Hari Pahlawan, Rumah Milenial Bencoolen Diskusi Kebangsaan Bareng OKP Bengkulu

NEWS - Jumat, 15 November 2019

Konten ini di Produksi Oleh :

Founder Rumah Milenial Bengkulu Andi Hartono saat Mengabadikan Kenangan Bersama Pimpinan OKP Bengkulu yang Hadir

GARUDA DAILY – Momentum hari pahlawan kembali diisi dengan muatan intelektual yang dilaksanakan oleh Rumah Milenial Bencoolen dengan muatan kegiatan diskusi bersama. Organisasi dengan moto perjuangan “berkreasi dan berkolaborasi” ini mengundang ketua-ketua OKP di Bengkulu sebagai pemantik diskusi yang mengangkat tema “Relevansi Semangat Perjuangan pada Zaman Bambu Runcing dengan Zaman Milenial dalam Wujud Refleksi Hari Pahlawan”. Rumah milenial bencoolen mengundang ketua-ketua OKP Bengkulu karena dirasa tepat sebagai representasi perjuangan milenial masa kini.

Ketua GMNI Bengkulu, Rigen Sudrajat sebagai salah satu pemateri mengungkapkan, momentum hari Pahlawan merupakan rasa hormat dan menghargai para pahlawan terdahulu yg telah mengorbankan darah, keluarga dan air mata untuk mencapai Indonesia Merdeka Yang Kekal dan Abadi. Kita sebagai pemuda generasi bangsa hari ini yang akan memegang tonggak estafet perjuangan untuk NKRI. Jangan lah kita berhenti pada titik sekedar memperingati saja akan tetapi marilah kita warisi api semangat pahlawan rasa nasionalisme dan patriotisme nya.

Di tempat yang sama ketua HMI cabang Bengkulu, M. Yudha juga berpendapat, Pahlawan menjadi seorang pahlawan karena dia telah memperbuat sesuatu. Tetapi ada jenis pahlawan yang menjadi pahlawan justru karena dia tidak memperbuat sesuatu.

Seandainya dulu Tuhan menciptakan tidak hanya satu manusia lelaki pertama, melainkan dua katakanlah Adam dan Odom ada kemungkinan Odom menjadi pahlawan pertama dalam sejarah kemanusiaan karena ia tidak memakan buah khuldi.

Ketika Adam tergoda dan mencuri buah itu, Odom sedang tidur ngorok. Tidur itu cukup baginya untuk membuatnya menjadi seorang pahlawan, yang diperkenankan oleh Tuhan untuk tetap tinggal di surga, sementara Adam tercampak di bumi yang sunyi. Dan kita semua seandainya diberi kesempatan untuk memilih hendak menjadi anak turun siapa tampaknya akan beramai-ramai mendaftarkan diri jadi turunan Odom. Daripada berjuang di bumi sebagai jenis makhluk yang suka bermusuhan, menipu, dan menumpahkan darah, mending tidur saja di surga. Nanti kalau bangun, main gaple atau song.

Terkadang sejarah manusia tiba pada suatu kondisi minimal di mana perbuatan baik bukan hanya tak diperlombakan, melainkan juga diremehkan dan diejek. Orang yang berkeras berbuat baik akan disebut “sok pahlawan”. Udara dirasuki kuman tertentu yang membuat setiap orang yang menghirupnya menjadi gila. Kalau ada satu dua orang yang punya daya antisipasi tinggi terhadap atmosfer kegilaan, mereka akan justru dituduh gila.

Ketika itu, kriteria kepahlawanan menjadi kabur. Nilai tak menentu. Standarnya bisa digeser-geser atau dibolak-balik. Keburukan berpakaian kebaikan, kejahatan berpakaian kemuliaan, sementara kebaikan dan kemuliaan tak sempat mengurus wajahnya. Maling adalah orang yang paling seru berteriak “Maling!” Koruptor memperingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi. Hukum dilanggar terutama oleh ahli-ahlinya. Lembaga yang paling tak berbudaya adalah yang mengelola kebudayaan. Orang memilih enak tak enak daripada baik dan tak baik. Orang menyembah kenyamanan dan menomorsatukan keluhuran. Tatanan ekonomi dipenuhi oleh monster dan kehewanan. Kemanusiaan dan agama merupakan permainan gundu di saat-saat senggang. Para pengemis budiman duduk termangu-mangu di depan taman makam pahlawan, sambil bergumam kepada dirinya sendiri: “Apakah pada suatu saat kelak akan ada ralat sejarah dan makam-makam tertentu terpaksa dibongkar agar kebenaran bisa diletakkan pada tempatnya…?”

Pada saat seperti itu kita menatap seorang tukang bakso, penjaja makanan-makanan kecil, tukang sol sepatu, atau manusia-manusia “kecil” sejenis itu terasa betapa tinggi harkat kepahlawanan mereka atas kehidupan, lebih dari orang-orang besar yang selalu kita sebut namanya melalui koran dan televisi.

Si penjual bakso melata di gang-gang kampung hampir semalaman. Membunyikan “ting-ting-ting…” kepada orang-orang yang hampir serentak berangkat tidur. Tindakan ekonomi yang bodoh, suatu demonstrasi keyakinan yang mutlak terhadap rezeki Allah.

