur keadaan memaksa dan genting. Sejauh ini syarat keadaan memaksa dan genting itu tidak terpenuhi, dan oleh sebab itu seharusnya pemerintah dapat menggunakan mekanisme lain yang lebih demokratis. Yakni, dengan mengajukan RUU Ormas sebagai pengganti UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas ke DPR.

Penerbitan Perpu ini juga, menunjukkan bahwa pemerintah panik dalam menghadapi persoalan radikalisme dan intoleransi yang mengancam Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan kbinekaan. Sehingga kesan yang muncul pemerintah mengambil jalan pintas dengan menggeluarkan Perpu, yang diharapkan bisa menjadi senjata ampuh untuk meredam kelompok-kelompok dan Ormas yang dinilai mengancam konsensus nasional. Pola jalan pintas dengan menggunakan legitimasi atas nama hukum seperti ini sangat tidak elok dalam negara demokratis dan menjunjung tinggi HAM. Seharusnya pemerintah bisa menggunakan opsi-opsi yang lebih elegan dalam mengatasi radikalisme dan intoleransi atas dasar SARA, dan tidak menggunakan pendekatan kekuasaan atau show of force. Tindakan pemerintah mengeluarkan Perpu dinilai sebagai sikap otoritarian, sebagaimana yang pernah di praktek rezim sebelumnya baik Orba maupun Orla. Kita tidak ingin menggulang kesalahan sejarah masa lalu, yang menggunakan pendekatan kekuasaan untuk memberangus kekuatan civil soiety.

Saat ini masih banyak warga masyarakat dan bahkan pimpinan Ormas Islam yang gembira dengan terbitnya Perpu ini, mereka mengira Perpu ini adalah tentang pembubaran hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka tidak tahu, bahwa Perpu Nomor 17 Tahun 2017 ini adalah Perpu tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang isi norma hukumnya mengatur berbagai hal tentang Ormas dan berlaku umum terhadap Ormas apapun di negara ini. Artinya, keberadaan Perpu ini menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk melakukan tindakan represif atas nama hukum kepada kelompok dan Ormas apapun yang dianggap oleh pemerintah berpotensi mengancam NKRI.

Disinilah letak persoalannya, Perpu berpotensi untuk dijadikan alat oleh kekuasaan untuk meredam dan membelanggu kelompok yang dianggap bertentang dengan pemerintah. Jika ini terjadi, maka pemerintah saat ini telah mempraktekkan kembali cara-cara represif ala Orba dan Orla di masa lalu. Untuk itu diperlukan sikap kritis dari semua anak bangsa, untuk mengontrol Perpu ini dengan cara meminta DPR sebagai wakil rakyat untuk tidak menyetujui Perpu ini, sembari melakukan telaah dan pembahasan yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan yang dianggap melanggar hak berserikat dan berkumpul dan HAM.

Kita semua sepakat bahwa radikalisme dan intolerasi antar dasar SARA harus diberangus di republik tercinta karena bisa mengancam NKRI. Dan semua kita juga sepakat bahwa harus regulasi sebagai payung hukum bagi negara untuk menindak kelompok-kelompok anti Pancasila dan NKRI. Tetapi kita juga berharap cara-cara yang dilakukan tetap menjunjung tinggi praktek negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Mengutip pernyataan MS. Kaban, bahwa ‘’Pancasila dan UUD NRI 1945 : Yes, tetapi sebagai negara hukum yang mengakui HAM, Perpu yang mendelete kekuasaan peradilan dan obsulutkan kuasa pemerintah harus kita tolak’’.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dengan Perpu ini pemerintah, bisa mengambil tindakan pembekuan dan sampai pembubaran Ormas tanpa lewat proses hukum. Dengan kata lain Perpu ini melegitimasi kuasa pemerintah melakukan tindakan otaliterian dan obsulitisme tanpa proses peradilan. Walaupun pemerintah berdalih, Ormas yang dibekukan maupun yang dibubarkan melalui ketentuan Perpu ini, bisa mengajukan gugatan hukum ke Pegadilan Tata Usaha Negara untuk menguji apakah tindakan pemerintah tersebut sah atau tidak. Namun cara kita bernegara hukum bukanlah seperti itu, bubar kan dulu baru gugat ke pengadilan, tapi seharusnya sebelum melakukan tindakan pembekuan dan pembubaran suatu Ormas gunakan lembaga peradilan untuk memutusnya. Dengan demikian, ada kontrol atas tindakan pemerintah dan memenuhi asas check and balances.

