Putri Beni Alam, Lambang Adat yang Hilang

LITERASI - Rabu, 29 Mei 2019

Konten ini di Produksi Oleh :

Rumah Adat Putri Beni Alam Mukomuko (FB)

Opini Yance Askomandala*

“Lain ladang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Pepatah lama ini menyiratkan tentang kekayaan adat-budaya, dimana kebiasaan menjadi identitas suatu kelompok dalam kehidupan sosialnya yang tertuang dalam adat-istiadat. Kebiasaan-kebiasaan ini kemudian menjadi ‘pedoman’ dalam kehidupan bermasyarakat, yang oleh masyarakat melayu disiratkan sebagai ‘kebudayaan sendi perpaduan’. Artinya kebudayaan merupakan sandaran bagi persatuan suatu bangsa.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, kebudayaan ini dimaknai sebagai suatu hal yang bersifat sakral atau kepercayaan yang dilaksanakan secara turun temurun. Begitu juga dengan pandangan sebagian besar masyarakat Kabupaten Mukomuko yang berpegang teguh dengan adat-istiadat layaknya keturunan suku-bangsa Melayu.

Salah satu lambang sekaligus menjadi bukti bahwa masyarakat Mukomuko berpegang teguh terhadap istiadat adalah rumah adat Putri Beni Alam. Rumah adat ini seyogyanya bukan sekedar ‘sunting’ yang mempercantik daerah saja. Selain memberikan nilai edukasi, juga menjadi ‘doktrin’ persatuan bagi masyarakat suatu daerah. Ia juga menjadi lambang bagi kokohnya kebudayaan suatu negeri. Adanya rumah adat juga diharapkan menjadi pusat aktifitas pelestarian nilai-nilai budaya.

Namun kini, Rumah Adat Putri Beni Alam itu telah tiada. Rumah adat yang menjadi saksi perjuangan berdirinya Kabupaten Mukomuko ini bak tenggelam di pusaran waktu.

Hingga tahun 2017 lalu, rumah adat yang juga menjadi latar lagu daerah “Lagung Utuk Mak” lantunan Cik Udin ini masih berdiri kokoh di tengah peradaban masyarakat Kabupaten Mukomuko. Awalnya sempat menjadi perhatian sebagian kalangan akibat kondisi bangunan yang tak terurus. Hingga Pemerintah Kabupaten Mukomuko memutuskan untuk menggusur Rumah Adat Putri Beni Alam digantikan dengan taman hijau. Meski ramai penolakan dari masyarakat kala itu, pemerintah tetap bersikeras melenyapkan ikon daerah tersebut.

Rumah adat yang semula terletak di bundaran Pasar Gedang Kota Mukomuko ini sempat diisukan akan dipindahkan dengan bangunan yang baru di Gedung Daerah. Pembangunan tersebut direncanakan juga pada 2017 lalu bersamaan dengan pembangunan Gedung Daerah dengan menelan anggaran Rp. 10 Miliar. Namun kenyataannya, rumah adat yang ‘diperbarui’ tersebut tak kunjung nampak. Meski Gedung Daerah kini telah berdiri kokoh dan menjadi pusat aktifitas kegiatan Pemerintah Daerah setempat.

Tokoh Pemuda Mukomuko Weri Tri Kusuma yang juga menolak keras penggusuran rumah adat Putri Beni Alam 2017 lalu mengatakan, pihaknya menyayangkan hilangnya ciri khas daerah ‘Kapuang Sati Ratau Batuah’ itu.

“Kami menuntut agar pemerintah daerah mempercepat pembangunan rumah adat yang baru sebagai pengganti ikon yang tergusur tersebut. Sekalipun makna bagi sebagian masyarakat bila dipandang dari sisi legendanya, rumah adat yang lama (asli) dengan dibangun baru (tetap) ada bedanya, apa lagi lokasinya berbeda,” kata Weri seperti yang dikutip dari sigaponline.com.

Namun apalah daya, janji tinggal janji, Putri Beni Alam pun tinggal cerita. Wacana pembangunan taman hijau di bundaran Kota Mukomuko yang telah mengorbankan keberadaan rumah adat itu tak jua kunjung selesai. Proyek yang menelan anggaran pemerintah sebesar Rp. 4 Miliar itu mangkrak dan menjadi bangunan tanpa makna. Apa lagi soal pengganti rumah adat yang baru, rasanya jauh panggang dari api.***

*Penulis Adalah Wartawan dan Tinggal di Mukomuko 

BACA LAINNYA


Leave a comment