Kalau ia memiliki cukup mentalitas maling, tak akan tahan ia berkeliling berjam-jam hanya untuk seribu dua ribu rupiah yang di pagi hari ia persembahkan kepada istri dan anaknya. Setiap kali ia berhenti mendorong gerobaknya, memandang setiap jendela yang terbuka sambil mengharapkan akan ada suara yang memesan baksonya. Kemudian ketika suara itu tak muncul, betapa ia kecewa, dan entah berapa ribu kali ia dilempari kekecewaan semacam itu. Ia menerimanya dengan ikhlas, sehingga tubuhnya tetap sehat untuk tetap terus berjualan.

Menjadi tukang bakso tidaklah cukup sama sekali untuk membuat seseorang menjadi pahlawan. Tapi memilih berjualan bakso daripada maling atau mencopet atau mengemis, adalah sebuah kepahlawanan kemanusiaan yang tinggi.

Tukang bakso menjadi pahlawan karena ia pasti tidak melakukan korupsi dan merugikan rakyat banyak dan negara. Ia relatif tidak terlibat dalam tatanan struktur riba dan pengisapan. Ia juga tidak menuntut dihormati seperti seorang pejabat koruptor yang setiap bawahannya menundukkan muka dan membungkukkan badan. Ia juga tidak merasa pahlawan seperti banyak relawan sosial yang menjual kemiskinan rakyat. Tukang bakso itu menjadi pahlawan justru karena ia tidak melakukan banyak sekali dosa dan pengkhianatan yang secara sistemik atau personal dilakukan oleh sangat banyak orang di sekitarnya.

Seorang tukang bakso memberi pelajaran kepada orang-orang yang mampu berpikir bahwa selama ini yang kita abdi adalah ketinggian materi,hedonisme, posisi feodal, atau nilai-nilai lainnya. Kita tidak menomorsatukan kejujuran, kemuliaan, dan kebaikan. Tradisi budaya kita sehari-hari adalah santun kepada seorang Bapak meskipun kita ketahui banyak melakukan pengkhianatan moral, sementara kepada seorang tukang bakso kita selalu melihat ke bawah”.

Pemantik yang lain Saudara Arnold Hok – Ketua AMVB Periode 2018 – 2020, berpendapat Pahlawan adalah Orang Hebat di Negeri ini. Hebat pada masa lalu dan sampai di masa kini. Dan Kitalah penerus atas Perjuangan Mereka sampai Akhir Nanti.

Tak ketinggalan Saudara Hadi Pratama Ketua Kajian Publik KAMMI Daerah Bengkulu yang juga sebagai pemantik diskusi berpendapat, sejarah kepahlawanan, pahlawan itu muncul karena dua hal. Dua hal itu adalah situasi krisis yang menghasilkan para pahlawan sebagai jawaban dari realitas suatu bangsa.

Krisis adalah takdir semua bangsa, ia datang seprti badai yang menghancurkan banyak harapan, dalam situasi itu ada berbagai ekspresi dan cara orang menghadapinya.

Ada yang marah dan terus mengkritik realitas yang dihadapi. Ada pula yang memilih bersedih dan putus asa sehingga menjadi apatis dengan realitas yang ada . Serta ada pula yang memilih abai dan berpura-pura semuanya baik-baik saja, padahal bangsa kita sedang tidak baik-baik saja.

Seorang pahlawan memilih menyalakan harapan, menyalakan lilin ditengah gelap, mereka tampil memberikan solusi disaat orang lain merasa tidak mendapatkan solusi. Kita tidak boleh bersedih disaat bangsa kita sedang krisis, kita hanya boleh bersedih bila bangsa kita berhenti memproduksi para pahlawan.

Dahulu kita disatukan dalam perjuangan melawan krisis yang dyakni penjajahan kolonialisme, yang memaksa kita mengangkat senjata hingga pucuk-pucuk bambu runcing itu mampu melawan pelor-pelor kolonialisme itu. Saat ini krisis kita adalah krisis identitas, bangsa kita tidak dalam on the track dalam mencapai cita-citanya yaitu sila-sila dalam Pancasila itu. Hukum tidak lagi menghadirkan rasa keadilannya, ekonomi dikuasai kaum kapitalis, negara kita di atur oleh bangsa lain inilah realitas kita.

Bambu runcing tentu tidak lagi relevan. Namun ada satu hal yang mesti harus ada sedari dulu sampai saat ini. Yaitu semangat pertanggung jawaban sebagai anak bangsa. Untuk mencapai cita-cita besar kita harus lakukan kerja-kerja kecil, dalam melakukan perjuangan dan perlawanan atas tantangan itu.

Kita mesti bersatu dalam perbedaan yang sudah menjadi keniscayaan bagi kita. Kita insyaf dan berhenti saling melemahkan dalam gerakan, berhenti menstigma satu dan lainnya. Tugas kita adalah kembali menyatukan kerja-kerja kecil sampai terwujudnya cita-cita besar. Karena pahlawan itu adalah saya, anda dan kita semua.

Kegiatan diskusi yang berlangsung pada 10 November 2019 ini dilaksanakan di Kenrich Cafe, Kota Bengkulu. Selain sebagai ajang refleksi juga menjadi pengingat bagi pemuda Bengkulu bahwa perjuangan belum usai. (rls)

BACA LAINNYA


Leave a comment