Yusril Ihza Mahendra sebagaimana dikutip dalam media online detik.com, Perpu Nomor 2 Tahun 2017 memberikan peluang seluas-luasnya kepada pemerintah melaluu Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu Ormas itu antara lain ‘’menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau faham yang bertentangan dengan Pancasila’’ sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (4) huruf c Perpu ini. Terhadap Ormas yang melanggar pasal di atas dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Jadi bisa dikenakan salahsatu atau kedua-keduanya. Sanksi administratif bagi Ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenkumham sebagaimana diatur dalam pasal 61 ayat (1) Perpu ini adalah ‘’pencabutan status badan hukum ‘’ oleh Menkumham. Pencabutan badan hukum tersebut menurut pasal 80A Perpu ini sekaligus diserta dengan pernyataan pembubaran Ormas tersebut.

Dimana letak abuse of law ? Menurut Yusril, semua proses diatas berlangsung cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri maupun meminta pendapat pihal lain. Inilah esensi perbedaan isi Perpu ini dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang mewajibkan Menkumham untuk terlebih dahulu meminta persetujuan pengadilan jika ingin membubarkan Ormas. Ormas yang dibubarkan juga diberikan hak untuk membela diri di pengadilan. Dengan Perpu baru ini Menkumham dapat membubarkan Ormas semaunya sendiri, dan ini adalah ciri pemerintah otoliter. Soalnya, dalam praktiknya nanti, Presiden bisa secara diam-diam memerintahkan Menkumham untuk membubarkan Ormas, tanpa Menkumham bisa menolak kemauan presiden.

Selain itu dalam Perpu ini ada beberapa perbedaan krusial dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, diantaranya definisi tentang ajaran atau faham yang bertentangan dengan Pancasila diperluas bukan hanya atheisme, komunisme/leninisme/marxisme, tetapi juuga faham lain yang bertujuan mengganti/mengbah Pancasila dan UUD NRI 1945. Isu krusial lain dari Perpu ini adalah mekanisme pembubaran Ormas lebih mudah, dimana menurut pasal 61 ayat (1) Perpu ini menyatakan bahwa sanksi administratif yang diberikan berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Artinya, peringatan tertulis tidak lagi diberikan secara bertahap. Pasal tersebut menghapus ketentuan di UU Ormas yang mengatur pembubaran ormas berbadan hukum harus melalui beberapa tahapan, yaitu pemberian sanski administratif berupa tiga kali peringatan tertulis. Sebelum dihapus, Pasal 64 menyebutkan, jika surat peringatan ketiga tidak digubris, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka selama enam bulan.Dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional, harus ada pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, jika sampai 14 hari tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang menghentikan sementara kegiatan mereka. Dalam Pasal 68 UU Ormas, jika ormas masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari pengadilan.

Isu lain yang kontroversial adalah penerapan asas contrario actus dalam Perpu Ormas, disisi lain Perppu Ormas juga mengatur mengenai penerapan asas hukum administrasi contrario actus. Asas tersebut menyatakan, lembaga yang mengeluarkan izin atau yang memberikan pengesahan ormas juga mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya. Azas ini menurut Yusril Ihza Mahendra dianologikan dengan ‘’KAU yang mengeluarkan buku nikah, KAU juga yang mencabutkan buku nikah. Kan tidak begitu, dalam konteks anologi ini walaupun KAU menerbitkan buku nikah pasangan suami isteri tetapi KAU tidak memiliki kewenangan untuk mencabut buku nikah seseorang kecuali harus melalui proses hukum di pengadilan’’. Sementara asas contrario actus dalam Perpu ini, Menkumham tanpa melalui proses peradilan bisa membeku dan membubarkan Ormas. Disinilah pemerintah menunjukkan sikap otoliternya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dalam berbagaim kesempatan selalu menegaskan bahwa Perppu itu bukan diarahkan untuk mencederai keberadaan organisasi masyarakat berbasis Islam. Tidak sama sekali diarahkan untuk mencederai keberadaan atau mendiskreditkan ormas Islam. Apalagi Perppu dianggap mendiskreditkan masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, sama sekali tidak. Perppu tersebut bukan untuk membatasi ormas atau menghalangi kebebasan berorganisasi. Perppu ini betul diarahkan untuk kebaikandan merawat persatuan dan kesatuan. Namun upaya pemerintah melalui Menkopolkam untuk menyakinkan masyarakat, tidak mampu menghindari pro dan kontra atas Perpu ini.

[Penulis juga kandidat Doktor Ilmu Politik UNIB]

BACA LAINNYA


Leave a comment